Muhammad Ayyubi ( Pengamat Politik )
Rakyat adalah sekumpulan individu yang hidup bersama yang diikat dengan pemahaman, perasaan dan peraturan yang sama. sebagai sebuah entitas yang hidup rakyat memiliki naluri dan akal. Dia tidak mati bagaikan batu yang statis dan kaku.
Memperlakukan rakyat tidak bisa seperti memandang halnya batu. kesalahan mendasar adalah ketika memandang rakyat sebagai materi belaka. Jika seperti ini, yang terjadi adalah penguasa tidak peka, tidak simpatik dan empatik dengan apa dirasakan rakyat. rakyat di satu sisi dan penguasa di sisi yang lain.
Ketika rakyat lapar justru penguasa berencana menaikkan gajinya hingga di atas setengah milyar rupiah, ketika rakyat tertimpa bencana tetapi penguasa berjoget ria di Istana, ketika rakyat susah mencari kerja justru penguasa mengundang pekerja dari China, Ketika Antrian BBM memanjang dengan santainya mengatakan “ bukan urusan saya”.
Alangkah sedihnya ketika rakyat merasakan keanehan, kemelaratan, kedzaliman, kemiskinan di negerinya dengan melakukan serangkain protes, bahkan datang ke singgasana mereka di istana tetapi semua itu direspon oleh penguasa seolah rakyat ingin menggulingkannya.
Kritik dan saran dianggap sebagai ujaran kebencian yang kemudian dijaring dengan undang-undang yang mereka bikin untuk menghilangkan sandungan-sandungan kekuasaan. Rakyat tidak boleh merasakan sakit, sedih, tertekan, karena mereka - dalam pandangan penguasa - adalah materi seonggok batu yang tidak mengerti masalah.
Semua diatur oleh penguasa tanpa boleh ada yang resisten. kalaupun protes maka dengan pongahnya, penguasa mengatakan : “ ini program saya dan saya yang kerjakan”. “ Jika tidak sanggup bayar listrik jangan pakai listrik”, “ Jika tidak bisa makan daging makan saja keong racun”, “ jika tidak bisa beli cabe tanam saja sendiri “ dan sederet ungkapan tak berempati dengan penderitaan rakyat.
Ketika rakyat dianggap hanya seonggok materi, maka dia tidak akan dihargai lebih dari itu. Layak nya sebuah materi dia akan dibutuhkan ketika ada perlunya, dirawat dan di simpan ditempat yang bagus. tetapi jika materi itu rusak dan dibutuhkan maka akan dibuang, seolah tidak ada lagi memori bahwa dia pernah sangat membutuhkan materi itu. Sebagai sebuah materi, dia tidak boleh lebih cerdas dari pemiliknya. Karena itu dianggap sebagai ancaman yang bisa membahayakan kedudukannya. maka dibiarkannya rakyat terus di dalam kebodohan.
Masih basah ingatan kita, bagaimana Belanda secara sistematis membuat rakyat nusantara bodoh dan terbelakang. Tidak ada sekolah kecuali bagi anak belanda atau anak pegawai Belanda. maka, ulama pada masa penjajahan menharamkan sekolah Belanda karena dianggap sekolah kafir.
Seandainya bukan karena pelajaran dalam Islam sebagai agamanya, tentu tidak akan ada secuil pengetahuan yang rakyat dapatkan. Kita bisa paham kenapa Belanda sangat mengawasi jamaah Haji. Karena umumnya para jamaah haji bukan sekedar melaksanakan ibadah di Mekkah tetapi mereka belajar arti kehidupan dan sebuah perjuangan dari Guru-guru Nusantara di sana. Yang semua itu mereka dapatkan dalam kitab-kitab klasik karangan ulama mu’tabar.
Hingga kita memahami bahwa perlawanan dilakukan oleh rakyat atas penindasan Belanda dilandasi semangat Jihad fi Sabilillah. hingga akhirnya pahlawan-pahlawan itu pun dilabeli sebagai pemberontak yang mengancam kekusaan Belanda. Andai bukan karena kekalahan politik di meja perundingan pemebentukan dasar negara niscaya Indonesia adalah negara Islam. begitu yang disampaiakn oleh Ki Bagus Hadikusumo.
Pun, hari kita melihat bagaimana rakyat di buat bodoh oleh Media Penguasa dengan menyebarkan berita bohong keberhasilan, pembengunan, investasi dan sederet prestasi fiktif. Hal itu terus dilancarkan oleh penguasa agar rakyat tetap buta dengan keadaan sebenarnya. Bahkan ungkapan bahwa “ Politik harus dipisahkan dari agama”. hakikatnya adalah ujaran agar rakyat tetap bodoh dan buta. karena sejak zaman Rasulullah hingga masa penjajahan Belanda, Agama Islam lah yang membuat rakyat jadi cerdas tentang apa yang sedang terjadi.
Karena Islam memang mengangkat derajat manusia ke level tertinggi, yakni sebagai ulul albab. ketika agama- dalam hal ini islam – dipisahkan dari politik, maka yang sangat bergembira adalah para penjajah dan para anteknya. karena kedok dan kebohongan mereka tidak terbongkar selamanya.
Rakyat bukan benda statis, dia adalah entitas hidup yang terus berkembang hingga pada titik di mana Allah akan menjadikannya penguasa dunia. Rakyat akan terus dan harus hidup dengan wahyu yang telah Allah turunkan. “ Wahai orang-orang yang beriman penuhilah seruan Allah dan Rasulnya, apabila Dia menyerumu kepada sesuatu yang memberikan kehidupan kepadamu ( QS. 8:24 )”
Perasaan marah, kecewa, tidak rela terhadapa segala sesuatu yang bertentangan dengan Firman Allah haruslah terus dipupuk dan disemai dalam diri pengembannya. Menjadikan Al Quran sebagai dasar marah dan kecewa kita, karena inilah yang ditakutkan musuh Islam. Menjadikan Islam bukan sekedar sebagai agama ritual tetapi sebagai ideologi untuk menimbang benar dan salah dunia.
Para pemikir barat dan dilanjutkan para agennya sampai pada kesimpulan bahwa Al Quran lah sumber kehidupan Islam. Maka tidak henti usaha mereka untuk mendistorsi isinya dan memalingkan dari makna sesungguhnya. Bagaimana para Liberalis sebagai corong penguasa mendistorsi ayat al Quran dengan mengatakan bahwa LGBT boleh, pluralisme sah dan Donald Trump adalah Khalifah.
Maka saatnya bangkit dengan Ideologi Islam. tidak jalan bagi penguasa untuk membodohi rakyat jika kembali kepada Al Quran dan Sunnah Rasulullah. rakyat bukan materi mati yang stagnan, dia bergera. karena bergerak adalah tanpa hidup.
Jika penguasa menganggap rakyat adalah materi mati maka apa bedanya mereka dengan para sosialis yang mengatak bahwa segala sesuatu di dunia ini adalah materi dan akan menjadi materi. tidak ada hukum kecuali materi yang sibol dari hukum adalah penguasa. itukah makna “ Saya Indonesia, Saya Pancasila”???[]
from Pojok Aktivis