Wacana khilafah atau sistem pemerintahan Islam yang selama ini begitu gencar disuarakan oleh HTI, ternyata menjadi sebuah ancaman bagi mereka yang merasa gentar jika ide penerapan syariat Islam diterima oleh masyarakat luas. Ketakutan itu mereka lampiaskan dengan menyerang dan mengintimidasi HTI. Klimaksnya, hari ini, Menko Polhukam Wiranto mengumumkan pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia yang dianggap bertentangan dengan Pancasila dan UUD 45 serta menciptakan benturan di masyarakat.
Dari pembubaran HTI ini, sangat jelas ada semacam kekhawatiran bahwa tegaknya khilafah dan penerapan syariat Islam akan berakibat pada runtuhnya eksistensi NKRI dan seakan ide khilafah tidak sejalan dengan semboyan negara, “Bhineka Tunggal Ika”. Hal ini sesungguhnya sangat asumtif dan tidak argumentatif. Sebaliknya, ketika Islam berjaya dan agama ini menjadi asas bernegara, keadilan akan tercipta tanpa mendiskriminasi mereka yang berbeda agama. Karenanya, penjelasan tentang bagaimana pemerintahan Islam menegakkan keadilan dan memenuhi hak-hak setiap warga negaranya yang tercatat dalam lembaran-lembaran sejarah, menjadi sangat urgen. Di antara bukti-bukti historis tersebut adalah:
Pertama, Perlindungan Terhadap HAM (Hak Asasi Manusia). Ini adalah salah satu pesan sentral Islam yang dilatari pandangan positifnya terhadap manusia sebagai makhluk yang dimuliakan Allah (QS al-Isra: 70). Kaum non muslim yang hidup di bawah pemerintahan Islam disebut ‘ahlu zimmah’ yang bermakna ‘penduduk yang terikat perjanjian dan perlindungan keamanan’ (Wahbah Zuhaili, al-Islam wa Ghoiru Muslimin, 60-61). Islam mengajarkan untuk menjaga perasaan mereka dan berdialog dengan baik (al-Ankabut: 46). Umat Islam juga dilarang mencela sesembahan orang kafir dan musyrik, karena hal itu membuat mereka juga mencela Allah (al-An’am: 108)
Perbedaan akidah tidak boleh membuat umat Islam harus mengebiri hak-hak kemanusiannya, selama mereka tidak melakukan kejahatan dan maker terhadap kaum muslimin. Suatu ketika, seperti diriwayatkan Amir bin Rabi’ah, sebuah iringan jenazah Yahudi lewat didepan Rasulullah saw dan beliau tetap berdiri. Ketika ditanyaka, beliau menjawab, “Bukankah dia seorang manusia,” (HR Bukhari 2/86). Lain lagi, ketika gubenur Mesir Amr bin Ash mencambuk seorang Qibthiy Nashrani tanpa sebab, Umar ra menghukumnya dengan balasan cambukan. Saat itu, keluarlah ucapan beliu yang terkenal, “Wahai Amr, sejak kapan kamu memperbudak manusia, padahal mereka dilahirkan oleh ibu-ibu mereka dalam keadaan merdeka?”
Kedua, Menjaga Kebebasan berkeyakinan. Tak ada paksaan dalam memeluk Islam (al-Baqarah: 256). Pemaksaan keyakinan bertentangan dengan prinsip kejujuran dan ketulusan dalam berakidah yang diajarkan Islam, dan hanya kan melahirkan kemunafikan yang justru membawa kerusakan yang lebih parah. Ketika akan memerangi orang-orang kafir, sejarah membuktikan, Umar bin Khaththab pernah menetapkan undang-undang perlindungan terhadap kaum Nashrani Palestina. Di antara butir-butirnya, seperti yang tercantum dalam Tarikh Thobari (3/159) adalah; memberikan keamanan terhadap jiwa dan harta mereka, gereja tidak boleh dijadikan tempat tinggal, tidak boleh dirusak apalagi dihancurkan, tidak memaksa mereka masuk Islam dll. Dalam sejarah manusia, tak pernah ada satu pun agama yang memberikan toleransi sebesar ini. Hal ini diakui cendekiawan Barat yang jujur seperti Gustave Lebon, Rubstein, Sir Thomas Arnold, dll.
Ketiga, Kebebasan Menjalankan Agama Mereka. Islam tidak pernah memaksa non muslim untuk menjalankan syariat Islam. Mereka, misalnya, tidak diwajibkan shalat, shoum ramadahan, membayar zakat, juga berjihad (al-Aqalliyaat Diniyah wal Hall al-Islamiy hlm 13-19). Islam juga memberikan toleransi untuk menjalankan kehidupan pribadi sesuai dengan syariat mereka seperti thalaq, waris, dsb. Yang diwajibkan atas mereka hanyalah membayar ‘pajak materil’ (jizyah) yang jumlahnya sangat kecil apabila dibandingkan dengan perlindungan dan kebebasan yang mereka peroleh.
Keempat, Menjunjung Tingggi Keadilan. Islam sangat menjunjung tinggi keadilan dan menentang kezaliman dalam segala bentuknya. Dalam Islam, keadilan harus ditegakkan meskipun hal itu akan berakibat pahit bagi orang-orang yang menegakkannya atau terhadap keluarganya. Allah berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang-orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu.” (an-Nisa’: 135).
Sejarah bertutur, bahwa Khalifah Ali bin Abi Thalib ra kalah melawan seorang Yahudi di hadapan Hakim Syuraih bin Harits al-Kindiy dalam kasus kepemilikan baju besi yang sebenarnya memang milik Sayyidina Ali, namun karena saksi yang beliau hadirkan adalah anak kandungnya sendiri, maka sang hakim memenangkan orang Yahudi. Melihat penegakkan hukum yang super adil ini, orang Yahudi tersebut memeluk Islam dan mengakui yang sebenarnya (Akhbaar al-Qudhaah, hlm 2/200).
Kelima, Memberikan Perlindungan Dari Serangan Musuh. Pemerintah Islam mempunyai kewajiban memberikan perlidungan terhadap ahlu zimmah dari segala gangguan musuh mereka. Berbagai literatur Hukum Islam, seperti Mathaalib Ulin-Nuha (2/602-603), salah satu referensi penting madzhab Hanbali, banyak menjelaskan masalah ini.
Al-Qarafy, salah seorang ulama terkemuka dalam mazhab Maliki juga mengupas masalah ini dalam kitabnya yang terkenal al-Furuq (3/14-15). Tak ketinggalan pula, Ibnu Hazm, tokoh terkemuka dalam mazhab Dzhohiriyah, mengungkapkan dalam Maratib al-Ijma’, bahwa kaum muslimin wajib memerangi musuh yang datang menyerang ahli zimmah, meskipun mereka gugur karena hal itu. Solidaritas apalagi yang melebihi pengorbanan ini?
Ketika Tartar menawan kaum muslimin dan ahlu dzimmah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menghadap penguasa Tartar untuk bernegosiasi soal tawanan. Penguasa Tartar hanya mengizinkan pembebasan kaum muslimin dan menolak untuk membebaskan ahlu zimmah. Mendengar itu, Ibnu Taimiyah balik menukas, “Kami tidak rela kecuali dengan membebaskan semua tawanan dari kalangan Yahudi dan Nashrani. Mereka di bawah perlindungan kami. Kami tidak ingin meninggalkan seorang pun untuk menjadi tawanan, muslim atau non muslim.” akhirnya, semua tawanan itu dibebaskan (Dr. Yusuf al-Qaradhawy, Ghairul Muslimin fil Mujtama’ al-Islamiy hlm 10).
Keenam, Hikmah Di Balik Penarikan Jizyah. Islam selalu dipandang sebelah mata bahkan oleh mereka yang mengaku muslim. Penyakit inferiority yang menjangkiti sebagian hati kaum muslimin; merasa tidak bangga dengan identitas keislamannya, diperparah dengan propaganda orang-orang kafir yang mengesankan bahwa Islam merupakan agama teroris. Dan di antara syari’at Islam yang kerap kali dipersoalkan adalah adanya penarikan jizyah ketika umat Islam berkuasa. Untuk memperkuat point kelima, dan menjawab pertanyaan apakah jizyah termasuk suatu bentuk kedzhaliman terhadap mereka yang tidak memeluk Islam, mari kita simak potongan sejarah yang indah di bawah ini…
Al-Qadhi Abu Yusuf Ya’qub bin Ibrahim, dalam kitab “Al-Kharaj”, mengisahkan bahwa Abu Ubaidah bin Jarrah, mendapat informasi bahwa Romawi telah menyatukan para tentara untuk menyerang umat Islam dengan jumlah yang sangat besar dan belum pernah terlihat sebelumnya. Kemudian, beliau memerintahkan para pemimpin di daerah Syam untuk mengembalikan jizyah serta apa saja yang mereka ambil dari Ahlul Kitab.
Instruksi itu pun dilaksanakan dengan baik oleh para pemimpin Syam, dan mereka berkata kepada Ahlul Kitab, “Kami hanya ingin mengembalikan harta-harta kalian. Karena sesungguhnya, pasukan Romawi telah melebihi jumlah kami. Dan sekarang, kami harus segera pergi. Sebab, untuk melindungi kalian, kami tak mampu lagi.”
Merasa takjub dengan kata-kata yang sangat mengharukan ini, orang-orang Ahlul Kitab berseru, “Semoga Allah mengembalikan kalian kepada kami. Dan semoga Allah menolong kalian atas mereka. Sekiranya Romawi yang memimpin kami, tidak ada satupun yang dapat mereka kembalikan setelah mereka mengambilnya dari kami. Bahkan, mereka justru mengambil semua yang kami miliki, sampai-sampai mereka tidak meninggalkan apa-apa untuk kami.”
Allahu Akbar! Sekarang terbuktilah dengan jelas bahwa ada komitmen perlindungan yang mengiringi kewajiban membayar jizyah. Inilah wujud kasih sayang umat Islam terhadap mereka yang berbeda agama. Setelah membaca fakta-fakta sejarah ini, anda masih takut dan ragu jika Islam memimpin dunia? Sungguh, siapapun yang mengkaji sejarah dengan adil dan objektif, dia akan merasa yakin, bahwa; Khilafah bukan ancaman.
Penulis : Muhammad Faishal Fadli a.k.a Ichang Stranger
Judul asli : Apakah Khilafah Ancaman?
Sumber : Kiblat
Baca Selanjutnya :Jubir HTI Nilai Rencana Pembubaran HTI Bentuk Kriminalisasi Islam
Dari pembubaran HTI ini, sangat jelas ada semacam kekhawatiran bahwa tegaknya khilafah dan penerapan syariat Islam akan berakibat pada runtuhnya eksistensi NKRI dan seakan ide khilafah tidak sejalan dengan semboyan negara, “Bhineka Tunggal Ika”. Hal ini sesungguhnya sangat asumtif dan tidak argumentatif. Sebaliknya, ketika Islam berjaya dan agama ini menjadi asas bernegara, keadilan akan tercipta tanpa mendiskriminasi mereka yang berbeda agama. Karenanya, penjelasan tentang bagaimana pemerintahan Islam menegakkan keadilan dan memenuhi hak-hak setiap warga negaranya yang tercatat dalam lembaran-lembaran sejarah, menjadi sangat urgen. Di antara bukti-bukti historis tersebut adalah:
Pertama, Perlindungan Terhadap HAM (Hak Asasi Manusia). Ini adalah salah satu pesan sentral Islam yang dilatari pandangan positifnya terhadap manusia sebagai makhluk yang dimuliakan Allah (QS al-Isra: 70). Kaum non muslim yang hidup di bawah pemerintahan Islam disebut ‘ahlu zimmah’ yang bermakna ‘penduduk yang terikat perjanjian dan perlindungan keamanan’ (Wahbah Zuhaili, al-Islam wa Ghoiru Muslimin, 60-61). Islam mengajarkan untuk menjaga perasaan mereka dan berdialog dengan baik (al-Ankabut: 46). Umat Islam juga dilarang mencela sesembahan orang kafir dan musyrik, karena hal itu membuat mereka juga mencela Allah (al-An’am: 108)
Perbedaan akidah tidak boleh membuat umat Islam harus mengebiri hak-hak kemanusiannya, selama mereka tidak melakukan kejahatan dan maker terhadap kaum muslimin. Suatu ketika, seperti diriwayatkan Amir bin Rabi’ah, sebuah iringan jenazah Yahudi lewat didepan Rasulullah saw dan beliau tetap berdiri. Ketika ditanyaka, beliau menjawab, “Bukankah dia seorang manusia,” (HR Bukhari 2/86). Lain lagi, ketika gubenur Mesir Amr bin Ash mencambuk seorang Qibthiy Nashrani tanpa sebab, Umar ra menghukumnya dengan balasan cambukan. Saat itu, keluarlah ucapan beliu yang terkenal, “Wahai Amr, sejak kapan kamu memperbudak manusia, padahal mereka dilahirkan oleh ibu-ibu mereka dalam keadaan merdeka?”
Kedua, Menjaga Kebebasan berkeyakinan. Tak ada paksaan dalam memeluk Islam (al-Baqarah: 256). Pemaksaan keyakinan bertentangan dengan prinsip kejujuran dan ketulusan dalam berakidah yang diajarkan Islam, dan hanya kan melahirkan kemunafikan yang justru membawa kerusakan yang lebih parah. Ketika akan memerangi orang-orang kafir, sejarah membuktikan, Umar bin Khaththab pernah menetapkan undang-undang perlindungan terhadap kaum Nashrani Palestina. Di antara butir-butirnya, seperti yang tercantum dalam Tarikh Thobari (3/159) adalah; memberikan keamanan terhadap jiwa dan harta mereka, gereja tidak boleh dijadikan tempat tinggal, tidak boleh dirusak apalagi dihancurkan, tidak memaksa mereka masuk Islam dll. Dalam sejarah manusia, tak pernah ada satu pun agama yang memberikan toleransi sebesar ini. Hal ini diakui cendekiawan Barat yang jujur seperti Gustave Lebon, Rubstein, Sir Thomas Arnold, dll.
Ketiga, Kebebasan Menjalankan Agama Mereka. Islam tidak pernah memaksa non muslim untuk menjalankan syariat Islam. Mereka, misalnya, tidak diwajibkan shalat, shoum ramadahan, membayar zakat, juga berjihad (al-Aqalliyaat Diniyah wal Hall al-Islamiy hlm 13-19). Islam juga memberikan toleransi untuk menjalankan kehidupan pribadi sesuai dengan syariat mereka seperti thalaq, waris, dsb. Yang diwajibkan atas mereka hanyalah membayar ‘pajak materil’ (jizyah) yang jumlahnya sangat kecil apabila dibandingkan dengan perlindungan dan kebebasan yang mereka peroleh.
Keempat, Menjunjung Tingggi Keadilan. Islam sangat menjunjung tinggi keadilan dan menentang kezaliman dalam segala bentuknya. Dalam Islam, keadilan harus ditegakkan meskipun hal itu akan berakibat pahit bagi orang-orang yang menegakkannya atau terhadap keluarganya. Allah berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang-orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu.” (an-Nisa’: 135).
Sejarah bertutur, bahwa Khalifah Ali bin Abi Thalib ra kalah melawan seorang Yahudi di hadapan Hakim Syuraih bin Harits al-Kindiy dalam kasus kepemilikan baju besi yang sebenarnya memang milik Sayyidina Ali, namun karena saksi yang beliau hadirkan adalah anak kandungnya sendiri, maka sang hakim memenangkan orang Yahudi. Melihat penegakkan hukum yang super adil ini, orang Yahudi tersebut memeluk Islam dan mengakui yang sebenarnya (Akhbaar al-Qudhaah, hlm 2/200).
Kelima, Memberikan Perlindungan Dari Serangan Musuh. Pemerintah Islam mempunyai kewajiban memberikan perlidungan terhadap ahlu zimmah dari segala gangguan musuh mereka. Berbagai literatur Hukum Islam, seperti Mathaalib Ulin-Nuha (2/602-603), salah satu referensi penting madzhab Hanbali, banyak menjelaskan masalah ini.
Al-Qarafy, salah seorang ulama terkemuka dalam mazhab Maliki juga mengupas masalah ini dalam kitabnya yang terkenal al-Furuq (3/14-15). Tak ketinggalan pula, Ibnu Hazm, tokoh terkemuka dalam mazhab Dzhohiriyah, mengungkapkan dalam Maratib al-Ijma’, bahwa kaum muslimin wajib memerangi musuh yang datang menyerang ahli zimmah, meskipun mereka gugur karena hal itu. Solidaritas apalagi yang melebihi pengorbanan ini?
Ketika Tartar menawan kaum muslimin dan ahlu dzimmah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menghadap penguasa Tartar untuk bernegosiasi soal tawanan. Penguasa Tartar hanya mengizinkan pembebasan kaum muslimin dan menolak untuk membebaskan ahlu zimmah. Mendengar itu, Ibnu Taimiyah balik menukas, “Kami tidak rela kecuali dengan membebaskan semua tawanan dari kalangan Yahudi dan Nashrani. Mereka di bawah perlindungan kami. Kami tidak ingin meninggalkan seorang pun untuk menjadi tawanan, muslim atau non muslim.” akhirnya, semua tawanan itu dibebaskan (Dr. Yusuf al-Qaradhawy, Ghairul Muslimin fil Mujtama’ al-Islamiy hlm 10).
Keenam, Hikmah Di Balik Penarikan Jizyah. Islam selalu dipandang sebelah mata bahkan oleh mereka yang mengaku muslim. Penyakit inferiority yang menjangkiti sebagian hati kaum muslimin; merasa tidak bangga dengan identitas keislamannya, diperparah dengan propaganda orang-orang kafir yang mengesankan bahwa Islam merupakan agama teroris. Dan di antara syari’at Islam yang kerap kali dipersoalkan adalah adanya penarikan jizyah ketika umat Islam berkuasa. Untuk memperkuat point kelima, dan menjawab pertanyaan apakah jizyah termasuk suatu bentuk kedzhaliman terhadap mereka yang tidak memeluk Islam, mari kita simak potongan sejarah yang indah di bawah ini…
Al-Qadhi Abu Yusuf Ya’qub bin Ibrahim, dalam kitab “Al-Kharaj”, mengisahkan bahwa Abu Ubaidah bin Jarrah, mendapat informasi bahwa Romawi telah menyatukan para tentara untuk menyerang umat Islam dengan jumlah yang sangat besar dan belum pernah terlihat sebelumnya. Kemudian, beliau memerintahkan para pemimpin di daerah Syam untuk mengembalikan jizyah serta apa saja yang mereka ambil dari Ahlul Kitab.
Instruksi itu pun dilaksanakan dengan baik oleh para pemimpin Syam, dan mereka berkata kepada Ahlul Kitab, “Kami hanya ingin mengembalikan harta-harta kalian. Karena sesungguhnya, pasukan Romawi telah melebihi jumlah kami. Dan sekarang, kami harus segera pergi. Sebab, untuk melindungi kalian, kami tak mampu lagi.”
Merasa takjub dengan kata-kata yang sangat mengharukan ini, orang-orang Ahlul Kitab berseru, “Semoga Allah mengembalikan kalian kepada kami. Dan semoga Allah menolong kalian atas mereka. Sekiranya Romawi yang memimpin kami, tidak ada satupun yang dapat mereka kembalikan setelah mereka mengambilnya dari kami. Bahkan, mereka justru mengambil semua yang kami miliki, sampai-sampai mereka tidak meninggalkan apa-apa untuk kami.”
Allahu Akbar! Sekarang terbuktilah dengan jelas bahwa ada komitmen perlindungan yang mengiringi kewajiban membayar jizyah. Inilah wujud kasih sayang umat Islam terhadap mereka yang berbeda agama. Setelah membaca fakta-fakta sejarah ini, anda masih takut dan ragu jika Islam memimpin dunia? Sungguh, siapapun yang mengkaji sejarah dengan adil dan objektif, dia akan merasa yakin, bahwa; Khilafah bukan ancaman.
Penulis : Muhammad Faishal Fadli a.k.a Ichang Stranger
Judul asli : Apakah Khilafah Ancaman?
Sumber : Kiblat
Baca Selanjutnya :Jubir HTI Nilai Rencana Pembubaran HTI Bentuk Kriminalisasi Islam