Umatuna.com - Sikap pemerintah menerbitkan Perppu 2/2017 tentang Ormas disayangkan. Pasalnya, perppu ini dinilai menghilangkan bagian penting dari jaminan kebebasan berserikat di Indonesia.
Direktur LBH APIK Veni Siregar menjelaskan, perppu itu tidak sesuai dengan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
"Kami melihat sikap presiden justru membangkitkan otoriterisme negara. Karena jika dibiarkan Pemerintah dapat menstigma kegiatan suatu ormas bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945 tanpa melalui pembuktian secara hukum," urainya dalam keterangan tertulis kepada redaksi, Jumat (14/7).
Kata Veni, pemerintah seharusnya melakukan pendekatan persuasif terhadap ormas yang dianggap anti Pancasila, seperti memberi peringatan tertulis dan menghentikan kegiatan sementara ormas tersebut. Kemudian jika peringatan itu tidak efektif, maka pemerintah harus meminta persetujuan pengadilan lebih dulu sebelum membubarkan ormas bersangkutan.
Veni juga menjelaskan bahwa secara prosedural, penerbitan perppu tersebut merupakan langkah tidak tepat karena tidak memenuhi syarat sebagaimana dinyatakan dalam putusan Mahkamah Konstitusi No. 38/PUU-VII/2009.
Berdasar putusan itu, perppu hanya bisa dikeluarkan jika adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan UU, Adanya kekosongan hukum karena UU yang dibutuhkan belum ada atau tidak memadai, dan kekosongan hukum tidak dapat diatasi dengan prosedur normal pembuatan UU.
"Terakhir, syarat tersebut tidak terpenuhi karena tidak ada situasi kekosongan hukum terkait prosedur penjatuhan sanksi terhadap ormas," pungkasnya. Sumber: Rmol
Direktur LBH APIK Veni Siregar menjelaskan, perppu itu tidak sesuai dengan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
"Kami melihat sikap presiden justru membangkitkan otoriterisme negara. Karena jika dibiarkan Pemerintah dapat menstigma kegiatan suatu ormas bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945 tanpa melalui pembuktian secara hukum," urainya dalam keterangan tertulis kepada redaksi, Jumat (14/7).
Kata Veni, pemerintah seharusnya melakukan pendekatan persuasif terhadap ormas yang dianggap anti Pancasila, seperti memberi peringatan tertulis dan menghentikan kegiatan sementara ormas tersebut. Kemudian jika peringatan itu tidak efektif, maka pemerintah harus meminta persetujuan pengadilan lebih dulu sebelum membubarkan ormas bersangkutan.
Veni juga menjelaskan bahwa secara prosedural, penerbitan perppu tersebut merupakan langkah tidak tepat karena tidak memenuhi syarat sebagaimana dinyatakan dalam putusan Mahkamah Konstitusi No. 38/PUU-VII/2009.
Berdasar putusan itu, perppu hanya bisa dikeluarkan jika adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan UU, Adanya kekosongan hukum karena UU yang dibutuhkan belum ada atau tidak memadai, dan kekosongan hukum tidak dapat diatasi dengan prosedur normal pembuatan UU.
"Terakhir, syarat tersebut tidak terpenuhi karena tidak ada situasi kekosongan hukum terkait prosedur penjatuhan sanksi terhadap ormas," pungkasnya. Sumber: Rmol