Oleh : Rut Sri Wahyuningsih
Mediaoposisi.com- Ketua Umum Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), menyampaikan sambutan dalam acara pembukaan Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) Partai Demokrat tahun 2018 yang berlangsung di Sentul, Bogor, Jawa Barat, bahwa ada kemungkinan partainya bergabung dalam koalisi pemerintah dalam pilpres mendatang.
Sementara Presiden Jokowi yang juga hadir dalam acara tersebut memberi sinyal dengan menyatakan dirinya bukan seorang pemimpin otoriter, melainkan pemimpin yang demokratis (liputan6SCTV/11/03/2018).
Peta koalisi partai politik untuk Pemilihan Presiden 2019 perlahan-lahan mulai terlihat, beberapa bulan sebelum pendaftaran calon presiden dan calon wakil presiden pada Agustus mendatang. Meski semuanya masih bisa berubah sampai ada pendaftaran di Komisi Pemilihan Umum, namun setidaknya sudah ada peta koalisi yang mengarah kepada tiga poros.
Yaitu yang pertama poros Jokowi, sebagai petahana poros ini sudah ada lima partai politik yang mendeklarasikan secara resmi dukungannya, yakni PDI-P, Partai Golkar, Partai Nasdem, PPP, dan Partai Hanura. Kedua adalah poros Prabowo, poros kedua ini terdiri dari Partai Gerindra dan PKS.
Kedua partai politik ini sejak awal pemerintahan Jokowi menyatakan diri sebagai oposisi dan masih konsisten hingga saat ini dan yang terakhir poros ketiga , dimana kemungkinan terdiri dari Partai Demokrat, PKB, dan PAN. Dua partai yang disebut terakhir sebenarnya saat ini adalah pendukung pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla (kompas,com/9/3/2018).
Partai Demokrat sejak awal pemerintahan Jokowi-JK, telah menempatkan diri sebagai partai penyeimbang. Belakangan, partai berlambang mercy ini gencar menjagokan Agus Harimurti Yudhoyono sebagai capres 2019. Berbagai pendapat para tokoh bermunculan terkait adanya poros ketiga tersebut. Sekjen PAN Eddy Soeparno menyampaikan, tidak menutup kemungkinan ketiga partai akan berkoalisi di Pilpres.
Din Syamsudin menambahkan,Dengan begitu, masyarakat bisa mendapat pilihan alternatif di luar koalisi Jokowi atau Prabowo. Jadi ini menghindari munculnya pembelahan politik jika hanya dua kubu atau dua poros, dengan adanya poros ketiga, maka masyarakat juga akan mendapatkan pilihan alternatif selain Jokowi dan Prabowo tambahnya, "Kalau untuk demokrasi kita jelas akan lebih baik,"
Sementara itu menurut Direktur Eksekutif Indo Barometer, Muhammad Qodari kemungkinan adanya koalisi partai Islam kecil. Hal ini disebabkan masing-masing dari partai tersebut memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Selain itu, partai-partai Islam telah memiliki jalan masing-masing.
"Kita lihat masing-masing partai politik berbasis masa Islam ini sudah punya jalan sendiri-sendiri. Paling tidak PPP sudah merapat ke Jokowi, PKS sekutu dengan Gerindra. Tinggl PKB dan PAN, kalau bergabung tidak cukup memenuhi syarat 20 persen kursi, jadi kemungkinan PKB dan PAN ini akan merapat ke salah satu kubu, kalau tidak Jokowi ya Prabowo," ( Republika.co.id/(8/3/2018).
Dalam sistim demokrasi sulit diharapkan ada parpol yang betul-betul komitmen terhadap platform parpol, sekalipun itu adalah yang menamakan dirinya parpol Islam. Dimana yang terjadi adalah justru yang sebelumnya lawan bisa menjadi kawan atau sebaliknya. Tidak ada kawan abadi atau musuh abadi, dalam demokrasi yang ada adalah kepentingan abadi. Karena fungsi partai dalam sistem demokrasi adalah mesin kekuasaan.
Yang dengannya dapat diperoleh kekuasaan atas nama pribadi maupun kelompok. Untuk menerapkan solusi bagi persoalan manusia yang itu berasal dari hawa nafsu manusia.
Islam sebagai agama yang sempurna mengatur pula mengenai parpol. Dalam Islam setidaknya parpol harus memenuhi dua kriteria, pertama mempunyai satu ikatan yaitu ikatan ideologis. Ikatan inilah yang mengikat keanggotaan partai. Ikatan ini terbentuk ketika ideologi partai yang terstruktur dalam tsaqofah partai diinternalisasikan kedalam diri anggota sebelum menjadi anggota partai. Kedua mempunyai seorang pemimpin yang ditaati.
Ketaatannya didasarkan pada kedaulatan ditangan ideologi. Berangkat dari kontruksi inilah negara sebagai entitas praktis, umat sebagai entitas sosial dan partai politik sebagai entitas intelektual,menjadi satu kesatuan untuk menjamin berlangsungnya kehidupan Islam dan Negara khilafah . Maka secara alamiah posisi partai politik dalam negara khilafah tidak akan menjadi bagian dari pemerintah. Tetapi juga tidak berposisi sebagai oposisi.
Sebagai entitas intelektual, partai politik mempunyai tugas untuk mendidik umat, melakukan amar makruf dan nahi mungkar, mengontrol pemikiran dan perasaan mereka , serta membangun ikatan ditengah-tengah mereka dengan ikatan yang shahih.
Dengan akarnya yang kuat ditengah-tengah umat, karena idenya telah diemban oleh umat maka ketika negara melakukan penyimpangan , partai ini akan dengan mudah meluruskannya kembali (Kebijakan Agung Khilafah islamiyah jilid 1, kH. Hafidz Abdurrahman, MA, hal 176).
Di sinilah pentingnya posisi partai yang independen di tambah dengan adanya dukungan umat maka tugas ini tidak akan sulit bagi partai mengoreksi penguasa dan menjaga negara ketika ada penyimpangan.
Dalam Islam ada kewajiban bagi partai untuk komitmen pada ideologi. Bukan kepentingan orang perorang atau kelompok, sebagaimana yang dipraktekkan pada partai politik baik nasionalis maupun islam dalam sistim demokrasi hari ini. Partai Islam hari ini bahkan telah mengalami distorsi ideologi dikarenakan Tupoksi yang tidak jelas.
Jangankan menjadi pemimpin umat bahkan pemikiran islam yang seharusnya dia emban sebagaimana nama dan mayoritas pengikutnya adalah islam saja mereka tak mampu mempertahankan. Padahal semestinya partai politik Islam seharusnya menjadi wasilah bagi penegakan sistem Islam.
Bukan hanya berkoalisi atau bergabung dengan partai yang lain demi kekuasaan semata minus memperjuangkan apa yang menjadi kebutuhan rakyat.[MO]