Oleh: Deslina Zahra Nauli
(Alumnus IPB, pemerhati sosial )
Mediaoposisi.com- Wanita merupakan kunci kebaikan suatu bangsa. Hal ini karena wanita memiliki peran strategis sebagai pendidik generasi yang akan menentukan kualitas generasi di masa depan. Maka jika kaum wanita baik, maka baiklah suatu generasi.
Namun sebaliknya, jika kaum wanita itu rusak, maka akan rusak pulalah generasi tersebut. Mari kita telaah, kondisi wanita di era millennium dimana kebebasan dipuja-puja bak Tuhan.
Menurut laporan tidak sedikit perempuan Indonesia yang melamar ke Cinderella Escorts (CE), situs pelelangan keperawanan yang berpusat di Jerman. Jumlahnya mencapai sekitar 350 orang dengan usia antara 18 sampai 23 tahun (www.tribunnews.com/internasional, 31 Maret 2018)
Bahkan pemilik Cinderella Escorts tersebut, Jan Zakobielski (JZ) menyebutkan bahwa seorang politisi terkenal dari Indonesia disebut menawar dengan harga tinggi keperawanan seorang gadis yang ditawarkan oleh Cinderella Escorts (www.tribunnews.com/internasional, 31 Maret 2018). Nampak jelas moral politisi semakin bejat.
Kini keperawanan tak lagi jadi kehormatan karena begitu mudah ternoda hanya demi materi semata. Inilah buah dari penerapan sekulerisme (paham yang memisahkan agama dari kehidupan) yang memuja nilai materi dan kebebasan.
Dimana, kebahagiaan hidup seseorang diukur ketika dia mendapat materi sebanyak-banyaknya tanpa peduli caranya halal atau haram. Hal ini juga sejalan dengan nilai berikutnya yaitu kebebasan.
Setidaknya ada empat kebebasan yang dilahirkan dari rahim sekulerisme yaitu kebebasan beragama, berpendapat, kepemilikan dan kebebasan pribadi. Maka tak jadi masalah wanita menjajakan keperawananya karena dia memiliki kebebasan sepenuhnya atas tubuhnya.
Faham sekulerisme ini telah menjangkiti banyak wanita di Indonesia. Sebuah survei yang dilakukan oleh BKKBN pada tahun 2015 lalu menunjukkan hasil mengejutkan, dimana 51 persen remaja putri di kota besar di Indonesia ternyata sudah pernah berhubungan intim. Artinya 49 persen remaja yang masih perawan.
Yang lebih mengejutkan lagi, 40 persen remaja putri di pedesaan, wilayah yang dianggap lebih aman dan lebih kuat budaya ketimurannya, ternyata juga sudah pernah melakukannya (rakyatku.com, 16 Desember 2017).
Terbayang, betapa bahaya faham ini akan terus melumat kehormatan wanita dan tentunya akan merusak generasi kita di masa depan. Sungguh kondisi ini memerlukan perhatian dari berbagai pihak utamanya negara.
Persoalan lelang keperawanan ini juga erat kaitannya dengan kemiskinan. Hari demi hari kemiskinan di negeri ini terus meningkat. Sedangkan gaya hidup konsumtif dan glamor buah dari sekulerisme semakin deras dikampanyekan melalui era digital tanpa batas. Maka tak heran jika banyak wanita yang memilih jalan pintas.
Jalan pintas yang dapat menghasilkan uang banyak hanya dalam sekejap yaitu menjual keperawanan. Disinilah sesungguhnya peran negara dituntut. Negara sebagai pengurus rakyat sejatinya wajib memenuhi kebutuhan rakyatnya baik sandang,pangan maupun papan sehingga warganya dapat terhindar dari mengambil jalan pintas yang dapat merusak generasi bangsa di masa depan. [MO/br]