Sidang Pembuktian Gugatan PTUN: Pertarungan antara Dakwah Islam dan Represifme Penguasa
Oleh: Ahmad Khozinudin, S.H.
Ketua KAPI (Koalisi Advokat Pembela Islam)
Kornas Koalisi 1000 Advokat Bela Islam
Mediaoposisi.com- Tidak ada yang spesial dalam sidang agenda pembuktian pada hari Kamis, tanggal 11 Januari 2018. Kuasa Hukum HTI dari kantor Ihza & Ihza Law Firm mengajukan bukti-bukti tertulis terkait upaya gugatan PTUN yang diajukan. Objek sengketa TUN adalah Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor AHU-30.A.01.08.Tahun 2017 Tentang Pencabutan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor : AHU-00282.60.10.2014 Tentang Pengesahan Pendirian Badan Hukum Perkumpulan.
Namun, ada peristiwa yang menarik yang menurut hemat penulis penting untuk dikabarkan. Pada sidang perkara dengan register No. 211/G/2017/PTUN.JKT, sebagaimana sidang sebelumnya -selalu dihadiri oleh para ulama dan tokoh- yang memenuhi area persidangan untuk memberi dukungan kepada HTI. Sebaliknya, masa pendukung Pemerintah tampak sedikit. Tidak terlihat lagi orang dengan kaos bertulis "Cebong NKRI" hadir dalam persidangan.
Polaritas dukungan peserta sidang begitu nampak dan sangat kontras. Pihak Pemerintah didukung oleh massa dengan kaos dan tulisan nyeleneh. Sementara pihak HTI dalam setiap persidangan selalu diikuti dan didukung para ulama baik yang masih muda atau yang sudah sepuh, khusuk menyimak setiap persidangan. Sesekali teriakan takbir "ALLAHU AKBAR" menggema diruang pengadilan.
Ada juga pihak-pihak yang mencoba terus mencari panggung dengan berdalih pro Pancasila, penjaga kebhinekaan (tentu saja termasuk yang mengatasnamakan cebong NKRI), mengajukan diri sebagai pihak intervensi. Mungkin pihak-pihak ini tidak paham, ini sidang administrasi, harus ada hubungan kausalitas langsung untuk menjadi pihak yang terdampak oleh objek KTUN yang memenuhi unsur "kongkrit, individual dan final". Mereka ini masih berhalusinasi sidang PTUN seperti sidang MK. Tentu saja, dalam putusan sela pihak intervensi ini ditolak kembali, sebagaimana pihak-pihak intervensi pada persidangan sebelumnya.
Secara administrasi rasanya sulit -jika tidak dikatakan mustahil- pihak Pemerintah melalui kemenkumham dapat membuktikan kesalahan HTI. Bagaimana tidak ? SK yang menjadi objek gugatan didalihkan terbit dengan dasar Perpu No. 2 tahun 2017 (saat ini telah disahkan menjadi UU No. 16 tahun 2017). Perppu diterbitkan 10 Juli 2017, objek KTUN diterbitkan 19 Juli 2017. Artinya, dalam tenggang 9 hari sejak 10 Juli 2017 sampai dengan 19 Juli 2017, apa yang mau dibuktikan Pemerintah ?
Dalam tenggang 9 hari, Pemerintah tidak pernah mengeluarkan surat teguran atau peringatan, baik ketika UU ormas diberlakukan atau pada periode jeda pasca Perppu ormas diterbitkan. Lantas, Pemerintah mau membuktikan apa ?
Muncul argumen sebagaimana diajukan Mendagri Tjahyo Kumolo pada sidang MK yang memuat video kegiatan HTI tahun 2013 yang dijadikan dasar untuk mencabut status BHP HTI. lantas, mungkinkah peristiwa ditahun 2013, dijadikan pertimbangan pencabutan SK pada tahun 2017, padahal SK pencabutan didasarkan Perppu ormas yang juga terbit tahun 2017? Apakah dalam dunia hukum menganut asas retroaktif ?
Sidang PTUN: Dakwah vs Represifme Penguasa
Kengototan Pemerintah membubarkan HTI, sampai-sampai untuk memenuhi syahwat ini Pemerintah menebitkan Perppu, menunjukan bahwa pemerintah sedang mempraktikkan diktatorisme konstitusi. Meminjam penjelasan Pak Chandra Purna Irawan dari KSHUMI, diktatorisme konstitusi maksudnya adalah menjalankan kekuasaan secara diktator dengan legitimasi hukum dan undang-undang.
Perppu menjadi legitimator tindakan Represifme penguasa yang secara sepihak membubarkan HTI, tanpa mediasi, tanpa peringatan, bahkan tanpa pengajuan permohonan pencabutan dihadapan sidang pengadilan.
Siapapun bisa memberi penjelasan di pengadilan tentang kesalahan argumen Pemerintah di pengadilan, tetapi siapapun tidak akan mampu memberi penjelasan atas adanya tudingan dan fitnah.
Pemerintah tidak pernah mengklarifikasi tudingan dan fitnah yang dialamatkan kepada HTI, jadi bagaimana HTI bisa memberi penjelasan ? Apalagi jika keputusan atas tudingan itu karena sentimen politik, karena kekalahan Ahok misalnya, lantas apa yang mau dijelaskan ?
Sehingga, nampak jelas bahwa pertarungan dalam persidangan PTUN Jakarta timur antara HTI vs Pemerintah adalah pertarungan antara dakwah Islam dan Represifme penguasa. Apa soal ? Karena HTI sejak awal mengusung dakwah Islam, tidak mendakwahkan apapun kepada umat selain dari dakwah Islam. Khilafah yang dituding Pemerintah sebagai ideologi HTI sesungguhnya adalah ajaran Islam. Penulis selaku aktivis HTI sejak bertemu HTI dibangku kuliah hingga saat ini telah dikenalkan diskursus Khilafah sebagai ajaran Islam. Seluruh ajaran dakwah yang disampaikan HTI adalah murni dakwah Islam, bukan yang lain.
Nampaknya ini yang sulit bagi Pemerintah, Pemerintah paham untuk membubarkan HTI perlu mengalienasi HTI dari umat. Namun, akhirnya umat jua yang memberi penilaian. Apakah umat akan memberikan kepercayaan kepada penjelasan Khilafah ajaran Islam yang disampaikan HTI yang selama ini hidup, berada dan bersama umat. Atau umat memilih tafsir "ideologi Khilafah" yang diproduksi dan dipasarkan penguasa dzalim.
Khatimah
Sesungguhnya letak pertarungan dakwah Islam dan Represifme rezim bukan terletak pada putusan akhir pengadilan di PTUN. Pertarungan politik antara dakwah Islam dan Represifme penguasa InsyaAllah akan dimenangkan umat yang sudah rindu ingin diatur kembali dengan syariat Islam.
Peradilan dunia tidak bisa menjamin keadilan yang hakiki, sebagaimana Al Quran telah menggambarkan cerita dan hikmah dari kisah umat-umat terdahulu. Pada rezim represif Namrud, rezim gagal mengajukan bukti bahwa perusak berhala adalah nabi Ibrahim AS. Nabi Ibrahim bahkan mampu menunjukan argumen, bahwa berhala yang paling besar itulah yang merusak berhala lainnya, karena kapak ada di leher berhala yg paling besar.
Namun, rezim Namrud yang IQ nya 200 sekolam menolak argumen Ibrahim dengan menyatakan mana bisa patung merusak patung lainnya, dimana akalnya? Lantas, ketika disampaikan argumen bagaimana mungkin manusia berakal justru menyembah patung? Rezim cebong Namrudz diam, seraya menggunakan Represifme dengan mengeluarkan vonis membakar nabi Ibrahim AS.
Begitu juga ketika dalam persidangan nabi Yusuf AS, keterangan ahli menyebut bahwa jika baju yang robek bagian depan Yusuf yang salah, jika bagian belakang maka Zulaikha yang keliru. Namun, toh vonis represif penguasa tetap saja mempersalahkan Yusuf AS dan menjebloskannya ke penjara, meskipun baju yang robek ada di bagian belakang.
Semoga persidangan PTUN di Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta ini adalah persidangan Qadli Suraih yang memutus sengketa Ali ra, yang tegas menegakkan keadilan meskipun mengadili perkara penguasa. Memberikan Putusan Pengadilan yang akan menghentikan Represifme penguasa sekaligus memberikan pembelaan dan keadilan bagi dakwah Islam.
Wahai pengemban dakwah, sesungguhnya pertolongan itu hanya ada pada Allah SWT, melalui kedekatan hamba pada Allah SWT, melalui ketaatan sempurna pada Allah SWT. Maka jemputlah pertolongan itu dengan mendekat kepada-Nya, bersimpuh kepada-Nya, dan hanya tawakal kepadanya.
Tidak ada daya upaya, melainkan hanya pertolongan Allah SWT. Sungguh kemenangan itu makin dekat, qarinah pertolongan Allah SWT itu kian nampak, yang dibutuhkan dari kita pengemban dakwah adalah sabar dan ikhlas, dan terus Istiqomah di jalan dakwah.
Wallahu a'lam bish Showab. [MO]