Presiden Joko Widodo Di Istana Merdeka |
Mediaoposisi.com- Akhir-akhir ini suhu politik negeri kita terasa semakin panas, terlebih lagi dengan perdebatan tentang komunisme yang begitu marak membuat energi kita banyak terkuras. Karena ini berkaitan dengan luka sejarah yang nyaris membunuh bangsa kita.
Semua kegaduhan yang mendera negeri kita tersebut, tentu memicu banyak tanya bagi banyak orang, khususnya rakyat Indonesia. Apa sebenarnya yang tengah terjadi dengan pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla, sehingga situasi negara menjadi demikian tidak kondusif.
Hubungan sipil dan Pemerintah terasa mulai tidak harmonis, ditandai dengan aksi-aksi yang mencapai jutaan orang. Hubungan antara Militer dan kepolisian tampak semakin merenggang. Dan hubungan antar ormas dan antar partai politik pun juga nyaris sama. Tampak ada ketegangan yang mencemaskan.
Melihat situasi yang semakin rumit itu, saya mencoba berdiskusi dengan banyak orang, termasuk beberapa orang yang memiliki koneksi dengan istana hingga pada ring 1, dan juga dengan teman-teman aktivis senior, kemudian saya dapat memaparkan satu kesimpulan bahwa ternyata ada beberapa faksi/gerbong di istana yang saling berebut kepentingan, sehingga memiliki efek negatif bagi situasi negara. Baik efek negatif pada sisi politik maupun ekonomi.
Istana hari ini terbagi menjadi tiga kubu, dan ketiga kubu tersebut hubungannya kini semakin tajam dalam beririsan. Saling menikam di belakang Jokowi.
Pertama, Mega, Luhut, Hendro Priyono, Puan Maharani, Budi Gunawan, dan Teten Masduki. Kubu ini bisa dikatakan memegang kendali utama dalam setiap kebijakan Pemerintah. Kubu ini pula yang disinyalir memperkeruh hubungan antara TNI dan Polri.
Karena kubu ini telah sukses mendudukkan Budi Gunawan yang notabene dari kepolisian, menjadi kepala Badan intelijen Negara (BIN), yang seharusnya posisi itu dipegang oleh TNI. Selain itu, kubu ini juga disinyalir sebagai baking maker Ahok dan menyebabkan ketegangan beragama di Jakarta. Dari kubu ini berpotensi muncul salah satunya sebagai calon wakil Presiden Jokowi pada Pilpres 2019.
Karena memang kepentingan utama yang tengah mereka jaga sampai hari ini, adalah mengamankan kursi wakil Presiden mendampingi Jokowi.
Kedua, Gatot Nurmantyo dan Tito Karnavian. Dua jendral ini posisinya sekarang bisa dikatakan senasib. Gatot mulai dianggap sebagai rivalitas politik kubu pertama, setelah peristiwa aksi 411 dan aksi yang berjilid-jilid itu. Sehingga Gatot dikeluarkan dari lingkaran kubu pertama tapi tidak dipecat sebagai panglima, karena kubu pertama sudah terdesak momentum, tidak bisa memecat Gatot dalam situasi kecenderungan umat Islam kepada Gatot yang semakin menguat.
Kapolri dan Panglima TNI |
Sudah dekat pula dengan momentum 2019 jika Gatot dipecat, maka bisa dipastikan Gatot bisa menjadi lawan politik paling potensial bagi Jokowi dan Wakil nya dari kubu pertama. Selain itu, karena Gatot ini dari angkatan darat, maka hubungannya tersinyalir tengah diperkeruh oleh kubu pertama dengan Angkatan Udara.
Ada sentimen antara angkatan Darat dan Udara, khususnya soal panglima yang selalu dari angkatan darat, sentimen inilah yang tampaknya terus digosok oleh kubu pertama. Pola politik pecah belah tengah dimainkan oleh kubu pertama, untuk melemahkan Gatot dan Militer.
Tapi dalam situasi ini, Gatot sadar dan dia memilih jalur terbuka untuk melakukan konfrontasi dengan kubu pertama. Termasuk mulai menyerang Budi Gunawan dengan persoalan 5000 senjata.
Kemudian Tito Karnavian, jendral satu ini walaupun menjabat sebagai Kapolri, tapi sebenarnya tidak memiliki kendali penuh sebagaimana selayaknya Kapolri. Karena pemegang kendali Polri hampir setengahnya dipegang oleh Budi Gunawan, anak emas Megawati.
Luhut Binsar Panjaitan |
Walaupun Tito Karnavian adalah abdi Jokowi yang paling setia, bahkan berpotensi pula diambil wakil oleh Jokowi, menurut kecurigaan kubu pertama, tapi dia tidak mampu menerobos lingkaran kubu pertama.
Ini terbukti dengan tidak mampunya dia mereda penangkapan-penangkapan dan kriminalisasi ulama dan aktivis-aktivis Islam. Yang pada akhirnya menjatuhkan citranya pada umat Islam, bahkan tuduhan-tuduhan bahwa dia mengkhianati agamanya terus menguat, akibat tindakan penangkapan-penangkapan dari kepolisian tersebut.
Padahal, disinyalir aktor penangkapan-penangkapan itu adalah Budi Gunawan. Praktis, kasus penangkapan-penangkapan tersebut sudah membuat Tito tercoret dari daftar wakil Presiden potensial yang akan dipilih Jokowi.
Kemudian sadar bahwa citranya semakin buruk di mata umat Islam dan terganggu dengan Budi Gunawan, Tito pun mencoba membangun kredibilitasnya kepada umat Islam dengan menetapkan Ahok sebagai tersangka. Penetapan Ahok sebagai tersangka ini merupakan bentuk perlawanan Tito terhadap kubu pertama. Tapi ternyata Tito tetap tidak mampu melawan kubu pertama, karena penangkapan-penangkapan aktivis terus berjalan, dan semakin membuatnya tidak lagi dipercaya umat Islam.
Dan Tito pun kini terasing dari istana dan tidak lagi berpeluang menjadi calon wakil Presiden Jokowi. Tetap duduknya Tito sebagai Kapolri, hanya sebagai bentuk permainan politik dari kubu pertama. Bisa jadi sebagai domba yang dikorbankan.
Dan Kubu Ketiga, kubu garasi istana/parkiran. Yakni Jusuf Kalla, Surya Paloh, Wiranto, dan para menteri dari partai-partai Islam, PKB dan PPP. Yakni Muhaimin Iskandar, Romahurmuzy, dan Lukman Hakim. Nama-nama ini sebenarnya sedang dalam kondisi yang paling menyedihkan jika dibaca dengan kacamata politik.
Karena mereka telah kalah peran dengan kubu pertama, dan sebatas diposisikan pada tempat parkiran istana saja. Keberadaan mereka tidak lain hanyalah sebagai perisai untuk mengurangi perlawanan umat, media dan juga militer. Pada 2019, mereka tidak akan bisa berbuat banyak, selain hanya sebagai pendukung kepentingan kubu pertama.
Jokowi dan Jusuf Kalla |
Bahkan Jusuf Kalla pun, walaupun saat ini menempati posisi sebagai wakil Presiden, tapi tidak punya otoritas sebesar kubu pertama. Jusuf Kalla kini hanya bisa merenung di halaman istana dengan kursi goyangnya dan segelas kopi luwak mungkin.
Potret istana yang seperti itulah yang pada akhirnya membuat bangsa ini gaduh. Kepentingan politik segelintir orang, telah mempertaruhkan masa depan bangsa. Mereka (orang-orang istana), cenderung tidak tahu diri bahwa tindakannya telah mengacaukan bangsa, mengancam masa depan negara dan kehidupan rakyatnya.
Orang-orang seperti ini harus segera di hentikan. Jangan biarkan mereka kembali menguasai negeri ini pada periode mendatang! [MO]