MASIH banyak kalangan yang belum bisa membedakan antara negara Islam dan negara Islami. Kriteria apa yang digunakan untuk mengukur sebuah negara disebut negara Islam, Negara Islami, dan negara non-muslim, masih dipahami secara rancu di dalam masyarakat kita. Apakah yang akan diukur populasi penduduknya, eksistensi pemimpinnya, atau kekuatan pengaruh muslim di negeri itu? Apakah yang secara tekstual dalam konstitusinya menyatakan Islam sebagai Agama Negara, Negara Islam, atau hak-hak istimewa yang diberikan kepadanya? Lebih tidak jelas lagi jika populasi muslim di sebuah negara berimbang dengan kelompok agama lain. Apakah prioritas ukurannya simbol atau substansi? Banyak negara secara simbolik sebagai Negara Islam (atau muslim) tetapi eksistensi syari’ahnya masih jauh dari maqashid al-syari’ah. Sebaliknya ada negara tidak mengeksplisitkan Islam sebagai agama negara atau hak-hak istimewa lainnya, tetapi substansi ajaran dan syari’ah dengan bebas dilakukan di sana.
Secara sederhana dapat dikemukakan kriteria sebuah Negara Islam ialah manakala kriteria formal sebuah negara terikat dengan syari’ah Islam. Misalnya syarat sebuah negara harus ada wilayah sebagai wadah untuk menggodok segenap warga, harus ada rakyat atau penduduk yang akan menjadi warga negara, harus ada hukum dasar atau konstitusi yang disepakati di negeri tersebut, dan perlu mendapatkan pengakuan resmi dari negara-negara lain. Dapat disebut negara Islam jika seluruh komponen negara tadi sudah terikat dengan ketentuan Islam secara formal.
Sedangkan negara islami ialah sebuah negara yang tidak mementingkan kriteria formal dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Yang penting semangat dan tujuan umum kehidupan berbangsa dan bernegara sesuai dengan tujuan umum Syari’ah. Di dalam negeri semua umat bebas menjalankan agama dan kepercayaannya masing-masing tanpa saling mengusik satu sama lain. Inilah hakekat Lakum dinukum wa al-yadin (Bagimu agamamu dan bagi kami agama kami).
Dalam kitab Al-Ahkam al-Sulthaniyyah, karya monumental Al-Mawardi menyatakan bahwa Kepala Negara itu sebagai: Khalifah al-nubuwwah fi hirasah al-din wa siyasah al-dunya (Kepala Negara ialah seorang pewaris Nabi untuk menjaga keutuhan agama dan kehidupan dunia). Sikap yang sama juga ditunjukkan Ibn Qayyim al-Jauziyah di dalam Igatsah Allahfan, yang menganggap urusan keberadaan Kepala Negara dalam suatu Negara tidak masuk wilayah akidah dan ibadah, tetapi masuk di dalam wilayah ijtihadi manusia.
MASIH banyak kalangan yang belum bisa membedakan antara negara Islam dan negara Islami. Kriteria apa yang digunakan untuk mengukur sebuah negara disebut negara Islam, Negara Islami, dan negara non-muslim, masih dipahami secara rancu di dalam masyarakat kita. Apakah yang akan diukur populasi penduduknya, eksistensi pemimpinnya, atau kekuatan pengaruh muslim di negeri itu? Apakah yang secara tekstual dalam konstitusinya menyatakan Islam sebagai Agama Negara, Negara Islam, atau hak-hak istimewa yang diberikan kepadanya? Lebih tidak jelas lagi jika populasi muslim di sebuah negara berimbang dengan kelompok agama lain. Apakah prioritas ukurannya simbol atau substansi? Banyak negara secara simbolik sebagai Negara Islam (atau muslim) tetapi eksistensi syari’ahnya masih jauh dari maqashid al-syari’ah. Sebaliknya ada negara tidak mengeksplisitkan Islam sebagai agama negara atau hak-hak istimewa lainnya, tetapi substansi ajaran dan syari’ah dengan bebas dilakukan di sana.
Secara sederhana dapat dikemukakan kriteria sebuah Negara Islam ialah manakala kriteria formal sebuah negara terikat dengan syari’ah Islam. Misalnya syarat sebuah negara harus ada wilayah sebagai wadah untuk menggodok segenap warga, harus ada rakyat atau penduduk yang akan menjadi warga negara, harus ada hukum dasar atau konstitusi yang disepakati di negeri tersebut, dan perlu mendapatkan pengakuan resmi dari negara-negara lain. Dapat disebut negara Islam jika seluruh komponen negara tadi sudah terikat dengan ketentuan Islam secara formal.
Sedangkan negara islami ialah sebuah negara yang tidak mementingkan kriteria formal dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Yang penting semangat dan tujuan umum kehidupan berbangsa dan bernegara sesuai dengan tujuan umum Syari’ah. Di dalam negeri semua umat bebas menjalankan agama dan kepercayaannya masing-masing tanpa saling mengusik satu sama lain. Inilah hakekat Lakum dinukum wa al-yadin (Bagimu agamamu dan bagi kami agama kami).
Dalam kitab Al-Ahkam al-Sulthaniyyah, karya monumental Al-Mawardi menyatakan bahwa Kepala Negara itu sebagai: Khalifah al-nubuwwah fi hirasah al-din wa siyasah al-dunya (Kepala Negara ialah seorang pewaris Nabi untuk menjaga keutuhan agama dan kehidupan dunia). Sikap yang sama juga ditunjukkan Ibn Qayyim al-Jauziyah di dalam Igatsah Allahfan, yang menganggap urusan keberadaan Kepala Negara dalam suatu Negara tidak masuk wilayah akidah dan ibadah, tetapi masuk di dalam wilayah ijtihadi manusia.
Kelompok moderat mengidealkan kiranya segenap warga NKRI tidak terjebak kepada simbol dan atribut agama secara formal, tetapi lebih mengacu kepada kenyataan bahwa sekiranya di dalam suatu kondisi ada seorang yang lebih memenuhi syarat jauh melebihi kriteria ideal yang dimiliki calon muslim, maka sebaiknya sang calon ideal secara substansial itu lebih berhak. Namun kendalanya ialah di dalam Fikih Siyasah ada mazhab yang berpendapat bahwa Kepala Negara itu representase dari Ulil Amr. Sedangkan fungsi Ulil Amr dalam Fikih Siyasah amat penting karena juga merangkap sebagai Wali Hakim, yang akan berfungsi sebagai wali perkawinan bagi seorang gadis muslimah yang akan kawin tetapi tidak memiliki wali nasab (genealogis). Sementara Fikih Islam mensyaratkan seorang yang akan berfungsi sebagai Wali hakim harus muslim, sebagai persyaratan wali dalam Hukum Perkawinan Islam. Jika syarat ini dilanggar maka berakibat fasakh atau rusaknya perkawinan. Perkawinan yang fasakh akan berakibat perzinahan jika hubungan tetap dilanjutkan.