Umatuna.com - Penegakan hukum di Indonesia mulai mengesampingkan keadilan. Bahkan, pengadilan sekarang lebih menonjolkan sensasi yang tidak masuk akal dalam substansi hukum.
Begitu dikatakan Budayawan Betawi, Ridwan Saidi dalam sebuah diskusi di Jakarta, Selasa (27/6).
Dia memberikan contoh, kasus mencuatnya sejumlah nama dalam kasus korupsi proyek pengadaan e-KTP yang belum terbukti secara hukum. Juga mengenai dugaan dana korupsi pengadaan Alat Kesehatan (Alkes) di Kementerian Kesehatan kepada Amien Rais dan Sutrisno Bachir yang dikesampingkan oleh majelis hakim.
Menurut Ridwan, sekarang ini panggung persaingan politik mulai dipindahkan ke pengadilan yang membuat azas praduga tak bersalah tidak lagi dipakai.
"Kasus hukum yang digelar di media kebanyakan nggak substansi, mengarah pada sensasi saja. Urusan benar atau tidak belakangan, dihabisikan dulu itu orang," jelasnya.
Lebih lanjut, Ridwan menilai bahwa sistem peradilan sekarang sangat jauh berbeda dengan terdahulu. Dirinya mengingat pada tahun 1956, Jaksa Agung Soeprapto tidak pernah mengumbar nama-nama pihak yang terlibat dan pihak-pihak yang ikut diperiksa hingga vonis pengadilan. Bahkan Jaksa Agung Soeprapto juga tidak menginginkan pengadilan diinterfensi oleh rezim.
"Kalau sekarang sudah dibeberkan semua. Jadi ini satu persoalan yang harus dibereskan. Jangan sampai persaingan politik pindah kesini, jadi pengadilan menjadi persaingan politik," ujar Ridwan. Sumber: Rmol
Begitu dikatakan Budayawan Betawi, Ridwan Saidi dalam sebuah diskusi di Jakarta, Selasa (27/6).
Dia memberikan contoh, kasus mencuatnya sejumlah nama dalam kasus korupsi proyek pengadaan e-KTP yang belum terbukti secara hukum. Juga mengenai dugaan dana korupsi pengadaan Alat Kesehatan (Alkes) di Kementerian Kesehatan kepada Amien Rais dan Sutrisno Bachir yang dikesampingkan oleh majelis hakim.
Menurut Ridwan, sekarang ini panggung persaingan politik mulai dipindahkan ke pengadilan yang membuat azas praduga tak bersalah tidak lagi dipakai.
"Kasus hukum yang digelar di media kebanyakan nggak substansi, mengarah pada sensasi saja. Urusan benar atau tidak belakangan, dihabisikan dulu itu orang," jelasnya.
Lebih lanjut, Ridwan menilai bahwa sistem peradilan sekarang sangat jauh berbeda dengan terdahulu. Dirinya mengingat pada tahun 1956, Jaksa Agung Soeprapto tidak pernah mengumbar nama-nama pihak yang terlibat dan pihak-pihak yang ikut diperiksa hingga vonis pengadilan. Bahkan Jaksa Agung Soeprapto juga tidak menginginkan pengadilan diinterfensi oleh rezim.
"Kalau sekarang sudah dibeberkan semua. Jadi ini satu persoalan yang harus dibereskan. Jangan sampai persaingan politik pindah kesini, jadi pengadilan menjadi persaingan politik," ujar Ridwan. Sumber: Rmol