Muhammad Ayyubi ( Seorang Guru )
Hari guru yang dicetuskan pada tahun 1994 sesuai dengan keputusan presiden No. 78 tahun 1994 dan juga UU/14 tahun 2005 tentang guru dan dosen. Maka dipilihlah tanggal 25 Nopember bertepatan dengan hari ulang tahun PGRI. Meski telah diperingati setiap tanggal 25 Nopember , tetapi karena jarang diadakan kegiatan khusus dalam menyambutnya maka tidak banyak orang tahu.
Seolah menjadi kebiasaan di negeri ini, semua ada harinya. Mulai dari hari santri, hari buruh, hari ibu, hari AIDS, hari pahlawan dan tak ketinggalan hari guru. Meski kadang yang banyak terjadi adanya hari hari tersebut tidak sebnading dengan makna sesunguhnya dengan hakikat penamaanya. Hari guru misalnya, hanya sekedar hiruk pikuk semnagat perayaannya saja, tanpa benar benar mewujudkan penghargaan dan optimalisasi peran guru.
Peran guru sebagai pendidik seolah terbelenggu oleh peraturan yang justru mejadikan tidak optimal menjalankan fungsinya tersebut. UU Perlindungan Anak misalnya membuat takut para guru untuk mengajar siswa secaru utuh. Kadang dia hanya mengajar dan sebatas transfer materi pelajaran. Setelah itu tidak ada lagi hubungan. Karena jika dia benar benar menegakkan disiplin kadanag orang tua tidak terima maka bisa dituntut di depan polisi bahkan di penjara. Dan kasus untuk itu banyak sekali.
Di sisi yang lain guru kemudian kehilangan identitasnya sebagai pengajar dan teladan bagi muridnya. Guru dan akronimnya yang digugu dan ditiru pun seolah hari ini kehilangan makna itu. Karena kondisi dilematis. Satu sisi dia harus memberi contoh semaksimala mungkin bahkan seharusnya diberi kewenangan untuk menghukum jika murid salah, tetapi penjara mengincar mereka bahkan tak jarang guru pun di bunuh orang tua siswa. Kasus di Kabupaten Bima bisa menjadi contoh. Ketika guru menghukum murid yang tidak mengerjakan PR tetapi orang tua marah bahkan menusuk sang guru hingga meninggal. Sungguh tragis.
Di sisi lain, tuntutan kehidupan ekonomi dalam sistem kapitalistika yang begitu tinggi. Semua barang dan jasa diukur dengan uang. Sementara pemerintah menarik subsidi hingga semua kebutuhan pokok nyaris tak terbeli. Pada saat yang sama gaji guru tak sebanding dengan itu semua. Maka berkaca pada situasi tersebut, tak jarang guru pun mencari penghidupan di lahan yang yang. Menjadi tukang ojek, bertani, berdagang buku, kerja paruh waktu di MLM atau kerja lainnya. Pada gilirannya materi pelajaran dan siswa tidak maksimal di urusi. Kalau pun mengajar kualitas guru tidak optimal karena pikirannya tidak sepenuhnya pada kelas. Naif memang.
Mengembalikan Marwah Guru
Islam begitu menghargai peran guru. Dia memiliki peran vital dalam membangun sebuah peradaban yang semua itu dimulai dari perubahan pola pikir pada warga negara. Sehingga kita bias melihat dalam lintasan sejarah bagaimana Islam memperhatikan posisi guru. Dalam literatur Khazanah Islam ( misal Kitab Ta’limul Muta’alim atau adabul Ilmu wal Muta’alim ) guru dihormati sebegitu rupa. Bahkan Imam Ali rela menjadi budak bagi orang yang telah mengajarinya satu ilmu. Syekh Hasyim Asy’ari dalam kitabnya juga mengatakan bahwa begitu mulianya seorang guru sehingga murid tidak boleh menatap wajahnya, tidak mengetuk pintunya ketika tidur, tidak menyela pembicarannya, menghormati keluarga guru dan sebaginya. ( adabul ilmu wal mutaalim ).
Pada sisi kesejahteraan, Islam pun memberikan gaji yang kebih dari cukup untuk ukuran waktu itu, bakan hingga kini. Khalifah Umar bin Khattab menggaji guru pada masa itu dengan 15 Dinar Emas yang setara dengan 30 Juta rupiah masa sekarang. Masya Allah, gaji sebesar ini melebihi gaji Walikota zaman Now. Sehingga guru pun hanya sibuk meningkatkan kemampuan dirinya dalam mengajar dan menambah tsaqafah buat dirinya.
Pada materi pelajaran pu Islam menajga Aqidah siswa dari pemikiran sekular dan atheis. Mengawal kepribadian siswa agar sejalan dengan materi yang disampaikan. Baik dari sisi pola sikap dan pola pikirnya. Sehingga lahirlah alumni alumni yang bukan hanya hebat dalam pola pikir tetapi juga hebat dalam pola sikapnya.
Sejarah Islam telah membuktikan hal itu. Lahir dari sekolah sekolah islam waktu itu ulama sekaliber Imam Syafii. Imam Malik, Said bin Al Musayyab, Said Bin Jubai, Imam Ahmad, Ibnu Mubarak, Ibnu Katsir, Ibnu Khaldun dan masih banyak lagi ulama hebat lulusan sekolah di masa kegemilangan Islam. Dan itulah Masa Khilafah Islamiyah. Selamat Hari Guru[]
Bima, 25 Nopember 2017
from Pojok Aktivis