-->

Waspada Mafia Pemilu

Silahkan Bagikan Jika Bermanfaat
Advertisemen
Ilustrasi
Oleh : Najmah Muthaminnah 
(Anggota Revowriter Aceh) 

Mediaoposisi.com- Indonesia sedang menghadapi tahun politik. Sudah menjadi rahasia umum, politik dalam demokrasi  butuh biaya tinggi. Peserta pemilu harus menyiapkan dana tak sedikit untuk maju menjadi kepala daerah, anggota legislatif ataupun presiden.

Politik Biaya Tinggi

Kementrian Dalam Negeri menyebutkan bahwa calon bupati atau walikota butuh dana Rp 20 hingga 100 miliar untuk memenangi pilkada. Contohnya pada pilkada DKI 2017. Pasangan Anies Baswedan dan Sandiaga Uno menghabiskan dana kampanye sebesar 85,4 miliar. Sedangkan pasangan Basuki Tjahaja Purnama dan Djarot Saiful Hidayat sebesar 82,6 miliar. (Kompas.com 13/01/2018)

Anggota Divisi korupsi politik ICW Almas Sjrafina mengatakan ada lima tahapan pemilu yang dianggap mmbutuhkan modal besar.

Pertama tahapan kampanye. Tahapan ini adalah yang paling menguras dana peserta pemilu. Dimana untuk menarik perhatian publik partai atau bakal calon yang akan berlaga dalam pemilu, masing-masing calon perlu membuat baliho hingga melakukan survey.

Kedua, calon tersebut juga harus menarik perhatian partai politik dengan menyerahkan mahar. Contoh kasus “bernyanyinya” La Nyalla Mahmud Mattalitti yang mengaku diminta ketua umum partai Gerindra Prabowo Subianto menyerahkan mahar sebesar Rp 40 miliar.  Nyalla menolak hal itu dan membuat Prabowo marah sehingga Gerindra pun membatalkan pencalonan Nyalla sebagai calon Gubernur Jawa Timur.

Ketiga, tahapan kampanye. Dalam pasal 74 ayat 5 Undang-undang Pilkada, disebutkan bahwa sumbangan dana kampanye perseorangan paling banyak Rp 75 juta dan dari badan hukum swasta paling banyak 750 juta. Ini membuat kandidat berlomba-lomba mengumpulkan dana kampanye yang tinggi.

Keempat, tahapan pendanaan saksi saat pemungutan suara. Kelima, persiapan dan pengawalan sengketa yang berpotensi upaya para peserta pemilu mempengaruhi keputusan hakim atas sengketa pemilu dengan melakukan suap. (Kompas.com 13/01/2018)

Gerilya Mafia Politik

Mahalnya ongkos politik yang harus dikeluarkan meniscayakan adanya mafia politik dalam pemilu. Keberadaan mafia pemilu tak bisa dipungkiri. Terselubung, namun disadari memiliki pengaruh kuat dalam memenangkan calon pemimpin dalam setiap perhelatan pemilu.

"Political cost" pemilu membuat calon pemimpin bergerilya mencari dana kampanye. Dari sinilah para mafia politik masuk dan menginvestasikan uang mereka dalam pemilu. Ketika berhasil menjabat, mereka yang terpilih tersandera untuk tunduk pada kemauan para mafia dalam memuluskan proyek politik.

Kongkalingkong pengusaha dengan penguasa pun sangat kental tercium dalam berbagai proyek sebagai balas budi dan usaha pengembalian modal. Kasus munculnya HGB proyek reklamasi teluk pantai utara Jakarta juga ditenggarai oleh besarnya ongkos politik yang diberikan oleh presdir Agung Podomoro Land , Ariesman Widjaja kepada Ahok saat mencalonkan diri sebagai Gubernur Jakarta.

Di Indonesia, lilitan mafia korporasi yang dikenal sebagai Taipan 9 naga sudah seperti dua sisi mata uang. Nama-nama Taipan sekelas Edward Soeryajaya, James Riyadi, Sofjan Wanandi, Anthoni Salim,Tommy Winata, Robert Budi Hartono, Tahir, Jacob Soetoyo adalah orang terkaya di Indonesia yang bermasalah dalam kasus hukum. Namun, sampai hari ini tak tersentuh hukum.

Korporasi adalah  pemain utama kegiatan dan penguasaan yang sangat mempengaruhi rezim kekuasaan. Inilah kelompok elit yang amat spesial. Biasa disebut dengan Spesial Interst Group (SIG).

Kelompok SIG para taipan menyetir kekuasaan, bukan saja secara politik, praktis juga secara ekonomi dan hukum. Mereka memiliki perangkat administrasi, komunikasi, teknologi canggih dan akuntan handal. Mereka punya kapital kuat dalam tawar menawar untuk menaklukkan jantung kekuatan negara. (Konfrontasi.com, 02/04/2016)

Kondisi di atas tentu memiliki implikasi serius. Pertama, kebijakan pemerintah yang dibentuk melalui proses politik seperti itu pasti kemudian akan cenderung mengutamakan kepentingan korporasi. Kedua, peraturan perundangan yang dihasilkan terutama yang berkaitan dengan ekonomi juga akan cenderung berpihak kepada korporasi. Akhirnya demokrasi semakin jauh dari realisasi politik demi kepentingan rakyat.

Demokrasi Tak Seindah Janji

Banyak manusia yang terpukau janji manis demokrasi. Mereka mengira bahwa sistem Demokrasi akan membawa pada kesejahteraan. Padahal kenyataannya demokrasi sering diperalat oleh kelompok elit  untuk memperkaya diri sendiri dan melupakan rakyat. Wajar saja, karena dalam demokrasi tidak pernah ada yang namanya rakyat sebagai penentu kebijakan.

Sejarah AS membuktikan hal tersebut. Presiden Abraham Lincoln (1860-1865) mengatakan bahwa demokrasi adalah “from people, by the people, and for the people “(dari rakyat, untuk rakyat, oleh rakyat).

Setelah Lincoln meninggal, Presiden AS Rutherford B.Hayes, pada tahun 1876 mengatakan bahwa kondisi As pada tahun itu adalah ”from company, to company,and for company”( dari perusahaan, oleh perusahaan dan untuk perusahaan).

Demokrasi adalah sistem yang cacat sejak kelahirannya. Kedaulatan  di tangan rakyat sejatinya hanya ada  pada para pemilik modal.  Merekalah penguasa yang sesungguhnya. Tak heran dalam demokrasi kebijakan selalu berpihak pada orang kaya atau pemillik modal.

Demokrasi juga telah menjadikan yang kaya semakin kaya, sedangkan yang miskin semakin miskin. Keadaan ini menimbulkan ketimpangan ekonomi di berbagai sisi.

Lembaga Oxpam menyebutkan harta total empat orang terkaya di Indonesia yang tercatat sebesar 25 miliar dolar AS, setara dengan gabungan kekayaan 100 juta orang termiskin di Indonesia. Indonesia bahkan masuk dalam dalam daftar enam besar negara dengan tingkat kesenjangan ekonomi di dunia.

Pada tahun 2016, 1 % orang terkaya memiliki hampir 49 % dari total kekayaan populasi. Pengamat ekonomi dari Universitas Indonesia, Faisal Basri mengatakan saat ini pemerintah belum berhasil mengatasi kesenjangan ekonomi. Ia mengatakan 10% orang terkaya di Indonesia menguasai 75,5% kekayaan nasional. Kekayaan tersebut diperoleh karena faktor kedekatan dengan kekuasaan. (www.dw.com, 27/02/2017)

Sejarah membuktikan bahwa demokrasi hanyalah mainan parpol dan kaum kapitalis. Profesor Sosiologi Universitas Columbia C.Wright Mils mengatakan bahwa demokrasi tak pernah benar-benar memihak rakyat.

Struktur demokrasi terbagi menjadi tiga level. Level paling bawah adalah rakyat jelata yang tidak berdaya, tidak terorganisir, terbelah dan dimanipulasi oleh media massa untuk mempercayai demokrasi sebagai sistem terbaik. Pada bagian atasnya adalah adalah Konggres/ DPR , partai politik atau kelompok politik atau yang disebut pemimpin politik.

Sedangkan Posisi paling puncak adalah yang disebut sebagai “the power elite” yang terdiri atas militer, pemerintah dan perusahaan-perusahaan besar. Kelompok inilah yang memainkan peranan penting dalam sebuah negara.

Islam Mencegah Munculnya Mafia Pemilu

Islam adalah ajaran sempurna. Mengatur urusan manusia dari bangun tidur hingga bangun negara. Mulai dari sistem pendidikan, kesehatan, ekonomi, sosial, hukum hingga sistem pemerintahan.

Di dalam Islam, sistem pemerintahan yang dicontohkan oleh Rasulullah saw dan para sahabat adalah sistem khilafah. Selama 13 abad, khilafah telah menjelma menjadi kekuatan global yang ditakuti dan disegani kawan dan lawan. Kekuasaan Khilafah meliputi hampir 2/3 dunia. Terbentang dari Arab, spanyol hingga Aceh dan nusantara.

Islam pun mengenal pemilu.Tentu saja dalam koridor syara'. Pemilu  dalam pandangan Islam adalah akad wakalah (perwakilan). Agar  sebuah akad  perwakilan sempurna, perlu  pemenuhan atas rukun-rukun wakalah,yaitu (1) muwakkil atau yang mewakilkan suatu perkara, (2) wakil, yaitu orang yang menerima perwakilan, (3 ) al-umuur al-muawakkal biha atau perkara yang diwakilkan dan ke (4) shighat at-tawkil atau redaksional perwakilan.

Problem utama yang membedakan pemilu dalam Islam dan pemilu dalam demokrasi adalah pada poin ketiga,  yaitu perkara yang diwakilkan. Islam hanya membolehkan wakil yang terpilih untuk menerapkan hukum Allah saja. Bukan membuat hukum sendiri sesuai akal manusia.

Namun tidak demikian dengan sistem demokrasi. Kedaulatan di tangan rakyat telah meniscayakan wakil yang terpilih di dalam demokrasi boleh membuat hukum selain hukum Allah. Itulah fakta yang kita saksikan saat ini.

Dalam sistem pemerintahan Islam (Khilafah),  pemilu juga minim biaya. Karena calon wakil hanya diberi waktu untuk berkampanye selama 3 hari. Lalu para 'ahlul halli wal aqdi' yang merupakan representasi umat Islamlah  yang akan memilih wakil tersebut. Baru kemudian calon yang terpilih akan dibaiat oleh seluruh kaum muslimin. (Struktur Negara Islam,Taqiyyudin An-Nabhani)

Praktis tak perlu baliho, spanduk, poster atau bahkan  mahar yang besar untuk mendulang suara dan dukungan.

Inilah pemilu dalam Islam. Sederhana, tidak ribet dan minim biaya. Bahkan menutup pintu bagi mafia  pemilu untuk masuk dan mengintervensi pemilihan. Walaupun demikian, calon terpilih bisa dipertanggungjawabkan kredibilitasnya karena dipilih oleh representasi umat itu sendiri.

Pemilihan umum seperti ini pernah dilakukan oleh para sahabat dalam memilih khalifah (pengganti) Rasulullah saw saat beliau wafat. Jenazah Rasulullah saw yang mulia sempat di tunda pemakamannya oleh para sahabat  hingga 3 hari. Padahal mereka mengetahui kewajiban bagi kaum muslimin untuk menyegerakan pengurusan jenazah.

Hal ini menunjukkan betapa urgennya keberadaan pemimpin (khalifah) di tengah- tengah umat Islam. Pemakaman Rasulullah saw baru dilakukan setelah akhirnya Abu Bakar siddiq ra terpilih oleh ahlul halli wal aqdi untuk menjadi khalifah setelah Rasulullah saw. Ini pulalah yang dilakukan oleh kaum muslimin dalam pemilihan umar bin khattab ra,  Usman bin Affan ra dan Ali bin Abi Thalib ra.

Walhasil, berharap bahwa siapapun yang terpilih dalam demokrasi akan mensejahterakan rakyat ibarat pungguk merindukan bulan. Angan-angan kosong yang jauh dari realita. Demokrasi tak ubah seperti racun berbalut madu. Manis dalam teori, namun busuk dalam praktik.

Perjalanan panjang bangsa ini menunjukkan bahwa demokrasi tak kunjung mewujudkan harapan rakyat. Oleh karena itu, semestinya kita tak ragu untuk meninggalkan sistem cacat ini dan berjuang sungguh-sungguh untuk menegakkan sistem yang datang dari Allah SWT,  yaitu Khilafah Islamiyah yang akan menerapkan  syariah secara kaffah hingga menjadi rahmat bagi semesta alam.[MO]




Silahkan Bagikan Jika Bermanfaat

Disclaimer: Gambar, artikel ataupun video yang ada di web ini terkadang berasal dari berbagai sumber media lain. Hak Cipta sepenuhnya dipegang oleh sumber tersebut. Jika ada masalah terkait hal ini, Anda dapat menghubungi kami disini.
Related Posts
Disqus Comments
close