PETA POLITIK KEUMATAN*
Oleh: Nasrudin Joha
PKS, PAN dan GERINDRA adalah parpol penangguk benefit politik paling besar dalam konteks luberan berkah politik dari diskursus Perppu Ormas pasca diundangkan. Penolakan ketiga partai tersebut, diyakini akan berkorelasi positif pada dukungan, elektabilitas dan aspeptabilitas umat terhadap partai. Tidak bisa dipungkiri, politik keumatan hari ini mendominasi dan memberi pengaruh kuat atas setiap preferensi politik publik.
Era politik kuno dimana baliho, pamflet, leaflet, poster, dan iklan mahal miliaran rupiah di televisi dan radio, digantikan oleh arus iklan meme, komen, tulisan dan video pernyataan yang membanjiri jagat sosmed.
Era dimana preferensi politik sosmed mempengaruhi preverensi politik real pada berbagai aktualisasinya. Para konsultan politik, dewasa ini sibuk mencari pola pengkondisian suara, penguatan kohesi internal partai, peningkatan elektabilitas partai dan Akseptabilitas publik, ditengahi arus informasi liberal di jagat dunia maya (sosmed).
Jika salah memberikan advice, bisa jadi kampanye miliaran rupiah melalui siaran TV dan radio, habis tidak tersisa dilalap opini jagat sosmed dalam waktu sekejap. Anggaran yang dialokasikan menguap habis tanpa meninggalkan jejak dukungan politik.
Migrasi literasi dari era kertas, era TV analog, menuju dunia digital dengan berbagai perangkatnya mengembalikan realitas pertarungan politik kembali pada asalnya. Pertarungan ide dan pemikiran.
Tidak ada lagi kemampuan kapital secara otoritatif mampu mendominasi ceruk kartel opini, untuk mengarahkan preferensi politik publik pada arahan tertentu. *Liberalisme politik yang ditandai dengan Revolusi Politik Gadget*, menjadikan setiap orang mampu menjadi penulis, dewan redaksi, sekaligus penerbitnya.
Kekuatan tangan-tangan media mainstream, keangkuhan dewan redaksi yang dikungkung kekuatan kapital, tidak mampu membendung arus opini publik yang diproduksi secara massif, didistribusikan secara merata melalui berbagai sarana dan media dalam jagat maya. Paralel dengan kesadaran kolektif publik pada urgensi literasi yang berimbang.
*Modal Politik Keumatan*
Sesungguhnya PKS, PAN dan Gerindra telah memiliki modal politik keumatan dan dengan sedikit modifikasi mampu di kapitalisasi untuk meraih dukungan umat menuju pemilu 2019. Tentu untuk mengkapitalisasinya bukan perkara mudah. Butuh konsistensi, kerja keras dan pembuktian.
Konsistensi dimaksud adalah menetapkan semangat keumatan sebagai pilar renstra politik masa depan. Atas kesadaran publik, *PDIP, Golkar, Hanura, Nasdem, PPP, PKB dan menyusul Demokrat telah mendapat stigma sebagai partai pendukung Penista Agama, Partai pendukung Perppu diktator.*
Realitas ini harus dipahami dan diterjemahkan oleh PKS, PAN dan Gerindra dengan tidak membuat atau melibatkan diri dengan koalisi Pilkada yang didalamnya terlibat salah satu partai pendukung Penista agama. Ini adalah pilihan politik radikal, jika ingin meraup dukungan yang signifikan.
Memang benar, pilihan politik ini akan mengakibatkan PKS, PAN dan Gerindra akan kehilangan sedikit, atau beberapa kompensasi kekuasaan di daerah, dengan menghindari sikap politik pragmatis. Tetapi kesabaran ini, akan menuai panen politik raya di pemilu 2019.
Sebaliknya, jika PKS, PAN dan Gerindra berkompromi dengan membentuk atau terlibat dalam koalisi partai yang melibatkan partai pendukung Penista agama, sudah pasti ini akan berimplikasi politik serius.
Umat akan membuat pembacaan politik bahwa tindakan itu dikategorikan sebagai kemunafikan politik. Umat pasti akan memberikan hukuman politik, tidak saja terhadap partai pendukung Penista agama tetapi juga terhadap partai yang mempertontonkan kemunafikan dalam membangun mitra koalisi.
*Menuju Pertarungan Politik Masa Depan*
Era keterbukaan politik mewajibkan partai kembali pada khitah awal perjuangannya. Partai harus mampu memproduksi serangkaian ide dan pemikiran untuk membebaskan dan mensejahterakan umat. Ini adalah asas sekaligus visi politik partai yang sejati.
Jika parai masih berpegang dengan adagium lama, uang adalah suara, pendekatan gizi politik akan mempengaruhi preferensi politik umat, bersiaplah untuk menelan pil pahit kekalahan. Bersiaplah untuk ditinggalkan Konsituen, ditinggalkan umat.
Kontestasi politik Pilkada DKI harus memberi pelajaran penting, dimana kekuatan kapital, media mainstream, gizi politik baik dalam bentuk uang saku, sembako, kaos dan kemeja kotak-kotak, nyatanya tidak mampu mengantarkan putra mahkota kembali menduduki tahta singgasana. Kekuatan umat dan terobosan opini melalui jagat sosmed, mampu menenggelamkan arus opini media mainstream dan kekuatan kaum pemodal. Sentimen keumatan mampu menyatukan kekuatan untuk menghukum elektabilitas sang Penista agama.
Masih cukup waktu untuk kembali menghidupkan roda partai, roda pengkaderan, mendekat kepada umat, melayani umat, menanamlah sebaik dan sebanyak mungkin benih kebajikan. Niscaya ditahun 2019 partai Anda akan memanen buah dan hasilnya. [MO]