KABARNASIONAL.INFO - Setelah Presiden Joko Widodo memimpin, jumlah utang Indonesia ke Cina terus meningkat. Berdasarkan data rilisan situs BI tercatat bulan Juli, jumlah utang ke Negeri Tirai Bambu pada Mei 2017 sebesar 15,491 miliar dolar AS atau sekitar Rp 206 triliun.
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Data dan Analisis (PKDA) Fajar Kurniawan menjelaskan masifnya ekspansi China ke Indonesia baik dari sisi utang, investasi, dan tenaga kerja menurutnya bukan solusi yang pas. “Bagaimanapun juga potensi gagal bayar nantinya, sehingga Indonesia masuk dalam perangkap China.” Tuturnya kepada KABAR NASIONAL (2/8).
Fajar menambahkan “Bukan langkah yang tepat karena alasan keterbatasan APBN terserap banyak untuk membayar bunga utang, lalu pemerintah harus menempuh investasi besar-besaran, mengundang investor Cina. Ini justru menambah masalah”, jelasnya.
Sebagai perbandingan pada 2014, posisi utang Indonesia ke Cina hanya 7,869 miliar dolar. Bahkan pada 2010 utang Indonesia ke Cina hanya 2,488 miliar dolar AS. Adapun dari 2014 sampai Mei 2017 jumlah utang Indonesia meningkat sekitar 7,622 miliar dolar AS atau naik hampir dua kali lipatnya.
Cina kini menjadi negara peminjam terbesar ketiga setelah Singapura sebesar 52,447 miliar dolar AS dan Jepang 30,656 miliar dolar AS. Porsi Negara Tirai Bambu itu telah menyalip AS sejak 2015.Peningkatan jumlah utang ke Cina sejalan dengan naiknya utang Indonesia. Secara total utang luar negeri Indonesi pada Mei 2017 tercatat 333,6 miliar dolar AS tumbuh sebesar 5,5 persen (year on year).
“China memiliki agenda Maritime Silk Road atau One Belt One Road yang dicanangkan Xi Jinping. Secara lugas bisa bisa diamati China memiliki agenda dominasi politik maupun ekonomi terhadap sejumlah Negara.” Lanjut Fajar. Dia berharap pemerintah tidak mengundang investor asing yang mampu melemahkan ekonomi Negara dalam jangka menengah dan panjang.
“Tidak bisa utang luar negeri dan mengundang investor asing, termasuk Cina masuk ke Indonesia atas dasar pertimbangan bisnis semata, pemerintah juga jangan berpikir swasta hanya mencari laba dari investasi yang dilakukan di Indonesia. Tidak cukup, pemerintah perlu memikirkan adanya kerugian jangka panjang dalam investasi tersebut.” Ungkap Fajar. (sj)