-->

Target Pajak dan Berburu di Kebun Binatang

Silahkan Bagikan Jika Bermanfaat
Advertisemen


Pada Selasa (10/10) lalu, Republika Koran menurunkan berita utama di halaman luar dengan judul 'Target Pajak Bisa Meleset'. Segera setelah itu, salah satu grup WhatsApp yang diikuti penulis selaku redaktur yang mengedit artikel itu pun dibanjiri sejumlah komentar.

Fokus perbicangan di grup yang diisi para pewarta di ekonomi makro itu identik. Apakah target penerimaan pajak tidak akan tercapai lagi? "Target pajak mah bukan bisa meleset lagi. Tiap tahun hampir pasti selalu meleset," ujar seorang jurnalis di kantor berita asing.

Bekas jurnalis yang kini beralih ke perusahaan konsultan pajak pun setali tiga uang. Sebab, berdasarkan catatan di Direktorat Jenderal Pajak, tercatat hanya pada 2008 target penerimaan pajak tercapai. "Pas Sunset Policy," katanya merujuk pada kebijakan besar kala itu.

Rekan lainnya berujar. Jika penerimaan masih kurang sekitar Rp 500 triliun, yang pusing bukan hanya Dirjen Pajak Kemenkeu. Pihak dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko pun bakal pusing tujuh keliling. 

Perbincangan kemudian beralih ke arah bagaimana langkah Ditjen Pajak Kemenkeu untuk mengejar target di sisa waktu. Istilah berburu di kebun binatang pun kembali mencuat. Bagi yang mahfum, pasti memahami istilah ini. Apakah perlu dijelaskan? Rasanya tidak perlu. Sila cek di Google, hehehehe

Omong-omong, berdasarkan data, sampai pengujung September 2017, realisasi penerimaan pajak tercatat baru mencapai Rp 770,7 triliun atau 60 persen dari yang tertuang dalam APBNP 2017 sebesar Rp 1.284 triliun.

Dengan begitu, terdapat kekurangan Rp 513 triliun yang harus dikejar pada kuartal IV tahun ini. Pada tahun lalu, setoran pajak hingga September 2016 mencapai Rp 791,9 triliun atau 58,4 persen dari target Rp 1.355,2 triliun.

Omong-omong, mengapa target pajak bisa meleset? Apakah ini berarti ketidakmampuan pemerintah maupun parlemen dalam menentukan besaran dengan tepat pada pembahasan awal APBN? Menurut penulis, rasanya tidak fair jika kita hanya menimpakannya ke mereka.

Ya, majalnya setoran pajak tak dapat dimungkiri juga disebabkan pertumbuhan ekonomi yang tidak optimal. Sebagai contoh pada tahun ini, ekonomi ditargetkan 5,2 persen dalam APBNP 2017. Namun, realisasi sampai semester I tahun ini hanya 5,01 persen.

Memang, jika dilihat selisihnya hanya 1,9 persen. Tapi jangan lupa kalau besaran itu akan sangat besar jika dikalikan dengan nominal produk domestik bruto Indonesia yang besarnya sekitar Rp 12 ribu triliun.

Tidak optimalnya pertumbuhan ekonomi bisa beragam faktor. Singkatnya bisa dari internal maupun eksternal. Kalau internal salah satunya bisa bersumber dari masalah konsumsi rumah tangga yang erat kaitannya dengan daya beli.

Kemudian dari sisi eksternal bisa lantaran harga komoditas ekspor andalan Indonesia yang belum pulih sepenuhnya. Komoditas-komoditas itu antara lain batu bara, karet, kelapa sawit, dan lain-lain.


Sebelum tulisan ini terlalu jauh melebar, baiknya kita fokus ke kinerja Ditjen Pajak Kemenkeu. Berdasarkan pengalaman singkat penulis, tidak tercapainya target penerimaan dari tahun ke tahun bukan hanya karena pertumbuhan ekonomi saja.

Alasan lain yang kerap berulang kali disampaikan adalah minimnya petugas pajak. Jumlahnya 32 ribu pegawai. Fuad Rahmany saat masih menjabat sebagai dirjen pajak berulang kali mengeluhkannya. Awal tahun ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati juga begitu.

Pada tahun lalu saja ada 32 juta wajib pajak terdaftar. Dari jumlah itu, hanya 12 juta WP yang menyampaikan surat pemberitahuan (SPT). Nah, dari sini terlihat juga kalau kepatuhan kita masih sangat rendah. Besarannya hanya 63 persen.

Padahal negara-negara lain bisa sampai 75 persen sampai 80 persen. Berulang kali pula Dirjen Pajak menyampaikan surat edaran kepada para kepala kanwil untuk menaikkan besaran kepatuhan. Realisasinya? Silakan dicek kembali. Oh ya, sebagian dari kita mungkin berpikir, bukankah tahun ini masih ada kelanjutan program Pengampunan Pajak?
Betul bahwa program ini berlangsung sejak Juli 2016 sampai Maret 2017. Akan tetapi, kontribusinya terhadap penerimaan negara hanya Rp 135 triliun. Yang bakal berguna dari program itu hanyalah basis data untuk menopang penerimaan pajak ke depan.

Maka, di sisa waktu ini, rasa-rasanya berburu di kebun binatang akan kembali digencarkan pihak-pihak terkait. Instruksi Dirjen Pajak Ken Dwijugiasteadi agar para kepala kanwil di seluruh Indonesia siaga 24 jam adalah sinyal nyata.

Sebenarnya masih banyak lagi rangkaian penyebab tidak tercapainya penerimaan pajak dari tahun ke tahun. Jika diuraikan tentu akan sangat banyak. Lain waktu jika ada kesempatan akan coba penulis bahas.

Tiba-tiba, penulis teringat perbincangan dengan seorang kawan yang bertugas di Ditjen Pajak Kemenkeu, beberapa waktu lalu. Akhir tahun ini, kesibukan teramat sangat. Bekerja, termasuk rapat, seolah tiada henti. Sebelum 31 Desember (tutup tahun), tidak boleh ada kata mengeluh. Wallahu'alam.

republika
Muhammad IqbalJurnalis/Redaktur Republika untuk Isu-Isu Ekonomi


Silahkan Bagikan Jika Bermanfaat

Disclaimer: Gambar, artikel ataupun video yang ada di web ini terkadang berasal dari berbagai sumber media lain. Hak Cipta sepenuhnya dipegang oleh sumber tersebut. Jika ada masalah terkait hal ini, Anda dapat menghubungi kami disini.
Related Posts
Disqus Comments
close