Spesial Redaksi| Mediaoposisi.com- Tahun 2017 yang penuh dengan intrik politik menjadi titik awal konflik yang semakin runcing. Kondisi Indonesia pada tahun 2018 tidak jauh berbeda. Hal ini tak lepas dari berbagai maneuver controversial penguasa di bidang politik dan ekonomi.
After 212
Pasca aksi 212 yang sukses menjadikan Ahok sebagai pesakitan, partai pengusungnya menemui keguncangan politik. Ahok yang dalam pencalonannya sebagai gubernur Jakarta didukung oleh PDI-P seta partai lain yang juga dekat dengan pemerintahan (Nasdem,PPP,Hanura) plus presiden Jokowi. Jutaan massa umat Islam kompak menyuarakan tuntutan untuk memenjarakan Ahok, dikutip dari bbc. Com. Disebutkan bahwa salah satu orator dalam aksi 212 menyerukan untuk memenjarakan Ahok.
"Kalau Ahok tidak ditahan juga, maka jangan kaget kalau Jokowi yang kita tumbangkan. Sudah tiga kali diingatkan dengan damai, jika tidak didengarkan maka kita revolusi," ujar sang orator.
Tekanan luar biasa dari umat Islam dan para penentang Ahok ini berhasil membuat Ahok kalah dalam pilkada Jakarta dan dilanjutkan tidurnya Ahok di hotel Prodeo selama 2 tahun. Jokowi, selaku pihak yang dekat dengan Ahok pun harus merelakan Ahok dipenjara.
Keguncangan dirasakan oleh PDI-P, dikabarkan PDI-P kalah dalam berbagai pilkada serentak 2017. Seolah “kualat” akibat.
Dilansir dari detik.com, dalam perhelatan pemilihan kepala daerah serentak 2017, Partai pendukung pengesahan Perppu Ormas ini menderita kekalahan di 44 daerah atau 43,6 persen. Dari 101 provinsi, kabupaten, dan kota yang menggelar pilkada, partai kontroversial itu menang di 57 daerah..
Sebelumnya, ormas yang kini dibubarkan secara controversial, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) gencar menyuarkan haramnya pemimpin beragama non Islam untuk memimpin umat Islam.
Perppu (UU Ormas)
Kontroversi lagi lagi dimunculkan oleh pemerintah, disinyalir akibat balas dendam politik terhadap HTI, Perppu Ormas yang kini telah disahkan menjadi UU Ormas sengaja dimunculkan untuk memberangus HTI. Dikutip dari detik.com, Wiranto pada awalnya ingin HTI dibubarkan melalui pengadilan
"Sebenarnya sudah jelas bahwa kita membubarkan tentu dengan langkah hukum. Karena itu, nanti ada proses kepada satu lembaga peradilan jadi fair," kata Wiranto di kantornya, Jalan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Senin (8/5).
Ucapan tinggal ucapan, Wiranto dengan dukungan penuh Jokowi mengumumkan penerbitan Perppu Ormas , Senin (10/7). Sontak saja, gelombang perlawanan muncul dari berbagai pihak terhadap rezim Jokowi. Berbagai aksi muncul sebagai wujud penolakan nyata terhadap Perppu kontroversial yang dinilai Anti Islam tersebut.
Hal ini diperparah dengan manuver kontroversial partai yang mendukung pengesahan Perppu , Nasdem. Partai yang identik dengan sosok Surya Paloh ini justru melindungi kadernya yang melakukan provokasi terhadao umat Islam, Viktor Laiskodat.
Dikutip dari sindonews.com, Rizieq Syihab pun turut mengecam tindakan Nadem terahadap Viktor.
"Setelah dibully sana sini, baru Partai NasDem membuat Pernyataan Keprihatinan, sekali lagi saya katakan Pernyataan Keprihatinan, bukan permohonan maaf, bahkan isinya tetap membela Vecky dengan dalih rekaman editan yang membuat kesalahpahaman," kata Rizieq dalam surat tertanggal 8 Agustus 2017
Disisi lain, Aksi penolakan perppu ormas pun ditanggapi serius oleh partainya rezim, PDIP. PDIP sampai harus menanggapi seruan umat Islam dalam aksi tersebut untuk tidak memilih partainya.
“Lho, PDI Perjuangan sendiri lebih dari 85 persen pendukungnya basis Muslim yang membangun peradaban," klaim Sekjen PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto, Sabtu (28/10)
Umat Islam sebagai Mangsa Politik
Dalam tahun politik, umat Islam merupakan sasaran utama para pemburu kursi kekuasaan, tak terkecuali partai yang mendukung pengesahan Perppu Ormas.Hal ini terlihat dalam maneuver PDI-P di Jawa Tengah.
"Untuk Jateng, tetap Pak Ganjar Pranowo," kata Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri, Minggu (7/1).
Untuk wakilnyaa, PDI-P menunjuk dari kalangan umat Islam yang dekat dengan pemerintahan, NU, Taj Yasin.
Dikutip dari tirto.id, Mega menunjuk Taj Yasin atau Gus Yasin—anak dari pengasuh Pondok Pesantren Sarang, Rembang, KH Maimun Zubair. Penunjukan ini disinyalir untuk mengincar suara dari kalangan NU.
Demi melanggengkan syahwat kekuasaannya, PDI-P mengunci partai lain yang mendukung Perppu Ormas, Demokrat dan PPP.
“Jawa Tengah kami mengusung calon gubernur saudara Ganjar Pranowo kemudian calon wakil gubernurnya adalah Taj Yasin," kata Ketum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono di Wisma Proklamasi, Jakarta Pusat, Minggu (7/1)
"Demokrat berkoalisi dengan PDIP dan PPP," ujar SBY.
Di Jawa Barat, PDI-P pun menggunakan strategi yang nyaris sama. Figur religius atau islami dimunculkan demi memenangkan kursi gubernur, hal ini dinilai sebagai karakter khas pemilih Jawa Barat.. Sosok itu bernama TB Hasanuddin dan Anton Charliyan.
Kumparan.com menyebutkan TB Hasanuddin dan Anton merupakan seorang muslim tulen. Sehingga tidak perlu ada keraguan soal keberpihakan kepada kalangan muslim di Jawa Barat.
"Catat ya, kami orang Islam sejak kami lahir. Saya sudah 63 tahun dan Kang Anton sudah 53 tahun. Jadi jangan mempermasalahkan keislaman kami," kata TB Hasanudin di DPP PDIP, Lenteng Agung, Jakarta Selatan, Minggu (7/1)
Identitas pesantren pun digembar gemborkan oleh Anton Charliyan yang pernah dikecam oleh umat Islam karena pernah menjabat sebagai Dewan Pembina GMBI sekaligus Kapolda Jawa Barat.
Kali ini PDI-P nampaknya melakukan manuver yang salah, pasalnya sosok Anton Charliyan yang dimunculkan oleh PDI-P sebagai calon wakil gubernur pernah menjadi dewan Pembina LSM Gerakan Masyarakat Bawah Indonesia (GMBI). GMBI sendiri pernah terlibat bentrok dengan massa umat Islam, Kamis (12/1). Alhasil saat itu GMBI sukses menuai kecaman dari umat Islam Indonesia.
Tak heran, umat Islam menjadi mengsa politik dan akan terus diperkosa selama tidak ada kesadaran untuk berpolitik secara islam sesuai syara’. [MO]