Saracen, Gambaran Carut-Marutnya Dunia Intelijen Kita
Berita Islam 24H - Beberapa waktu lalu, di medsos saya sempat nyindir komunitas intelijen kita. Bahwa ketika operasi intelijen bermaksud mengusung tema yang bernama Saracen, harusnya membaca dulu buku berjudul Filsafat Intelijen, karya suhu mereka sendiri, Abdul Mahmud Hendropriyono.
Namun pesan utama tulisan saya lebih dalam dari itu. Betapa operasi intelijen kita akhir-akhir ini, bukannya berfungsi ibarat pakaian untuk menutup aurat. Melainkan malah menjadi operasi menyingkap tabir. Dan sialnya, justru menyingkap tabir diri sendiri.
Dalam tahapan operasi intelijen, biasa melalui lima tahapan:
1) PERENCANAAN DAN PENGARAHAN
Identifikasi kebutuhan data berdasarkan daftar prioritas isu strategis, menetapkan kelompok mana yang harus dipantau.
2) PENGUMPULAN DATA
Kumpulkan data mentah untuk diolah jadi produk intelijen. Data diperoleh dari sumber terbuka dan sumber rahasia.
3) PENGOLAHAN
Pengolahan ini termasuk melakukan pengubahan bahan informasi, pengurangan maupun penambahan data, penerjemahan bahasa, pemaknaan sandi, dan penafsiran informasi.
4) PRODUKSI DAN ANALISIS
Produksi dan analisis mengacu pada pengolahan informasi dasar. Untuk ini dibutuhkan ahli khusus yang bisa menentukan arti dan pengaruhnya.
5) PENYEBARAN
Langkah terakhir dari tahapan ini adalah melakukan penyebaran informasi. Tahapan ini selalu penuh risiko kemungkinan terjadi kesalahan.
Kosa kata intelijen semula berasal dari Romawi Kuno, Intellegere, yang mana kata kerja Intellegere berarti memahami. Menurut beberapa sumber literatur hasil penelisikan tim riset Aktual, ada empat faktor penentu agar seseorang mencapai fase Intelligence yakni pemahaman tentang waktu, zat, medan (ruang, zona), informasi dan manusia.
Dengan makna lain, kemampuan intelijen selalu melekat dengan kemampuan manusia untuk memahami lingkungannya. Memahami tren yang sedang berkembang saat ini. Memahami gagasan-gagasan rumit dan mengubahnya menjadi sederhana dan mudah dimengerti. Selain dari itu kemampuan intelijen berarti mampu belajar cepat atas dasar pengalaman serta mampu beradabtasi dengan lingkungan yang berubah terus dan dinamis.
Di era pemerintahan Suharto, kala Benny Murdani menjadi aktor sentral dunia intelijen negeri kita, pernah telah menggariskan sebuah kebijakan penting di bidang intelijen. Yaitu, jangan sampai ada dua produk intelijen yang berasal dari dua sumber yang berbeda dan saling bertentangan. Sehingga untuk memenuhi hal itu, dibutuhkan satu intelijen strategis yang seksama, satu, terpusat, akurat dan menyeluruh untuk membantu Presiden RI.
Presiden Suharto kala itu agaknya belajar dari pengalaman meletusnya Gerakan Malari 15 Januari 1974, yang mana kinerja intelijen Badan Koordinasi Intelijen Negara (BAKIN) sangat tidak memuaskan. Karena dunia intelijen terimbas oleh persaingan antar jenderal di lingkar dalam kekuasaan Suharto. Yaitu antara Kepala Operasi Khusus Jenderal Ali Murtopo versus Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) Jenderal Sumitro. Akibatnya, intelijen negara jadi tidak efektif, kalau tidak mau dikatakan mandul.
Dari hasil perseteruan dua jenderal yang punya akses mengendalikan komunitas intelijen, maka muncullah Benny Murdani sebagai aktor baru dunia intelijen. Dia ditugaskan Suharto untuk mengendalikan tiga wadah intelijen yaitu Asisten Intelijen Hankam, Asisten Intelijen Kopkamtib, dan membangun badan intelijen baru bernama Pusat Intelijen Strategis (Pusintelstrat).
Sistem intelijen yang seperti itu, ditrapkan pemerintahan Suharto melalui Benny Murdani sejak 1974 hingga akhir 1980-an. Sayangnya, sejak menjelang lengsernya Suharto pada Mei 1998 dan memasuki intelijen NKRI kembali melemah dan terimbas konflik internal di dalam lingkar dalam kekuasaan presiden. Di era kepresidenan Jokowi-JK, komunitas intelijen kita nampaknya semakin amburadul.
Komunitas intelijen tiba-tiba hilang kecerdasannya dan ketekunannya dalam mengikuti dan mengamati rangkaian kejadian maupun dalam memproses informasi penting yang terkait dan relevan. Sehingga komunitas intelijen tidak terlihat kemampuannya dalam menyusun kesimpulan sebagai isyarat kemampuan intelijen kita dalam memantau lingkungannya, maupun dalam mengambil tindakan yang cepat dan tepat untuk mencapai keadaan yang diinginkan.
Menurut Teddy Rusdi, dalam buku karyanya Think Ahead, intelijen harus mampu menyimpulkan tren yang sedang berkembang saat ini, menafsirkan dan meramalkan apa yang bakal terjadi ke depan, sejatinya merupakan tugas utama intelijen.
Kasus mencuatnya Saracen, yang terkait kriminalisasi terhadap ujaran kebencian melalui medsos, menggambarkan dengan sejelas-jelasnya betapa komunitas intelijen kita saat ini tidak beroperasi sesuai dengan arahan tersebut di atas. Ketidakpekaan dalam menangkap dinamika lingkungan yang sedang berlangsung, ketidakmampuan intelijen dalam menafsirkan dan memaknai rangkaian kejadian penting yang terkait dan relevan, nampak jelas sekali terlihat secara kasatmata.
Sepertinya peringatan Pak Harto terhadap komunitas intelijen di eranya, agaknya justru sedang terjadi sekarang ini. Ketika ada dua produk intelijen yang berasal dari dua sumber yang berbeda dan saling bertentangan, kemudian dijadikan rujukan oleh lingkar dalam kekuasaan Jokowi-JK sebagai landasan untuk melalukan tindakan dan pencegahan.
Yang terjadi kemudian justru menggelikan, daripada menakutkan. Sebab hasilnya justru berkebalikan dengan maksudnya. Seharusnya untuk menutupi sesuatu, malah menyingkap tabir.
Hendrajit, Redaktur Senior Aktual.