AR-RAYAH DAN PANJI PELANGI
Oleh: Dr. M. Kusman Sadik
Mediaoposisi.com| LGBT kini menjadi salah satu produk liberalisme yang gencar dijajakan di dunia global. Melengkapi produk liberalisme lainnya yang terbukti merusak dan menghancurkan tatanan kehidupan manusia.
Isu LGBT tersebut kembali mencuat saat Mahkamah Konstitusi mengumumkan penolakannya terhadap Judicial Review pasal 284, 285, dan 292 KUHP. Pada pasal 292 itu disebutkan bahwa hubungan seksual sesama jenis dilarang hanya jika dilakukan dengan anak di bawah umur. Artinya sesuai pasal tersebut homoseksual dan lesbian di negeri ini legal dilakukan asalkan pelakunya sudah dewasa.
Di berbagai media, kelompok sekuler dan islamofobia langsung menyatakan dukungannya pada keputusan MK tersebut. Mereka adalah kelompok yang selama ini mengklaim dirinya sebagai kelompok Pancasilais. Tentu umat Islam harus terus mewaspadai gerakan LGBT yang didukung kelompok Islamofobia tersebut, karena di dalamnya ada berbagai agenda yang membahayakan.
Pertama, gerakan LGBT merupakan alat propaganda global liberalisme-sekularisme. Satu bagian dari tools kampanye peradaban sekularisme yang diusung negara-negara Barat. Khusus di wilayah Asia misalnya, United Nations Development Programme (UNDP) telah merancang penguatan LGBT ini melalui program yang mereka namakan Being LGBT in Asia.
Pada web resmi UNDP (asia-pacific.undp.org) disebutkan bahwa “being LGBT in Asia is a regional programme aimed at addressing inequality, violence and discrimination on the basis of sexual orientation, gender identity or intersex status, and promotes universal access to health and social services”. Artinya itu sebuah program terencana untuk menguatkan dan mempromosikan LGBT di Asia.
Program tersebut menargetkan empat negara, yaitu Indonesia, Filipina, Thailand, dan Cina selama empat tahun dari 2014 hingga 2017. Anggaran yang mereka siapkan juga cukup besar mencapai 8 juta dolar AS atau sekitar Rp. 107,9 miliar.
Mereka gencar mengampanyekan LGBT padahal mereka tentu sudah mengetahui bahwa pelaku LGBT itu sangat rentan terinfeksi HIV/AIDS. Seperti yang dilansir oleh Centers for Disease Control and Prevention (CDCP) Amerika Serikat pada 2013 lalu bahwa dari hasil screening gay umur 13 tahun ke atas didapatkan sebesar 81 persen terinfeksi HIV. Mereka tidak peduli pada fakta risiko tersebut. Tentu karena mereka berkepentingan untuk mengampanyekan ideologi sekularisme-liberalisme melalui LGBT.
Kedua, bagi negeri Muslim, gerakan global LGBT bisa menjadi pilot-project untuk mengeliminasi hukum syariah. Artinya kalau LGBT berhasil dilegalkan di suatu negeri Muslim, maka itu indikasi bahwa hukum agama sudah bisa mereka singkirkan. Karena secara factual, negeri tersebut telah melegalkan apa yang telah diharamkan oleh syariah Islam.
Landasan yang mereka gunakan untuk melegalkan LGBT adalah HAM. Mereka berpendapat bahwa hubungan sesama jenis tersebut bukan suatu pelanggaran. Namun suatu pilihan hidup asasi seseorang yang harus dilindungi secara hukum. Filosofi HAM seperti itu tentu sangat relevan dengan ideologi sekularisme-liberalisme. Yakni memisahkan agama (Islam) dari kehidupan masyarakat dan negara.
Sehingga legalisasi LGBT bisa menjadi indikasi menguatnya sekularisme-liberalisme di suatu negara. Saat ini sudah ada sekitar 30 negara yang melegalkan pernikahan sesama jenis. Di antaranya adalah Belanda, Inggris, Prancis, Jerman, Amerika Serikat, Brazil, dan sebagainya.
Taiwan menjadi negara pertama di Asia yang melegalkan pernikahan sesama jenis tersebut. Itu terjadi setelah Mahkamah Konstitusi Taiwan memutuskan kelegalannya pada akhir Mei 2017 lalu. Tentu hal tersebut tidak terlepas dari program UNDP Being LGBTI in Asia seperti yang telah disebutkan di atas. Perlu dicatat pula bahwa Indonesia menjadi salah satu target program tersebut.
Maka tidak heran kalau para pegiat liberalisme-sekularisme di negeri ini terus mendukung kibaran panji hina LGBT yang berwarna pelangi di berbagai aksi mereka. Namun mereka berupaya mengkriminalisasi kibaran al-liwa’ dan ar-rayah. Karena tentu mereka menyadari bahwa kedua panji mulia Rasulullah tersebut adalah simbol perjuangan penegakan syariah secara kaaffah. Sekaligus simbol penghancuran terhadap liberalisme-sekularisme. Wallaahua’lam bi ash-shawaab.[MO]