-->

Demokrasi Korosif

Silahkan Bagikan Jika Bermanfaat
Advertisemen

Oleh: Firdaus Bayu - Pusat Kajian Multidimensi

Indonesia dikenal dengan negeri bertanah subur dan kaya akan sumber daya alam, namun anugerah tersebut nampaknya tak membawa rakyatnya pada kesejahteraan. Banyak pihak menilai rusaknya negeri ini lantaran para pemimpin yang tidak amanah, tetapi tak sedikit juga yang mengatakan bahwa kerusakan yang ada juga karena persoalan sistemik di dalamnya. Yang jelas, sampai hari ini Indonesia masih menerapkan demokrasi sebagai sistem politiknya. Demokrasi diianggap sebagai sistem politik paling ideal dalam menampung aspirasi rakyatnya, dan untuk itu ia menyelenggarakan pesta rutinan untuk menetapkan wakil-wakil rakyatnya. Pemilu demi pemilu berlalu, namun nyatanya nasib Indonesia tetap saja begitu. Sebentar lagi kita kembali memilih, akankah nasib rakyat tetap seperti ini?

Jika kita perhatikan, keberlangsungan pesta demokrasi selama ini ternyata hanya memberi pergantian rezim, tanpa ada perubahan berarti buat rakyatnya. Sebagian orang mengatakan bahwa carut marut yang terjadi di Indonesia adalah akibat dari pemimpin yang tidak amanah. Pendapat tersebut tidak sepenuhnya salah, namun kurang berimbang. Coba kita hitung, sudah berapa kali Indonesia memilih? Lalu seberapa banyak kemajuan yang telah kita capai? Berbagai karakter kepala negara sudah pernah kita miliki, namun nasib Indonesia masih saja tertinggal. Mulai dari pemimpin yang dikenal pemberani dan orator ulung, pemimpin alumni militer, pemimpin yang cerdas, pemimpin yang berlatar belakang ulama, pemimpin dari kalangan wanita, pemimpin yang tegas dan lembut, hingga pemimpin yang disebut-sebut polos dan gemar blusukan kepada rakyatnya, semuanya telah kita coba. Namun faktanya dari hari ke hari keadaan Indonesia sama saja, bahkan tampak semakin terpuruk. Partai nasionalis hingga partai Islam, semuanya pernah duduk di kursi kekuasaan, namun keadaan negeri ini tetaplah sama. Jika memang kesalahan itu terletak pada sosok pemimpin, mesthinya negeri ini sudah mengalami banyak perubahan, sebab pemimpin yang terpilih selama ini selalu dianggap sebagai pemimpin paling baik pilihan rakyat, bukan?

Sungguh memprihatinkan, sekian puluh tahun lamanya merdeka, sepanjang itu pula berganti-ganti penguasa, Indonesia negeri bertanah subur tak bebas juga dari kemiskinan yang mendera. Menurut data BPS, per September 2017 tercatat 26,58 juta orang miskin di Indonesia. Di samping itu, negeri ini juga semakin terlilit utang. Ditjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan menyebut Per akhir Juli 2017, total utang pemerintah pusat tercatat mencapai Rp 3.779,98 triliun.

Selama ini, rakyat hanya didatangi menjelang pemilu, dirayu untuk memilih. Mereka hanya dihibur dengan pergantian wajah pemimpin, tapi tak juga mendapat kesejahteraan hidup. Jika di Indonesia ada 34 provinsi, 98 kota, dan 410 kabupaten yang setiap lima tahun sekali menyelenggarakan pemilu, maka reratanya setiap tiga hari tujuh jam sekali akan ada pesta demokrasi untuk memilih pemimpin baru. Bisa dibayangkan, berapa dana yang terkuras habis hanya untuk membiayai pesta pergantian pemimpin tersebut, dan apakah semua itu sebanding dengan perubahan yang mereka berikan kepada rakyat yang telah memilihnya?

Demikianlah, ternyata demokrasi hanya memberi pergantian rezim; mengganti bupati, mengganti gubernur, mengganti menteri, mengganti presiden. Tetapi nasib rakyat tak pernah berubah, sebab buktinya demokrasi memang tak memberi perubahan. Jadi, carut marut yang ada di negeri ini bukan hanya semata-mata karena pemimpin yang tidak amanah, tetapi juga karena sistem politik yang diterapkan di dalamnya. Sejak awal proklamasi, demokrasi telah diterapkan sebagai sistem pemerintahan negeri ini dengan berbagai ragamnya; mulai dari demokrasi liberal, demokrasi terpimpin, demokrasi Pancasila, hingga kembali lagi kepada demokrasi liberal. Pertanyaannya, apakah keadaan Indonesia semakin membaik dari waktu ke waktu? Silakan Anda rasakan sendiri.

Tinjauan kritis demokrasi tersebut mungkin menjadi salah satu alasan mengapa sebagian orang menolaknya, selain alasan spiritual yang akhir-akhir ini marak terlontar. Wajar, rakyat butuh perhatian, makan, rasa aman, kejelasan masa depan, dan yang paling penting ialah kejujuran. Sementara, semua itu tak mereka dapatkan dalam negara bersistem demokrasi ini. Percuma saja mengaku sistem kerakyatan jika nyatanya rakyat menjadi korban. Jika memang demikian adanya, mungkin solusi sistemik berbasis spiritual yang selama ini umat Islam tawarkan bisa menjadi solusi. Anda sepakat? [IJM]

Silahkan Bagikan Jika Bermanfaat

Disclaimer: Gambar, artikel ataupun video yang ada di web ini terkadang berasal dari berbagai sumber media lain. Hak Cipta sepenuhnya dipegang oleh sumber tersebut. Jika ada masalah terkait hal ini, Anda dapat menghubungi kami disini.
Related Posts
Disqus Comments
close