Oleh : Nurus Sa'adah
Mediaoposisi.com- Panasnya suhu politik demokrasi seperti biasa mempertontonkan perang urat leher antar calon.
Begitu pula presiden petahana dan pendukung yang sibuk menangkis serangan, terlebih hal ihwal ganti presiden 2019. Mengelu-elukan capres, unjuk 'prestasi' sana-sini, bahkan membangun citra pun dilakoni.
Ketua DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Bidang Kemaritiman, Rokhmin Dahuri, mengatakan Jokowi merupakan sosok yang mirip Umar bin Khattab.
Sebab, antara Jokowi dan Umar, menurut dia, memiliki kesamaan dalam mendekati rakyat. (Tempo.co, 9/4)
Upaya membangun citra sebenarnya bukan hal baru. Mulai dari sandal jepit, kaos oblong, gaya anak muda ala dilan, hingga blusukan gaya merakyat hingga disebut seperti Umar bin Khattab.
Jika rakyat mengingat pilpres sebelumnya, citra merakyat ini sempat menggaet hati umat. Namun lagi-lagi demikianlah watak demokrasi. Rakyat kembali dibikin gigit jari. Jualan citra, dibayar derita!
Politik Demokrasi Nan Mengerikan
Dalam demokrasi, bicara politik adalah manuver untuk mendapatkan kursi kekuasaan. Tak ada batasan halal haram, karena demokrasi adalah anak kandung sekulerisme. Rambu-rambu syariat tak perlu dilihat. Karena ini urusan dunia maka Tuhan tak perlu ikut campur di dalamnya.
Dalam demokrasi pun penting membangun citra demi menggaet suara. Bahkan untuk membangun politik pencitraan ada dana khusus yang dialokasikan.
Konsultan pencitraan jadi lahan bisnis baru. Sebut saja ada Foxindonesia. Rizal mallarangeng pendirinya mengatakan, biaya untuk menjangkau kesadaran publik melalui media massa berkisar Rp 1-Rp 5 per kapita.
Jika menggunakan pawai dan sejenisnya, biayanya membengkak menjadi Rp 1.000 sampai tak terhingga per kapita.
Ada pula Hotline Advertising, misalnya, melayani proyek pencitraan dari hulu sampai hilir, mulai dari pemetaan kelemahan dan kekuatan klien, perumusan konsep iklan, pembuatan tag line (slogan), pembuatan materi iklan, penempatan iklan di media, manajemen isu, hingga pengaturan acara klien. (Kompasiana, 28/1/2011)
Maka dalam politik demokrasi, polesan luar itu penting untuk menjadikan calon penguasa terkenal. Belum lagi untuk biaya kampanye lainnya. Mulai dari kaos, sembako hingga iklan di tv yang mencapai milyaran tarifnya.
Obral janji jadi bumbu penyedap. Jika belum terlaksana saat sudah duduk di kursi kuasa, maka semua data diolah bahkan kebohongan pun dilakukan.
Perang antar pendukung mengelu-elukan calon penguasa dilakukan. Hingga yang paling keji berupa nyinyiran, ejekan kepada personal pun tak jadi soal. Akhlaq tak lagi ada. Semua dilakukan untuk memperebutkan kue kekuasaan.
Energi, emosi rakyat habis dimainkan. Padahal problem sistemik negeri ini bukan sekedar masalah sosok yang harusnya jadi soalan.
Terlebih dengan software ideologi apa sang penguasa menjalankan mandat kekuasaan. Jika sekuler demokrasi kapitalis masih jadi software nya, maka meski berganti muka penguasa niscaya tak ada beda. Siap-siap gigit jari lagi untuk kesekian kalinya!
Politik Islam Yang Menentramkan
Beda akar, beda pula pohonnya. Jika sekuler demokrasi melahirkan politik hanya sebagai alat berebut kursi, maka islam menggariskan politik adalah setiap aktivitas yang mengurusi urusan umat.
Atas landasan aqidah, setiap muslim dituntut peduli dan menegakkan amar ma'ruf nahi munkar. Tidak lain sebagai tanda sayang.
Penguasa tak perlu cari muka jual citra. Karena memikul amanah itu berat. Bisa dengan mudah menggelincirkan kaki ke neraka atau secepat kilat masuk surga.
Karena ada sekian banyak orang yang menjadi tanggung jawabnya. Maka wajar jika Khalifah Umar tak bisa tidur siang malam hanya memikirkan jalan yang berlubang.
Takut unta terperosok karena ia tak segera ambil kebijakan. Wajar pula Khalifah Umar rela blusukan tengah malam.
Khawatir masih ada rakyat miskin kelaparan. Umar yang mematikan pelita saat berbincang topik keluarga dengan anaknya.
Umar yang tak pusing dengan penampilan bahkan tidur di bawah pohon kurma. Hingga utusan Persia tak percaya bahwa Khalifah yang ia jumpai tak punya istana.
Apakah semua itu demi citra merakyat? Tidak! Semua itu ia lakukan karena takut kepada Allah. Khalifah dipilih rakyat, namun diberi mandat untuk mengatur rakyat dengan syariat.
Bukan aturan undang-undang yang dibuat akal pikiran dan nafsu. Yang bisa dipesan oleh para pemodal yang mengantarkan ke kursi kekuasaan. Singkatnya, pagar penguasa adalah syariat, dan atapnya adalah kesadaran hubungan dengan Allah.
Dalam islam, penguasa tak digaji. Ia hanya diberi tunjangan hidup karena banyaknya urusan yang diurus hingga tak bisa bekerja.
Maka salah besar jika jabatan digunakan untuk menumpuk harta. Rakyat tak segan mengoreksi karena itulah kewajiban dakwah.
Koreksi bukan untuk menjatuhkan, namun untuk menjaga agar penguasa berjalan pada rel syariat dan mengurusi urusan umat dengan benar.
Benar kiranya politik menjadi kotor karena dipisahkan dari agama. Sebaliknya politik adalah aktivitas mulia jika dijalankan sesuai syariat-Nya, mengurusi dan melayani rakyat dengan menerapkan Islam secara Kaffah di seluruh sendi kehidupan.
Panaskan tahun politik dengan mengembalikan kesadaran umat dengan politik Islam. Tak hanya merubah rezimnya, namun software yang dijalankan penguasa.
Ganti sistem demokrasi sekuler nya, menjadi sistem Islam yang menebarkan rahmat bagi seluruh alam. Niscaya pemimpin amanah dan mencintai-dicintai rakyat akan terlahir tanpa polesan citra. [MO/un]