-->

Pajak Penulis, Ini Perlu Perppu!

Silahkan Bagikan Jika Bermanfaat
Advertisemen


Oleh: Ummu Yazid - Relawan Opini dan Media

Santer, Tere Liye menghentikan kerjasama dengan dua penerbit besar Indonesia. Dirinya juga sekaligus menghentikan penerbitan 28 judul buku karyanya, per 31 Juli 2017 lalu. Alasan Tere, royalti penulis dianggap penghasilan netto dan dikenai pajak progresif tinggi. Menurut Tere, besaran pajak penulis mencapai 24 kali pajak profesi lain. Yang karenanya, sebut Tere, penulis adalah profesi yang paling dermawan kepada negara.

Suara senada datang dari Dee, sapaan Dewi Lestari. Dirinya sangat paham perasaan Tere Liye. Dee sendiri, banting setir dari penyanyi menjadi penulis, 16 tahun lalu. Dee pun mengakui, penghasilan penyanyi lebih tinggi ketimbang honor penulis. Namun Dee menyadari, tak semua penulis bernasib sepertinya. Ada pula yang harus sibuk cari kerjaan sampingan dan dikadali penerbit. Belum lagi, mereka harus berurusan dengan masalah pajak.

Yang tak kalah mengejutkan, datang dari Andrea Hirata. Penulis yang ngetop dengan Laskar Pelangi ini dikabarkan segera pensiun dari dunia kepenulisan buku, cepat atau lambat. Andrea baru saja merilis buku bertajuk Sirkus Pohon. Setelah menerbitkan buku ke-10 yang akan disusul dua buku lain itu, Andrea berencana untuk tidak lagi menulis. Diketahui, setelah pensiun dari industri buku, Andrea berencana menetap di kampung halamannya, Belitung. Di sana, ia ingin mencoba berbagai hal, salah satunya menjadi petani. Selain ingin mengeksplorasi sisi musikalitas yang dimilikinya, serta menjajal dunia film sebagai seorang sutradara.

Baper memang ketika mengetahui curahan hati ketiga penulis populer di atas. Sama-sama terpentok. Tere terpentok pajak. Dee galau dengan kasus Tere. Sementara Andrea, ingin melebarkan sayap potensi dirinya.

Namun yang hendaknya menjadi koreksi total bagi bangsa ini, bahwa seorang penulis adalah orang selalu bekerja demi orang lain. Lihat saja, dirinya susah payah riset menulis buku, demi para pembacanya. Bukan demi kepuasan diri. Tengoklah, bagaimana mereka berusaha menyuguhkan bacaan berkelas demi warna literasi yang kian berkualitas. Padahal bukunya belum tentu laku, alih-alih best seller.

Sebaliknya, dari sisi pembaca, memang benar bahwa tingkat melek huruf di negeri ini sudah tinggi. Tapi ironisnya, menurut UNESCO dengan data tahun 2016, angka minat baca Indonesia berada di urutan ke-60 dari 61 negara, setingkat di atas Botswana. Dengan kata lain, peringkat tersebut adalah yang terendah kedua di dunia. Hal ini, dalam pandangan Najwa Shihab sebagai Duta Baca Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, jelas sangat rendah. Menurut Najwa, masyarakat Eropa-Amerika khususnya anak-anak dalam setahun bisa membaca buku 25-27% buku. Kemudian, lanjut Najwa, di Jepang mencapai 15-18% per tahun. Namun Indonesia hanya 0,01% per tahun.

Ini baru minat baca. Lantas, bagaimana dengan minat menulis atau menjadi penulis? Padahal, seorang penulis itu pasti seorang pembaca yang baik. Saat berkarya, ia pasti terlebih dahulu membaca bahan-bahan risetnya sebelum menuangkannya kembali dalam bentuk tulisan karya dirinya.

Jadi, jika ada penulis yang galau terhadap pajak, akan “pensiun” menulis, atau bahkan tidak akan menerbitkan buku lagi hanya gara-gara pajak yang notabene bagai upeti, ini jelas bencana besar bagi dunia literasi. Sungguh ini kegentingan nasional. Yang jika kepala negara tengah gemar menerbitkan Perppu, maka dunia literasi Indonesia sangat butuh Perppu. Perppu agar nasib penulis tak terpojok oleh pajak. Atau Perppu agar dunia literasi berjaya mencerdaskan generasi.

Memang kita ketahui bersama, bahwa pendapatan utama negeri ini bersumber dari pajak. Segala sesuatu ada pajaknya. Segala rupa dinilai dengan uang. Tapi, apakah harus se-konvesional dan se-absolut itu penerapan pajaknya? Sampai-sampai seorang penulis lebih rela berhenti menerbitkan buku daripada harus bayar pajak yang tak terperi. Sekali lagi, ini benar-benar bencana.

Bukankah dalam Pembukaan UUD 1945 termaktub bahwa salah satu misi kemerdekaan negeri ini adalah mencerdaskan kehidupan bangsa? Yang jika tanpa habit membaca dan menulis, bagaimana suatu generasi akan menjadi cerdas? Dan bagaimana dunia literasi akan berkelas dan berkualitas?

Sudah sejak lampau sejarah memberi pelajaran tentang latar belakang keterpurukan umat Islam. Tak lain karena mereka meninggalkan bahasa Arab, bahasa Al-Quran. Yang akibatnya, mereka kian hari kian sulit paham ayat-ayat Al-Quran, karena mereka memang tak paham isinya. Jadi bagaimana hendak mengamalkan Al-Quran, termasuk hadits Nabi ﷺ, jika bahasanya saja tidak dimengerti. Padahal Al-Quran dan hadits Nabi ﷺ adalah pedoman hidup di dunia untuk bekal akhirat.

Demikian halnya dunia literasi. Jangan pernah gentar mereguk butir-butir kata dengan terbiasa membaca. Jangan pula ragu merangkai aksara dengan menjadi seorang penulis. Mari kita memiliki habit untuk menjadi pembaca dan penulis yang berharap kondusivitas pencerdasannya dijamin  oleh negara, semoga. [IJM]

Silahkan Bagikan Jika Bermanfaat

Disclaimer: Gambar, artikel ataupun video yang ada di web ini terkadang berasal dari berbagai sumber media lain. Hak Cipta sepenuhnya dipegang oleh sumber tersebut. Jika ada masalah terkait hal ini, Anda dapat menghubungi kami disini.
Related Posts
Disqus Comments
close