Oleh: Aji Salam (Forum Ekonomi Indonesia)
Kondisi ini berpengaruh terhadap perekonomian Indonesia tahun 2018 yang ditandai dengan berbagai gejolak. Di antaranya pelemahan rupiah, pertumbuhan ekonomi yang tidak sesuai dengan harapan serta penerimaan pajak yang jauh dari target yang ditetapkan karena efek domino dari sektor lain. Peningkatan pajak baik pajak langsung, seperti pajak Penghasilan, maupun tidak langsung seperti pajak Penjualan, disertai dengan pengurangan atau penghapusan alokasi subsidi padaAPBN secara terus-menerus akan makin memberatkan beban rakyat yang sudah sangat berat.
Dalam kondisi seperti itu, posisi perekonomian Indonesia semakin rapuh. Pertumbuhan ekonomi yang ditarget walaupun tumbuh, tetapi tidak berkualitas. Karena itulah mempertahankan sistem ekonomi kapitalis sama dengan mempertahankan dan meningkatkan kerusakan, kemiskinan dan penderitaan rakyat. Seandainya semua potensi sumber daya alam milik umum yang super melimpah ini dikelola Negara tidak diserahkan kepada swasta sebagaimana dalam sistem ekonomi Islam maka bisa digunakan untuk Indonesia lebih baik.
Dalam ruang ekonomi, saat ini negeri ini berkiblat pada neo-imperialisme dan neo-liberalisme dalam bingkai ideologi kapitalisme. Negeri ini sekarang berada dalam cengkeraman neo-liberalisme dan neo-imperialisme, yang menjadi penyebab terpuruknya perekonomian. Neo-liberialisme dengan gagasan dasar agar negara tidak mempunyai peran dalam mengatur masyarakat.
Ekonomi diserahkan kepada mekanisme pasar bebas, negara hanyalah regulator, dan kedepannya mengarah kepada corporate state. Karena pada ujungnya pemenangnya adalah para pengusaha dengan adanya regulasi dari negara. Regulasi tersebut berupa undang-undang liberal yang tidak pro rakyat. Inilah kombinasi antara pengusaha dengan para politikus, dan kadang dibantu oleh pihak asing maupun aseng.
Terbukti dengan adanya catatan pengamat Universitas Airlangga Surabaya Bambang Budiono MS, MS. Sosio yang mengatakan 72 undang-undang di Indonesia diintervensi asing. Contohnya World Bank pada UU BOS, UU PNPM; IMF pada UU BUMN (No 19/2003), UU PMA (No 25/2007) dan USAID pada UU Migas (No 22/2001).
Kemudian neo-imperialisme atau penjajahan gaya baru, yang berbeda dengan dulu. Ketika dulu menjajah dengan penjahan fisik, serta rakyat sadar secara langsung jika dijajah.
Maka neo-imperialisme saat ini sesungguhnya lebih berbahaya, karena banyak masyarakat yang belum sadar jika dijajah. Substansinya juga sama, jika dulu mengambil rempah-rempah (penguasaan sumber ekonomi/gold), menancapkan kekuasaaan (glory), penyebaran ajaran tertentu (gospel). Sedangkan sekarang juga terjadi eksploitasi kekayaan alam, menancapkan demokrasi, liberalisme, kapitalisme dan lainnya yang nyatanya menyesatkan dan menyengsarakan rakyat.
Dampaknya bisa terlihat, rupiah yang melemah, defisit luar biasa dalam neraca transaksi berjalan, kekayaan alam dirampok, utang menumpuk, daya beli rendah, PHK dan lain-lain. Ditambah dengan solusi hanya berkemungkinan menarik sebanyak-banyak investor, atau utang luar negeri.
Wajar jika ada kemungkinan pajak akan kian bertambah, seiring dengan kondisi ekonomi yang kian menurun. Maka, alih-alih pemerintah menawarkan kebijakan sebagai stimulus ekonomi guna perbaikan ekonomi, justru hasilnya akan sama saja, dan bahkan kian parah, jika neo-liberalisme dan neo-imperialisme tetap bercokol di negeri ini.
from Pojok Aktivis