Presiden Joko Widodo |
Oleh: Don Zakiyamani
Ketua Umum Jaringan Intelektual Muda Islam (JIMI)
Mediaoposisi.com- Saat bom Solo (2011) terjadi, ada dua orang yang tiba-tiba terkenal. Pertama, pelaku bom bunuh diri dan kedua Walikota Solo, Joko Widodo. Selanjutnya kita semua tahu apa yang terjadi, Joko Widodo menjadi media daring. Namanya mencuat seiring pencitraan yang dilakukan media.
Belum selesai sebagai Walikota, Jokowi melanjutkan karir politik sebagai Gubernur Jakarta (2012). Janji-janji politiknya semasa kampanye cagub tidak ditepatinya, misalnya soal banjir dan kemacetan. Dua tahun memimpin Jakarta Jokowi mencalonkan diri sebagai Presiden, berpasangan dengan JK.
Konstelasi politik pada pilpres (2014) mempolarisasi rakyat Indonesia. Sengitnya pilpres saat itu yang akhirnya dimenangkan Jokowi-JK. Setelah memimpin Indonesia, Jokowi dapat dikatakan gagal total, hutang negara menumpuk dan Sumber daya Alam dijual ke pihak asing dan aseng. Selain gagal, Jokowi juga sering melakukan kebohongan.
Beberapa kebohongan yang patut dicatat sebagai sejarah bangsa ini. Pertama, Jokowi mengatakan bahwa kabinet nantinya diisi tenaga non-parpol, kalangan profesional. Nyatanya kabinet pemerintahan Jokowi-JK didominasi kader parpol pendukung mereka, termasuk lembaga yudikatif.
Hutang Indonesia dibawah pemerintahan Jokowi meningkat tajam, dan penguasaan Asing terhadap asset Indonesia semakin merajalela. Asing hari ini berkuasa penuh atas pemerintahan, mulai pengaturan reklamasi, kreta api cepat Bandung-Jakarta, dan termewah proyek new-town (Meikarta).
Kebohongan pemerintahan Jokowi selanjutnya ialah terkait peringkat ekonomi Indonesia, Jokowi dan jajarannya baru mengklarifikasi ketika dikritisi ekonom Hongkong. Sebelumnya Jokowi beberapa kali menyatakan ekonomi Indonesia diurutan ke-3 dunia. Satu kelalaian sekaligus pembohongan publik.
Terkait pelaksanaan demokratisasi di Indonesia, Jokowi telah dan sedang menuju otoritarian. Penangkapan para pemimpin aksi damai dengan dalil lemah, penangkapan aktivis senior, adalah bukti Jokowi menjelma menjadi new-dictator. Secara regulasi Jokowi menerbitkan perppu nomor 2 tahun 2017 tentang ormas.
Perppu Ormas merupakan kemunduran demokrasi di Indonesia, dan Jokowi harus bertanggungjawab. Jokowi yang memproklamirkan revolusi mental dapat memperbaiki keadaan dengan beberapa opsi. Pertama mundur dengan sukarela dari Jabatannya sekarang.
Opsi ini pernah dilakukan Presiden sebelumnya, Soeharto (1998). Sepertinya Jokowi tidak harus menunggu people-power, keikhlasannya akan menjadi catatan sejarah. Opsi lain yang bisa diambil Jokowi ialah tetap memimpin Indonesia sampai 2019. Selanjutnya Jokowi dapat berhenti secara normal tanpa harus kembali mencalonkan diri, sikap ini menunjukkan dirinya seorang negarawan.
Opsi kedua ini berlaku bila Jokowi selama sisa waktu mampu menunjukkan prestasi. Tentu bukan prestasi dalam bentuk pencitraan yang dibantu Taipan dan media. Bila tidak mampu menunjukkan prestasi, Jokowi dapat berhadapan dengan rakyatnya sendiri.
Jokowi yang lebih memilih Taipan daripada rakyatnya terus melakukan sandiwara politik. Kasus reklamasi, kreta api cepat dan Meikarta merupakan bukti Jokowi lebih memilih kapitalisme dari pada rakyatnya. Melalui perppu ormas Jokowi menegaskan pula bahwa selain komunisme, Islam juga dianggap enemy state.
Aksi umat Islam yang mampu menghadirkan jutaan orang dijawab Jokowi dengan pembubaran salah satu ormas Islam. Sikap yang sama pernah dilakukan Soekarno (1960). Melalui Surat Keputusan Presiden No. 200/1960 Soekarno membubarkan Masyumi, 5 tahun kemudian terjadi peristiwa G30S/PKI.
Jokowi tampak mengikuti langkah Soekarno, bedanya Soekarno 'menendang' Islam memeluk komunis. Sementara Jokowi 'menendang' Islam memeluk kapitalisme. Berdasarkan fakta sejarah, Jokowi harus mundur atau dijatuhkan karena telah memusuhi umat Islam. Sanggahan dan bantahan boleh saja akan tetapi fakta hari ini demikian adanya.
Kegagalan Jokowi dalam memimpin negeri ini akan berdampak semakin sengsaranya rakyat indonesia. Sebaliknya Jokowi akan mendapat sangsi dari rakyat karena rakyat akan semakin tersakiti.
JIka Jokowi mundur maka akan bergelar negarawan tapi hal itu mustahil pasti akan tetap bertahan dan kita akan melihat berakhir. Bila bijak, Jokowi akan memilih opsi mundur dan bila berambisi kekuasaan Jokowi akan pilih opsi bertahan.[MO/abk]