Spesial Redaksi| Mediaoposisi.com- Statemen kontroversial berbau lawakan dikeluarkan oleh Ketua DPP PDIP Bidang Kemaritiman Rokhmin Dahuri, ia menganggap Joko Widodo (Jokowi) dengan Umar bin Khatab. Alumni salah satu kampus bergengsi di Bogor yaitu IPB ini berdalih kedekatan Jokowi dekat dengan rakyat mirip dengan Umar bin Khatab.
“Ya kita optimis, optimisnya itu 2 hal. Pertama adalah leadership style atau style kepemimpinan Pak Jokowi luar biasa. Karena beliau seperti saya juga, asalnya dari rakyat biasa. Jadi sangat approachable, sangat mudah didekati beliau kemana saja salaman, nggak ada protokoler ujar Rokhmin, Minggu (8/4)
Secara kontroversial, sosok asal Cirebon ini menyamakan Khalifah Umar dengan Jokowi. Ia juga tak luput menyindir presiden RI sebelumnya yang dianggapnya jauh dari rakyat.
“Beliau kayak Umar bin Khatab kan selalu datang ke sana ke mari menjemput. Kalau presiden-presiden dulu kan ada jarak," imbuhnya,
Berdasarkan pengamatan Mediaoposisi.com terdapat beberapa hal yang menjadi pembeda Umar bin Khattab dengan Jokowi.
1. Rujukan Bernegara
Khalifah Umar adalah khulafaurasyidin yang menjalankan sistem Islam dalam pemerintahannya. Rasulullah pernah bersabda
Wajib atas kalian berpegang teguh kepada Sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk. Gigitlah dia dengan gigi gerahammu. Dan jauhilah oleh kalian perkara-perkara yang baru, karena sesungguhnya setiap perkara yang baru itu adalah bid’ah. Dan setiap bid’ah adalah sesat.
Jokowi dalam bernegara, jelas menggunakan sistem demokrasi dan tidak menggunakan syariat Islam. Bahkan membubarkan ormas yang memperjuangkan penerapan syariat Islam di Indonesia.
Bahkan sosok kontroversial asal Solo ini menganggap bahwa agama tidak mengatur perpolitikan. Ia menuding bahwa momentum pilgub dijadikan ajang politik berbau agama.
“Memang gesekan kecil-kecil kita ini karena Pilkada. Benar enggak. Karena pilgub, pilihan bupati, pilihan wali kota, inilah yang harus kita hindarkan,”tudingya.
"Di pisah betul, sehingga rakyat tahu mana yang agama, mana yang politik," imbuhnya, Jumat (24/3/2017).
2. Penggunaan Asset Negara
Dikisahkan, Khalifah Umar enggan menggunakan asset negara yaitu lampu minyak untuk membahas kepentingan pribadi. Khalifah Umar mematikan lampu minyak dan rela dalam gelap ketika membahas perkara yang sifatnya pribadi.
Hal ini berbeda dengan yang dilakukan oleh presiden kontroversial yang baru baru ini bergaya ala ‘Dilan’ dengan motor Choppernya yang senilai 350 juta rupiah.
Jokowi justru menggunakan asset negara untuk kepentingan pribadinya. Belum lupa dari ingatan kita, Jokowi menggunakan Istana Negara bukan untuk kepentingan Negara. Namun, asset negara yang megah ini digunakan untuk kepentingan partai “bau kencur”, PSI.
''Jadi kita silaturahmi sekaligus Pak Jokowi memberikan tips-tips bagaimana agar PSI mencapai target menang Pemilu 2019. Beliau banyak ngasih ide dan seru-seru. Keren-keren idenya,'' ujar Grace di kompleks Istana Kepresidenan, Kamis (1/3).
3. Politik Internasional
Sejarah mencatat, bahwa Khalifah Umar sukses menaklukkan negara lain Suriah, Persia hingga ke Mesir. Pada era kekhilafahan Umar, bahkan wilayah negara Islam dibagi menjadi 8 yaitu Mekah, Madinah, Jasirah, Basrah, Kufah, Palestina, dan Mesir. Berdasarkan berbagai referensi, politik luar negerinya adalah Dakwah dan Jihad. Artinya Khalifah Umar menaklukkan sekaligus mendakwahkan Islam.
Bagimana dengan Jokowi ?
Keberpihakan kepada negara asing semakin jelas dalam era Jokowi. Presentasi “This Is Your Opportunity” saat Presiden Joko Widodo tampil di depan para CEO yang hadir di KTT APEC Beijing 2014 menguatkan bukti keberpihakan Jokowi kepada asing.
Pemberian perppres kepada TKA, peningkatan hutang secara drastis kepada China. Dikutip dari tempo.co, hutang Indonesia terhadap Cina naik drastis hingga 74 persen pada era rezim Jokowi, hal ini dimulai pada 2015.
Pada tahun tersebut, total utang Indonesia mencapai US$ 13,6 miliar. Jumlah utang pada tahun berikutnya masih meningkat, yakni US$ 15,1 miliar pada 2016, US$ 15,99 miliar di 2017, dan US$ 16 miliar per Januari 2018.
Dampak lain yang tak kalah membahayakan adalah penggunaan TKA asal China, hal ini dikritisi oleh Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudistira Adhinegara.
“Tapi dari sisi risiko politik dan muatan kontraknya patut dikritisi,” katanya, Kamis (22/3)
Bhima mengungkap dalam beberapa proyek dalam negeri hasil pinjaman Cina. Justru menggunakan tenaga kerja asing (TKA) asal Negeri Tirai Bambu itu.
Bukan rahasia lagi bila Indonesia masih memiliki pengangguran yang memerlukan kebecusan pemerintah dalam mengatur negara.
Sejauh ini, masihkah setuju bila Jokowi serupa denga Khalifah Umar ?[MO]