Oleh: Dini Prananingrum, ST - Pembina Kajian Annisa Yogyakarta, Penggiat Revowriter Yogyakarta
Isu intoleransi kembali menjadi perbincangan hangat di negeri ini, pasca beredarnya surat pernyataan dari Persekutuan Gereja-gereja Jayapura (PGGJ) tanggal 15 Maret yang ditujukan kepada umat Islam di Jayapura, melalui Pendeta Robbi Depondoye ketua PGGJ. Mereka menghimbau kepada umat Islam di Jayapura tentang pelarangan mengarahkan suara adzan ke luar masjid, mendakwahkan Islam di Papua, menggunakan pakaian bernuansa agama di sekolah, tidak boleh ada mushola di fasilitas publik (sekolah, rumah sakit, terminal dan kantor-kantor pemerintah), pembangunan rumah ibadah harus ada ijin dari PGGJ, masjid tidak boleh lebih tinggi dari gereja dan usulan untuk menyusun Raperda tentang kerukunan umat beragama di Papua (Republika,18/3/2018).
Persekutuan Gereja Jayapura memiliki dua alasan, pertama Kota Jayapura adalah tanah injil, karena agama Kristen merupakan agama pertama datang ke tanah Papua sejak tahun 1916, kemudian disusul dengan masuknya pemerintah dan agama lain ke Papua. Kedua, pemerintahan Jayapura telah mendeklarasikan zona integritas kerukunan umat beragama.
Jika melihat alasan yang disampaikan pihak persekutuan gereja, surat pernyataan ini sangat bertolak belakang dengan perwujudan kerukunan umat beragama di Jayapura. Justru yang ada akan semakin menimbulkan gesekan di tengah-tengah kerukunan masyarakat.
Sementara menurut berbagai sumber dan situs Wikipedia menyebutkan bahwa Islam telah lebih dahulu masuk ke Papua yaitu di wilayah Fakfak dan Sorong pada abad ke-15. Pengaruh masuknya Islam di kabupaten Fakfak dapat diketahui dengan ditemukannya masjid-masjid kuno peninggalan kerajaan Islam yang pernah berkuasa di wilayah tersebut diantaranya gong, bedug masjid, rebana yang digunakan pada saat upacara maulid, songkok raja, tongkat cis, tanda raja dan adanya silsilah kerajaan dari kerajaan Ati-ati (Onim 2006). Tentu argumen dari pihak Persekutujuan Gereja sangatlah lemah dan sekedar klaim semata.
Ilusi Toleransi
Sikap diskriminatif sering menimpa kaum muslim yang menjadi minoritas. Lihatlah di Bali, kaum Muslim dipaksa untuk mengikuti ritual agama Hindu ketika ada Hari Raya Nyepi, dimana kaum muslim harus ikut mematikan lampu dan tidak boleh melaksanakan aktivitasnya dengan bebas pada hari itu. Bahkan Raja Bali meminta kaum Muslim tidak menyembelih sapi karena binatang tersebut dianggap sebagai dewa (Tribunnwes.com 24/10/12).
Diskriminatif dirasakan juga oleh kaum Muslim di Manokwari, Papua Barat pada September 2015 tidak diperbolehkan mendirikan masjid di Monokawari yang diklaim sebagai Kota Injil oleh puluhan pemuda Kristiani Papua Barat. Protes dan tuntutan kepada umat islam untuk menghormati non-muslim yang tinggal di wilayah mayoritas pun terjadi, dengan meminta mengecilkan suara adzan dan mengaji melalui pengeras suara, padahal suara keras itu ada di wilayah mayoritas muslim. Luar biasanya tuntutan itu pernah disuarakan oleh Mantan Wakil Presiden Boediono di depan Dewan Masjid Indonesia juga Wapres Jusuf Kalla (News.detik.com 31/7/2016). Terhadap itu semua, dimana suara para pejuang HAM dan Negara demokrasi sebagai mediator keberagaman?
Standar Ganda Toleransi
Secara terminologi, kata “tolerance” (toleransi) menurut pandangan Barat sebagaimana dalam The New Internasional Webster Comprehensive Dictionary Of The English Language (1996 : 1320) diartikan dengan menahan perasaan tanpa protes, artinya seseorang tidak berhak protes atas argumen orang lain, meskipun itu adalah gagasan yang salah dalam keyakinan (Al Waie 2012).
Ketika toleransi berbicara pada penghormatan perbedaan dalam keyakinan, hal ini menjadi diskriminatif jika dialami oleh kaum muslim. Konsep toleransi ala Barat ini sering menyudutkan umat Islam dan menghakimi mereka seolah-olah kaum Muslim adalah orang-orang yang tidak memiliki adab dan kasih sayang. Sedikit saja ada aksi kekerasan atau penolakan, opini yang dikembangkan begitu besar dan mendunia. Tidak hanya ditujukan kepada pelaku, tetapi langsung diarahkan untuk “menembak” kaum Muslim lebih besar. Tengoklah ketika umat Islam yang menginginkan pemimpin muslim atau hendak melaksanakan ajaran Islam secara kaffah. Stempel intoleran, anti pancasila, radikal dan ekstrimis buru-buru disematkan kepada mereka. Kebebasan dan toleransi tidak berlaku bagi Islam.
Namun ketika terjadi kasus pembantaian umat Islam di Ambon dan Poso serta pembakaran Masjid di Tolikara Papua, pejuang HAM dan Negeri demokrasi ini terkesan sunyi senyap dan justru mengundang aktor intelektual pelaku pembakaran masjid ke Istana Negara. Begitupun dengan kasus penghinaan ajaran islam yang dilakukan oleh Viktor Laiskodat ataupun Joshua Suherman, penangannya seakan setengah hati dan tebang pilih.
Fakta ini bertolak belakang dengan toleransi yang digaungkan negeri ini, melihat Indonesia sebagai negeri penganut demokrasi, dimana kebebasan beragama seharusnya dijamin dan dijaga oleh Negara, namun realitanya jaminan kebebasan hanya berlaku bagi mereka yang mendukung sistem saat ini. Islam sebagai agama mayoritas yang dianut oleh penduduk Indonesia sering tidak mendapatkan hak kebebasan tersebut. Mayoritas kaum Muslim terpinggirkan dan hak-hak untuk mengamalkan ajarannya pun terhalangi. Tidak ketinggalan ulama, ormas dan ajarannya pun dipersekusi dan dikriminalisasi. Meskipun begitu, kaum Muslim tetap menunjukan kemuliaannya dengan bersikap sangat toleran dengan agama lain.
Islam Sangat Toleran
Fakta menunjukkan Islam sangat toleran dengan agama lain, karena Islam sendiri melarang umatnya memaksakkan keyakinan/agama kepada orang lain sebagaimana yang disebutkan dalam QS Al Baqarah 256 “Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat”. Bahkan dalam pandangan Islam, orang yang tidak mau beragama pun tidak bisa dipaksa memeluk Islam. Di sinilah toleransi luar biasa kaum Muslim.
Jika melihat kebelakang, justru pembangunan gereja jauh lebih meningkat dibandingkan dengan pembangunan masjid. Data Kementerian Agama tahun 2004 hingga 2007 menyebutkan pendirian gereja Katolik tumbuh 153 persen, gereja Protestan naik 131 persen, Vihara 368 persen dan pura Hindu bertambah 475,25 persen. Sementara masjid hanya meningkat 64 persen. Melihat hal tersebut toleransi seperti apalagi yang diharapkan dari kaum Muslim?
Islam Menjamin Keberagaman
Islam adalah agama yang menjunjung toleransi terhadap non-Muslim. Tidak sekedar klaim karena sudah terbukti sejak masa Rasulullah saw hingga kini. Hal ini dapat berjalan dengan baik karena Islam sudah memberikan pedoman toleransi yang begitu luhur dan terwujud dalam prinsip lakumdinikum waliyadin (untukmu agamamu, untukku agamaku). Islam mengajarkan umatnya untuk menghargai dan memberi kebebasan terhadap hak hak beragama non-Muslim. Tapi, bukan membenarkan ajaran agama diluar Islam. Dengan kata lain, Islam mengakui pluralitas yakni pembenaran bahwa di dunia ini hidup berbagai macam keyakinan. Namun, Islam secara tegas menolak ide pluralisme yakni sebuah paham yang menganggap semua agama sama. Hal ini bukanlah egoisme kelompok karena prinsip yang sama juga berlaku pada agama agama di luar Islam. Islam memberikan tuntunan bagaimana menghargai dan menghormati pemeluk agama lain.
Negara Islam pertama di Madinah yang dipimpin Rasulullah saw kala itu juga menunjukkan kecemerlangannya dalam mengelola keberagaman. Umat Islam, Nasrani, dan Yahudi hidup berdampingan satu sama lain. Meskipun mereka hidup dalam naungan pemerintahan Islam, masyarakat non-Muslim mendapatkan hak-hak yang sama sebagai warga negara, memperoleh jaminan keamanan, juga bebas melakukan peribadatan sesuai dengan keyakinannya masing-masing.
Begitupun pada masa Umar bin Khattab menjadi Khalifah, saat pembebasan wilayah Jerusalem 638 M, Umar memasuki kawasan Baitul Maqdis, Palestina, beliau sempat masuk ke Gereja Al-Qiyamah (Holy Sepulchre). Pada saat menginspeksi gereja tua itu tibalah waktu shalat dan Uskup Agung (Yerusalem Sophronius) pun menawarkan kepadanya untuk mendirikan shalat di Gereja ini, namun tawaran tersebut ditolak agar tak muncul anggapan bahwa gereja tersebut milik Muslim sehingga kelak bisa menimbulkan klaim dan membangun masjid secara paksa. Umar kemudian keluar mengambil batu dan melemparkannya keluar gereja. Ditempat batu itu jatuh Umar kemudian melakukan shalat. Umar menjamin bahwa Gereja Holy Sepulchre tidak akan diambil atau dirusak pengikutnya, sampai kapanpun dan tetap terbuka untuk peribadatan umat Kristiani. (History of al-Tabari: The Caliphate of Umar al-Khattab ,1992, p. 191).
Itulah toleransi yang dicontohkan oleh Rasulullah saw, Umar Bin Khattab dan terus dilaksanakan dari satu Khalifah ke Khalifah lainnya. Ini menjadi bukti bahwa umat Islam dalam hal toleransi bukanlah sekedar ilusi dan ancaman bagi non-muslim maupun keberagaman negeri. Wallahua’lam. [IJM]