Ilustrasi |
Oleh: Ahmad Sastra
Pada mulanya kata filsafat berarti segala ilmu pengetahuan yang dimiliki manusia. Mereka membagi filsafat kepada dua bagian yakni, filsafat teoretis dan filsafat praktis.
Filsafat teoretis mencakup:
1. Ilmu pengetahuan alam, seperti: fisika, biologi, ilmu pertambangan, dan astronomi;
2. Ilmu eksakta dan matematika;
3. Ilmu tentang ketuhanan dan metafisika. Filsafat praktis mencakup: (1) norma-norma (akhlak); (2) urusan rumah tangga; (3) sosial dan politik.
Hermeneutika (Indonesia), hermeneutics (Inggris), dan hermeneutikos (Greek) secara bahasa punya makna menafsirkan. Filosof Aristoteles pernah menggunakan istilah ini untuk judul kitabnya, Peri Hermeneias. Kitab itu lalu diterjemahkan ke dalam bahasa Latin menjadi De Interpretationne dan kedalam bahasa Inggris, On the Interpretation.
Aristoteles tidak membahas teks atau membuat kritik atas teks. Tapi, ia hanya mengupas peran ungkapan [postulat] dalam memahami pikiran. Kata benda, kata kerja, ungkapan, dan kalimat yang berkait dengan bahasa menjadi bagian kajiannya. Lafal Hermeneutika adalah derivasi (musytaq) dari Bahasa Yunani dari akar kata hermeneuin, artinya menafsirkan. Al-Farabi mengartikannya dengan lafal Arab al-ibaroh (ungkapan).
Tokoh-tokoh pengusung westernisasi yang melahirkan hermeneutik adalah : Rene Descartes (m. 1650), Jonh Locke (m. 1704), George Berkeley (m. 1753), David Hume (m. 1776), Immanuel Kant (m. 1804), George Friedrich Hegel (m. 1831), Ludwig Feurbach (m. 1872), Karl Marx (m. 1887), Charles Robert Darwin (m. 1882), August Comte, Sigmund Freud (m. 1939), Friedrich Nietzsche (m. 1900), Friedrich Schliermacher, Wilhem Dilthey, Emilio Betti dan Gadamer.
Dalam perkembangannya, hermeneutika tak lagi dipahami sekadar makna bahasa, tetapi makna bahasa dan filsafat. Para teolog Yahudi dan Kristen menggunakan hermeneutika untuk memahami teks-teks Bible. Tujuannya, untuk mencari nilai kebenaran Bible tersebut. Para teolog dari kalangan Yahudi dan Kristen mempertanyakan, apakah Bible itu kalam Tuhan atau kalam manusia ?. .
Dengan demikian filsafat hermeneutika adalah upaya spekulatif interpretatif subyektif terhadap berbagai postulat dan realitas. Sumber filsafat hermeneutik adalah worldview barat yang sekuleristik tentang manusia, kehidupan dan kosmologi. Khusus bidang kosmologi, filsafat bekerja di dua dimensi, fisika dan metafisika.
Dalam sejarahnya, hermeneutika inilah yang telah menjadi faktor pemecah belah kaum nasrani karena merupakan metode tafsir dari mitos Yunani, diadopsi pihak Yahudi - Kristen dan digunakan sebagai metode menafsirkan Bible. Namun ironis, hermeneutika kini justru diajarkan di berbagai perguruan tinggi negeri Islam. Hasilnya adalah muslim pendusta dan pembenci Islam serta perusak fundamental epistemologi Islam.
Interpretasi subyektif spekulatif ini dapat ditemukan contohnya di buku A Brief Story Of Time karya Stephen Hawking, fisikawan teoritis yang ateistik. Teori singularitas gravitasi yang mencoba mengkombinasi antara fisika dan metafisika dengan mengemukakan empat prinsip utama yakni tuhan sejatinya tidak ada, bukan tuhan yang menciptakan alam semesta, surga dan neraka hanyalah dongeng semata dan manusia sejatinya bisa hidup kekal. Namun kematiannya telah mampu membantah teori spekulasinya sendiri. Dan kini Hawking harus dihadapkan dengan Tuhan yang diingkarinya sendiri.
Islam sebagai agama samawi tentu saja berbeda dengan agama kristen yang hari ini ada. Al Qur’an sebagai wahyu Allah tentu saja berbeda dengan bible yang ada hari ini. Karena itu Barat ngotot untuk menjadikan hermeneutika ini sebagai metode penafsiran kontemporer di perguruan tinggi Islam dengan satu tujuan utama adalah merusak Islam dari sisi yang paling fundamental yakni epistemologinya.
Barat terus melakukan kaderisasi agen hermeneutika dengan menyekolahkan kaum muslimin di kampus-kampus misionaris di Barat. Akibatnya muncullah kaum intelektual liberal yang kerjanya hanya mengacak-acak Islam dengan pemikiran yang cenderung ngawur dan dangkal. Dalam bahasa jawa, saenake udele dewa. Mereka mempermainkan berbagai postulat dalam Islam seenak nafsunya sendiri. Tidak berlebihan jika hermeneutika disebuat sebagai ‘tafsir al ngawuriyu’, interpretasi orang-orang ngawur.
Konstruksi epistemologi hermeneutika didasarkan oleh aliran pemikiran sekuleristik, liberalistik, pluralistik, skeptisistik, ateisitik, permisifistik, relatifistik dengan tujuan dekonstruksi epistemologi Islam. Filsafat hermeneutika adalah bagian dari ghozwul fikr yang bermuara kepada imperialisme epistemologi. Hasilnya umat Islam menjadi ragu kepada agamanya sendiri karena telah terjadi sinkretisme, pelarutan dan pembaratan ajaran Islam.
Gerakan misionaris dan orientalisme berperan besar dalam pola dekonstruksi ajaran Islam melalui apa yang disebut sebagai metode ilmiah. Metode ilmiah inilah pula yang telah menipu dan menyeret kaum intelektual muslim hingga mereka merasa bangga dengan pendekatan baru studi Islam kontemporer ini. Inilah cikal bakal lahirnya kaum liberal di dunia Islam.
Tokoh utama pengusung hermeneutika di dunia Islam adalah Nasr Hamid Abu Zayd (Mesir) yang telah divonis murtad oleh Mahkamah Agung Mesir 1996, juga Arkoun dari Afrika Utara yang kini di Eropa, serta Fazlur Rahman yang harus hengkang dari Pakistan ke Chicago Amerika. Kini para penerus mereka bertebaran di Indonesia dan bermarkas di berbagai perguruan tinggi Islam.
Hingga zaman modern, menurut penelusuran Richard E. Palmer, terdapat enam definisi hermeneutika berdasarkan pada perkembangan yang telah dilewatinya.Masing-masing definisi mewakili zaman dan bentuk hermeneutika sebagaimana dipahami oleh para penggiatnya. Keenam definisi tersebut bisa disebut pendekatan Bibel, filologis, saintifik, filsafat, fenomenologi eksistensi dan sistem interpretasi.
Beberapa Perguruan Tinggi Islam kini telah menetapkan hermeneutika sebagai mata kuliah wajib di jurusan Tafsir Hadits. Bahkan menurut sejumlah akademisi di UIN tertentu, hermeneutika sudah menjadi madzhab resmi kampus mereka, karena kuatnya pengaruh petinggi kampus yang mempromosikan paham ini. Para mahasiswa diarahkan menulis skripsi atau tesis dengan menggunakan metode hermeneutika menggantikan ilmu tafsir klasik.
Filsafat hermeneutika sebagai sistem interpretasi berfungsi menjauhkan kaum muslimin dari berbagai istilah Islam dan mengaburkan maknanya. Berbagai istilah islam liberal, islam nusantara, islam moderat, islam fundamental, islam radikal, dan sejenisnya adalah produk filsafat hermeneutika untuk melemahkan pemahaman kaum muslim sekaligus memecah belah, sebagaimana kaum kristen yang telah terpecah belah. Istilah-istilah diatas adalah propaganda Barat untuk menyerang dan melumpuhkan Islam.
Bahkan yang kini sedang rame diperbincangkan adalah istilah khilafah yang jelas-jelas merupakan ajaran Islam dan fakta sejarah, oleh kaum hermeneutika ditolak dengan berbagai apologi dangkal dan cenderung ngawur, namanya juga ‘tafsir al ngawuriyu’.
Padahal mengangkat pemimpin bagi kaum muslim untuk persatuan dan penerapan hukum Islam tidak ada beda pendapat di kalangan ulama mazhab, namun pengusung hermeneutika mengingkarinya. Mereka bersepakat untuk mendustakan agama dengan cara agak ngilmiah sedikit.
Bahkan ijma sahabat oleh kaum hermeneutika didustakan dengan mengatakan telah dimansukh [dihapus] oleh kesepakatan Indonesia. Ijma’ sahabat bahkan dikatakan tidak berlaku di Indonesia. Hermeneutika berani melecehkan sahabat Nabi. Inilah karakteristik filsafat hermeneutika yang selalu didasarkan oleh spirit dekonstruksi terhadap ajaran Islam.
Filsafat hermeneutika juga berusaha membangun framing bahwa orang yang memperjuangkan khilafah adalah bagian dari terorisme. Meski mereka tidak memiliki bukti sama sekali. Narasi yang dibangun adalah bahwa radikalisme lebih berbahaya dari pada terorisme. Padahal kedua istilah itu justru framing Barat untuk menyerang Islam.
Karena itu filsafat hermeneutika adalah filsafat sesat dan menyesatkan yang dibangun oleh Barat untuk menghancurkan epistemologi Islam. Dengan berbagai interpretasi yang tidak berpijak kepada nash al Qur’an, namun berpijak kepada rasio dan emosinya, maka hermeneutika justru bertentangan dengan Islam itu sendiri. Terlebih hermeneutika juga berasal dari luar Islam.
Karena asal mula filsafat hermeneutika dari kaum kafir yang anti Islam, maka jika digunakan oleh orang muslim akan berpotensi menjadi pendusta Islam. Dan kini para pendusta Islam justru banyak yang berada di berbagai perguruan tinggi Islam. Kini kaum pendusta Islam itu mengaku dirinya seorang muslim bahkan kaum intelektual.
Kesimpulannya, filsafat hermeneutika adalah interpretasi epistemologi kaum pendusta agama, waspadalah !!. [MO].