Oleh: Mahfud Abdullah (Indonesia Change)
72 tahun merdeka, harapan rakyat digantungkan kepada para pemimpin untuk terciptanya keadilan dan kesejahteraan. Di masa kepemimpinan Jokowi juga belum terealisasi membeli kembali Indosat, membangun 100 technopark, pengalihan BBM ke Gas, modernisasi kilang minyak, pembangunan 50 ribu puskesmas, menghentikan impor daging, swasembada pangan dalam tiga tahun, hingga mensejahterakan masyarakat Papua. Perhatian pemimpin tentu bukan sekadar dalam memenuhi kebutuhan fisik rakyat, tetapi juga kebutuhan ideologis agar mereka tetap di jalur kehidupan yang mengantarkan mereka menuju ridha Allah SWT sehingga mereka sukses dunia-akhirat.
Demokrasi masih digadang-gadang, banyak pemimpin gembar-gembor janji-janji manis, sayangnya di system ini perilaku hipokrit, korup sekaligus melahirkan banyak perilaku munafik.
Politik transaksional mengakar. Dalam ‘politik transaksional’, kepentingan tentu menjadi faktor utama. Karena itu tidak aneh, selama sesuai dengan kepentingan—seperti keuntungan ekonomi, meraih jabatan, mempertahankan dan mengamankan kekuasaan—para aktor politik akan mengorbankan idealisme, termasuk prinsip-prinsip agama. Akibatnya juga tidak aneh: banyak figur munafik.
Setelah terpilih sebagai penguasa, misalnya, mereka jahat dan zalim kepada rakyat dengan mengeluarkan banyak kebijakan yang merugikan rakyat; misalnya dengan terus-menerus menerapkan kebijakan liberalisasi SDA, membebani rakyat dengan ragam pajak, menjual sumberdaya alam milik rakyat, dll. Padahal sebelum berkuasa, khususnya pada masa-masa kampanye Pemilu, mereka mencitrakan diri sebagai pembela wong cilik dan mencintai rakyat.
Sebagian ulama membagi orang munafik menjadi dua. Pertama: munafik secara i’tiqâdi. Pelakunya pada dasarnya kafir, tetapi berpura-pura atau menampilkan diri sebagai Muslim semata-mata demi menipu Allah SWT (QS an-Nisa’ [4]: 142). Bayangkan, Allah SWT saja mereka tipu. Bagaimana dengan rakyat mereka?! Munafik jenis ini ditempatkan pada tingkatan yang paling bawah dari neraka (QS an-Nisa’ [4]: 145). Mereka inilah ‘musuh dalam selimut’. Mereka ini, di dalam hatinya pada hakikatnya mendustakan kitab-kitab Allah dan para malaikat-Nya atau mendustakan salah satu asas Islam (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 8-10).
Kedua: munafik secara ‘amali. Pelakunya boleh jadi Muslim, tetapi memiliki sifat-sifat/ciri-ciri orang munafik. Dalam hal ini, Rasulullah saw. bersabda:
Ada tiga tanda orang munafik: jika berkata, berdusta; jika berjanji, ingkar; jika dipercaya, khianat (HR al-Bukhari dan Muslim).
Selain itu, dalam salah satu kitabnya, ‘Aid Abdullah al-Qarni menyebutkan beberapa sifat kaum munafik yang disebutkan dalam al-Quran, di antaranya: dusta; khianat; ingkar janji; riya (doyan pencitraan); mencela orang-orang taat dan shalih; memperolok-olok al-Quran, as-Sunnah dan Rasulullah saw.; bersumpah palsu; tidak peduli terhadap nasib kaum Muslim; suka menyebarkan kabar bohong (hoax); mencaci-maki kehormatan orang-orang shalih; membuat kerusakan di muka bumi dengan dalih mengadakan perbaikan; tidak ada kesesuaian antara lahiriah dan batiniah; menyuruh kemungkaran dan mencegah kemakrufan; sombong dalam berbicara; menantang Allah SWT dengan terus berbuat dosa; dst.
Para pengurus rakyat saling berlomba mencitrakan sebagai politisi bersih dan jujur. Namun Jika pun akhirnya terbukti melakukan tindakan korupsi, lalu diadili, vonis mereka pun sangat rendah, tidak memberi efek jera sama sekali. Harta yang mereka korupsi pun masih aman karena tidak ada proses “pemiskinan” terhadap koruptor. Dari semua itu jelaslah, masalah korupsi bukan sekedar masalah person. Korupsi adalah masalah sistem dan ideologi. Sistem demokrasi menjadi biang korupsi dan ideologi sekuler kapitalisme menjadi habitat hidup korupsi. Negeri ini bersih dari korupsi akan terus sebatas mimpi, selama ideologi sekuler kapitalisme dan demokrasi tidak diganti.
from Pojok Aktivis