Oleh: Nina N
(Aktivis Mahasiswi Yogyakarta)
Dalam acara itu dihadiri pula sejumlah tokoh wanita Indonesia, seperti Titiek Puspa, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti dan Ibu Shinta Abdurrahman Wahid.
Dalam waktu singkat, puisi sukses menimbulkan banyak kecaman dari berbagai pihak. Wakil DPR Fahri Hamzah menyayangkan puisi putri Bung Karno ini telah dinilai mengandung SARA.
“Syariat Islam konsepsinya hukum yang dianugerahkan langsung dari Tuhan, nilainya tinggi. Jadi sangat tida bisa dibanding-bandingkan dengan apapun”, ujar Wakil Ketua DPR di Jakarta (Senin, 2/4). Dia menilai puisi yang dibacakan Sukma ini hanya sebuah kekeliruan.
Jika dilihat dari sudut pandang Islam, apakah pantas Islam dibanding-bandingkan dengan nilai budaya yang bersumber dari manusia? Sekali kali tidak.
Islam adalah agama yang menjadi landasan untuk setiap manusia dalam mengarungi kehidupannya yang tentu bersumber dari Pencipta, Allah SWT yang berkedudukan diatas seluruh makhluknya.
Bahkan suara kidung yang dianggap lebih elok dari suara adzan. Tersebut bukanlah dua hal yang bisa dibandingkan.Wajar pula ketika netizen beranggapan puisi ini akan memancing isu SARA dan mengnadung standar ganda toleransi.
Indonesia yang “katanya” menjunjung tinggi toleransi, harusnya tiap individu tidak pantas berulah hingga memicu isu SARA. Jika tak paham dengan syariat Islam, tak usah lah mencampur-baurkan keduanya. Karena agama Islam itu sempurna, yang tidak patut untuk dikorek-korek.
Jadi hal ini memang terlihat jelas, bahwa toleransi di Indonesia mengalami kerancuan. Bagaimana tidak, ketika Islam yang disudutkan seolah semuanya bungkam dan dianggap hanya sebuah kekeliruan, tidak perlu dipermasalahkan, cukup dengan damai saja.
Namun ketika non muslim yang diserang, umat muslim lah selalu dituduh pelakunya. Lalu, kemanakah istilah “Toleransi” itu berpihak?.[MO]