Mediaoposisi.com- Tampaknya, kutub politik Indonesia dari dulu memang seperti tak pernah berubah. Kira-kira, itungan cara desa ala pedagang cabe, 30 % pro Islam, 30 % pro sekuler (walau dulu belum punya nama resmi), 40 % cenderung lihat keadaan alias poros tengah alias poros mengambang, alias mondo-mondo (itu kalau dicicipi pake mulut, maksudnya rasanya tanggung, kalau pake hidung jadinya mambu-mambu).
Dari dulu sebenarnya yang pro Islam selalu lebih kuat dibanding pro sekuler. Namun mengapa sekuler selalu menang? Karena tidak siap konsep dan semangat, cuma menang jumlah tanah, harta, dan prajurit, sehingga senantiasa bekerja sama dengan kekuatan asing. Kalau gabungan itu sudah terbentuk, maka poros mengambang ujung-ujungnya akan berpihak kepada mereka. Dan akhirnya mereka menang.
Kita lihat bagaimana kejadian Pangeran Haji mengalahkan Sultan Ageng Tirtayasa, Pengeran Purbaya, dan Syaikh Yusuf. Pengeran culas itu bekerjasa sama dengan Belanda. Dengan itu beberapa bangsawan Banten pro mereka, dan akhirnya kekuatan gabungan itu menang. KIta lihat bagaimana Patih Danurejo mengalahkan Pangeran Diponegoro dan Kyai Mojo? Dengan bekerja sama dengan Belanda. Dengan itu Mangkunegoro II bergabung dengan mereka. Dan akhirnya Belanda mengultimatum Pakubowono IV jika berani bergabung dengan Diponegoro. Akhirnya gabungan orang feodal tradisional dan kompeni itu menang. Begitu pula yang terjadi atas kemenangan Arung Palakka atas Sultan Hasanuddin, kaum adat Minang atas Imam Bonjol, Pangeran Puger atas Untung Surapati, dan masih banyak yang mirip-mirip dengan itu.
Pasca kemerdekaan, masih pula begitu. Kubu Islam di bawah Masyumi cukup kuat. AS dan Belanda berpihak pada kekuatan nasionalis sekuler. Dengan itu sebagian kyai menyempal dari Masyumi dan bikin partai sendiri dan bergabung dengan kaum sekuler dan PKI pasca pemilu 55. Begitu pula saat pasca G30S. Kekuatan Islam di bawah mantan Masyumi diamputasi oleh Orde Baru. Muncul kekuatan resmi Islam, yaitu PPP, tapi kita tahu kekuatan Orba: Orba, AS, Belanda (dengan IGGI), Jepang, dan segala pihak di dalam negeri yang ingin menjadi "juara kegagahan" melawan sepupu-sepupu pesaing mereka di marga (Batak) atau di keluarga anak putune simbah (Jawa) dan yang mirip-mirip dengan itu, sehingga siap menjalankan apapun perintah penguasa, asal tetap gagah di desa.
Itulah mengapa kekuatan sekuler yang sebenarnya kalau berhadapan secara face to face dengan kekuatan Islam sebenarnya kalah itu nyatanya jadi menang.
Lalu bagaimana dengan poros mengambang. Maunya bersikap bijak, ambil jalan tengah, biar diterima kedua pihak sambil tetap diterima dalam konstelasi kekuasaan. Bahasa halusnya "demi bangsa dan negara, agar yang menang Indonesia, bukan kelompok-kelompok" (kayaknya minas bengat seminas muda, ehh semanis madu, padahal kekuatan negara telah dikuasai kelompok sekuler). Tapi nyatanya itu menjadi jalan kekuatan sekuler menyingkirkan kekuatan Islam. Kelompok poros mengambang alias poros mondo-mondo mambu-mambu itu justru akhirnya juga ditendang penguasa sekuler.
Bung Hatta tampaknya memberi usul jalan tengah, yaitu menyingkirkan 7 kata dalam Piagam Jakarta agar usul umat Islam diterima pihak nasionalis sekuler. Tapi akhirnya setelah itu beliau justru ditendang oleh penguasa pada tahun 1956 dan setelah itu muncul Demokrasi Terpimpin yang berhasil mendepak Masyumi.
Jendral Nasution rela bergabung dengan Orde Nasakom untuk "kembali kepada UUD 45" (maksudnya: jangan kembali berpikir tegaknya syariat Islam) pada tahun 1959. Setelah itu beliau ditendang ke atas menjadi macan ompong.
Sebagian kekuatan Islam rela menyingkirkan "kekuatan Islam yang dianggap lebih keras" pada masa awal Orba. Akhirnya mereka diijinkan secara de jure tetapi dibonsai secara politik.
Kyai Ma'ruf Amin mencoba mengambil jalan tengah. Menegaskan HTI tidak sesat. Tetapi setelah melihat respon para pensiunan ABRI di bawah Try Sutrisno dan Agum Gumelar menyatakan tentang harga mati harga mati itu, akhirnya sang kyai menegaskan bahwa Khilafah belum populer, jadi yang ituh ajah. Setelah itu beliau ditarik ke kiri oleh penguasa dengan dilantik menjadi pimpinan unit kepancasilaan (saya lupa namanya). Setelah itu beliau mencoba kembali ke kanan dengan berteriak keras sekali mengecam keras sikap AS atas Baitul Maqdis. Tidak tahu-lah setelah itu. Pokoknya mambu kanan mambu kiri. Mondo kana mondo kene. Saya cuma khawatir beliau di-hatta-kan.
Jendral Gatot berhubungan dengan Jokowi seperti layangan, kadang dekat kadang jauh. Untuk saat ini ditendang dulu sementara. Tapi jika hasil tendangan itu mengakibatkan simpati umat, tidak tahulah apakah akan ditarik ke kiri, diangkat, tetapi kemudian nanti di-nasuti... Ahh, sudahlah.
Jika kekuatan mondo mondo itu akan seperti itu terus, maka umat Islam akan kalah terus. Bayangkan, keadaan ini sudah berapa abad? Seharusnya kekuatan mondo-mondo itu ditarik ke kanan dengan tarikan yang menyadarkan. Jika tidak, kekuatan nasionalis sekuler lebih punya dana, prajurit, aset, juga sikap menghalalkan segala cara. Suatu hal yang menjamin penjajah dan setan bergabung dengan mereka semua.
Berharap kekuatan mondo-mondo ini akan menjaga kebangkitan Islam? Harapan yang tampaknya mustahil. Jangan berharap !!! Ora mandi !!!
Tak ada sikap lain kecuali mencontoh Kanjeng Nabi. Berada dalam perjuangan Islam ideologis dengan sepenuh iman, ilmu, amal shaleh, dan kesabaran.
"Lau wadha'uusy syamsa fii yamiini, wal qamara fii yasaarii, 'alaa an atruka haadzal amra hatta yuzh-hiruhullahu au ahlaku fiihi maa taraktuhu."
Dengan sikap beliau yang sekeras berlian itulah justru Amru bin Ash, Khalid bi Walid, Ikrimah bin Abi Jahal, Shafwan bin Umayah, Abu Sufyan, Hindun bin Uthbah, Suhail bin Amr, menyadari kesalahannya dan berganti haluan, masuk Islam, dan bergabung dengan beliau. [MO]