Oleh: Kurniawan - Aliansi Jurnalis Muslim Indonesia
Pengamat Suriah untuk Hak Asasi Manusia, yang bermarkas di Inggris, mengatakan sekitar 511 ribu orang terbunuh dalam perang Suriah sejak dimulai tujuh tahun lalu. Pengamat itu, yang melacak korban tewas dengan menggunakan jaringan di dalam Suriah, mengatakan mengenali lebih dari 350 ribu orang tewas. Sisanya tidak diketahui siapa nama korban.
Perang itu dimulai setelah unjuk rasa besar pada 15 Maret 2011. Demonstrasi itu menyeret kekuatan kawasan dan dunia serta memaksa jutaan orang meninggalkan rumah mereka. Sekitar 85 persen korban tewas adalah warga, yang dibunuh pasukan pemerintah Suriah dan sekutunya, kata pengamat tersebut. Militer Suriah, yang bergabung dengan sekutu Rusia-nya sejak 2015 menggunakan kekuatan udara secara luas. (http://internasional.republika.co.id/berita/internasional/timur-tengah/18/03/12/p5haai382-setengah-juta-orang-tewas-dalam-perang-suriah).
Presiden Suriah Bashar al-Assad dan sekutu paling kuatnya Rusia telah menyatakan serangan atas Ghouta timur diperlukan untuk mengakhiri kekuasaan para pemberontak. Sebanyak 400 ribu warga sipil di Ghouta timur berdesak-desakan di lantai dasar bangunan supaya terlindung dari pengeboman. Di bawah bangunan yang sudah retak, mereka membuat kamar untuk keluarga dari bahan seadanya. (Sumber : Antara). Sekitar 400 ribu warga masih terperangkap di kawasan konflik tersebut. Bantuan kemanusiaan dari PBB sempat tersendat akibat kepungan yang dilakukan militer.
Derita Warga Suriah derita kita semua, ini menyentuh soal hati nurani dan kemanusiaan kita. namun kita telah menyaksikan sejak awal Amerika telah merekayasanya. Namun, karena kegagalan konspirasi yang dilakukannya dalam menyesatkan revolusi dan memalingkannya, maka jadilah kekuatan imperialis mencari metode lain, yang dengannya berusaha memprovokasi untuk melawan revolusi, serta membuat sejumlah dalih untuk memeranginya, dan memperkuat posisi pengkhianat baru yang bekerja pada Amerika, agar mereka menjadi wajah lain bagi rezim Baath yang telah berlumuran dosa.
Klaim sektarianisme tersebut masuk dalam metode keji dan kotor tersebut. Itulah yang selalu digemakan oleh para pejabat Barat dan sekutu-sekutunya. Padahal mereka tahu bahwa peran penguasa sekitar Suriah yang sebenarnya dalam pembelian keamanan adalah demi membersihkan revolusi dari Islam, dan bukan sebaliknya. Begitu juga dengan peran Turki yang berjalan seiring dengan Amerika dalam upaya mengisi oposisi politik dari luar negeri dan mendukungnya agar ia menjadi wakil kaum sekuler yang sah bagi rakyat Suriah, meskipun sebagian tokohnya memakai pakaian keagamaan, sehingga keberadaan mereka layaknya seperti serigala berbulu domba. Adapun dukungan Iran, maka itu adalah peran yang ditugaskan Amerika kepada Iran untuk mengokohkan rezim Assad, dan membantunya dalam bentuk finansial dan militer. Amerika benar-benar mngeksploitasi percikan api sektarian untuk memuluskan kepentingannya dengan mendukung anteknya di Damaskus.
AS maupun Rusia, kedua negara itu pada hakekatnya berusaha mengulur waktu karena hingga saat ini belum mendapatkan rezim pengganti Assad yang tepat dan bisa dikontrol oleh Barat. Rekayasa ini berdasarkan analisis penulis, tidak pernah membuat gentar para pejuang Islam yang menyandarkan kemenangan dan pertolongan hanya kepada Allah SWT semata-mata. Para mujahidin dengan dukungan rakyat semakin kokoh untuk menolak intervensi Barat dan tawaran sistem demokrasi. Mereka juga menginginkan tegaknya syariah. [IJM]