Terkadang saya berpikir tentang Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kancah percaturan dunia di masa beliau hidup. Sejak beliau mendirikan gerakan tahun 1953 sampai beliau meninggal tahun 70-an. Siapa sih beliau?
Ketika itu banyak sekali para pemikir besar dan pemimpin besar. Pemikiran Karl Marx dipuja di 40 % belahan dunia. Pemikiran John Maynard Keyness dianggap sebagai penyelamat negara-negara Barat yang pernah hampir sekarat pasca World War I. Presiden Kennedy begitu populer di seluruh dunia. Bung Karno menjadi pemimpin favorit yang tampil begitu menawan dan digemari di hampir seluruh belahan dunia ketiga serta menggaungkan tata dunia baru pada tahun 1960 di sidang PBB. Nikita Krushcev, pemimpin Uni Soviet, bersama Mao Zedong, pemimpin China, menjadi dua kekuatan yang bersuara garang menantang Amerika. Che Guevara menjadi idola remaja untuk menyuarakan sosialisme khas Amerika Latin yang akhirnya didukung sebagian pihak Katholik dengan teori teologi pembebasannya.
Siapa sih Taqiyuddin an-Nabhani? Yang bekerja dalam diam, memimpin teman-teman gerakannya dan menulis beberapa buku.
Mungkin masih kalah beken dibanding Buya Muhammad Natsir, yang sempat jadi perdana menteri Indonesia. Kalah beken juga dibanding Buya Hamka. Atau jika dibandingkan dengan banyak ulama Al-Azhar yang dikenal luas. Atau dibandingkan dengan uskup-uskup terkenal di beberapa negara, apalagi paus di Roma.
Siapa sih Taqiyuddin an-Nabhani? Yang berjuang di negara yang sangat kecil, Yordania, yang luasnya mungkin lebih kecil dibanding Jawa Tengah. Itupun negara yang senantiasa jadi perebutan pengaruh antara Inggris dan Perancis.
Namun kita mungkin akan bisa merasakan arti penting perjuangan Taqiyuddin an-Nabhani, jika kita bisa memahami arti penting perjuangan H.O.S Tjokroaminito, the grand master dari NKRI, yang hasil pemikiran beliau pada akhirnya berakhir dengan sangat menyedihkan.
*****
Baik Syaikh Taqiyuddin maupun Pak Tjokro, tampaknya adalah penanggap yang sangat serius akan kapitalisme yang menjajah dunia saat itu dan sosialisme/komunisme yang saat itu tengah populer sebagai perlawanan atas kapitalisme.
Pak Tjokro mengarang buku sosial ekonomi yang menyuarakan pemerataan, menghimpun beberapa murid, dan menjadi penyambung lidah rakyat. Suaranya bergema ke seluruh Nusantara. Belanda sangat memperhitungkan beliau. Murid-murid beliau menggebrak Indonesia: Bung Karno jadi presiden. Musso menjadi pemberontak terhadap Bung Karno. Kartosoewirjo juga jadi pemberontak. Satunya ke luar negeri, tapi spektakuler juga. Semaoen hidup di Uni Soviet dan menjadi perancang atas kota-kota di Asia Tengah. NKRI berdiri dan menjadi negara baru yang sangat popular di dunia. Dan Pak Tjokro, bagaimanapun adalah salah satu guru bangsa utama, selain KH. Hasyim Asyari, KH. Ahmad Dahlan, A. Hassan dan beberapa pemikir lainnya.
Indonesia di masa murid beliau, Bung Karno, begitu populer. Menjadi pemimpin negara-negara non blok. Menjadi penyelenggara Konferensia Asia Afrika. Menjadi ketua NEFO. Dan menjadi kekuatan yang sangat diperhitungkan Barat.
Namun sebenarnya, ada hal yang sangat menyedihkan dari implementasi pemikiran beliau. Di zaman Bung Karno, mungkin hanya tinggal 2/3 nya. Di zaman Pak Harto, mungkin tinggal 1/3-nya. Dan di masa sekarang (zaman reformasi) tampaknya sudah lenyap. Indonesia ditelan penjajahan gaya baru. Jika dulu Mataram dicaplok sebuah VOC, sekarang NKRI dicaplok puluhan “VOC baru”. NKRI terjerat hutang dan setiap kesulitan bayar, tiba-tiba harus menurunkan mata uangnya, yang artinya hutangnya dalam rupiah jadi membengkak (sementara rakyat mencari duit dalam rupiah). Pembangunan di mana-mana. Tetapi itu karena asing sengaja memberi hutang. Bayangkan: jika hutang 10 trilyun saja, dalam waktu 8 tahun sudah menjadi 20 trilyun, sementara 10 trilyun yang diterima bersih mungkin tinggal 6 trilyun, karena sebagian telah dipakai membayar tenaga asing, bahan baku asing, konsultan asing dan segala hal asing yang berasal dari pihak kreditur asing tersebut.
Mengapa begini?
Kalau kita lacak lebih jauh, tampaknya bisa kita pahami bahwa Indonesia sekarang terjajah karena ketika didirikan sebenarnya sudah terlepas dari sebagian pemikiran Pak Tjokro dan terjerat intervensi asing.
Coba kita bayangkan. Bung Karno, Bung Hatta, dll, bisakah menjadi tokoh utama jika saat itu Jepang tidak mengambil alih Indonesia dan yang memerintah Indonesia tetaplah raja-raja lokal feodal yang menjadi pelanggan setia wara laba politik Belanda dan siap menciduk siapa saja yang anti Belanda. Dan bisakah lahir PETA, jika tidak datang Jepang menggantikan Belanda yang memakai tentara bayaran dari rakyat nusantara untuk menggempur Aceh. Artinya para pemimpin sipil dan militer Indonesia memang tak lepas dari sentuhan Jepang.
Saya tidak ingin protes di sini. Karena tak lepas dari sentuhan Jepang bukan berarti antek Jepang. Tapi saya hanya ingin mengangkat pada fakta lain: Bayangkan, sentuhan Jepang itu hanya 3 ½ tahun. Tapi mengapa setelah itu Indonesia menjadi negara yang kuat, cukup berpengaruh, dan wilayahnya luas.
Nabi Muhammad saw dan para sahabat mencapai semua itu butuh waktu 35 tahun (Rasulullah 13 tahun di Mekah, 10 tahun di Madinah, Abu Bakar 2 tahun, Umar bin Khaththab 10 tahun). Tetapi Indonesia hanya dari tahun 1942 (saat Jepang datang) sudah mencapai prestasi itu tahun 1955 (KAA), alias hanya 13 tahun. Bedanya, negara khilafah makin membesar setelah itu. NKRI makin lama makin merosot.
Kalau kita cermati, membesarnya Indonesia itu sebenarnya sangat tidak alamiah. Bisakah Amerika Serikat, Jepang, dan Uni Soviet sama-sama menerima pemimpin Indonesia jika yang dipilih rakyat adalah Pak Dirman, Buya Natsir, atau Kartosoewirjo, misalnya? Saya yakin, jawabannya: tidak.
Bung Karno bisa memerintah karena ketiga pihak tadi merestui. Tak beda dengan masa Jokowi sekarang di mana AS, Eropa, dan China merestui. Memang masih ada yang alamiah, yaitu: jika dulu rakyat Indonesia sengsara, maka secara alamiah butuh pemimpin yang “cemlorot”, sementara Indonesia sekarang penuh dengan kemewahan pejabat dan pengusaha maka rakyat butuh pemimpin yang “pating pecothot”. Bukankah begitu alamiahnya?
Bung Karno mungkin kurang menyadari asal mula beliau berkuasa. Maka beliau begitu gegap gempita menantang kaum penjajah. “Kekejero koyo manuk grambyangan, kopat kapito koyo manuk gupito….. rawe-r awe rantas, malang-malang putung.” “ Belanda kita seterika, Inggris kita linggis.” Begitu teriakan beliau.
Namun tahun 1965 Amerika Serikat telah mencabut dukungannya. Dan kita pun tahu apa yang kemudian terjadi.
Bisakah Bung Karno dikatakan sebagai murid setia Pak Tjokro dan berkuasa dengan ketaatan kepada beliau sebagaimana Lenin berkuasa dengat ketaatan kepada Karl Marx, atau Brama Kumbara bertahta dengan kesetiaan kepada kakek Astagina?
Apakah ajaran Pak Tjokro jika menyatakan tepuk tangan di atas untuk menghormat kepada pemerintahan Dai Nippon dan kesetiaan kepada Kaisar Jepang? Apakah ajaran Pak Tjokro jika menghajar Aceh yang menegakkan syariah Islam? Apakah ajaran Pak Tjokro jika tahun 1959 justru membubarkan pihak-pihak yang berupaya memperjuangkan syariat Islam?
Paling tidak, pernah terdapat surat dari dr. Tjipto Mangoenkoesoemo kepada Bung Karno, agar menjauhi pikiran-pikiran Pak Tjokro, terutama pemikiran Islamnya (Ramadhan K.H, lihat buku beliau tentang Muhammad Natsir).
Kita lihat pula Konferensi Meja Bundar tahun 1949, yang ditanda tangani Bung Hatta, yang di situ Indonesia harus menanggung hutang-hutang Belanda. Padahal itulah hutang-hutang untuk membunuh pasukan Dipoinegoro, pasukan Padri, pasukan Atjeh, dll. Artinya, kon mbayar peluru sing nggo mateni mbahne.
Saya tidak ingin protes dengan itu. Bisa jadi karena posisi terdesak. Bung Karno dan Bung Hatta pun toh tidak mau membayarnya. Tapi, dengan inilah akhirnya kekuasaan Bung Karno ditumbangkan oleh Barat.
Hal yang ingin saya sampaikan cuma satu: Apakah dengan semua itu bisa dikatakan jika berdirinya Indonesia adalah benar-benar berdiri dengan kaki sendiri.?
Umar bin Khaththab juga bahkan dibunuh oleh antek-antek Persia. Tapi negara beliau, khilafah rasyidah, sama sekali tidak goncang. Bahkan di masa khalifah Utsman bin Affan menguasai seluruh Persia !!!
Dan tak hanya Indonesia. Sebagian negara-negara dunia Islam, terutama negara-negara Arab, selama ini adalah hasil Perang Dunia I, dan sebagian dari mereka mulai bertumbangan sekarang. Entahlah, bagaimana dengan negara-negara hasil Perang Dunia II, sebagaimana Indonesia saat ini, sampai berapa lama?
Jangan kita antipati dengan kalimat “Negara-negara dunia Islam sekarang berdiri dengan sentuhan Barat”. Bukankah kita mengakui bahwa: Negara-negara di dunia Islam pada abad XIII M, berdiri sebagai hasil sentuhan Mongol.
Lalu apa yang tidak mungkin?
Seharusnya kita jujur mau mengakui bahwa: Negara-negara di dunia Islam selama ini berdiri tidak utuh sebagai hasil perenungan matang, kemandirian, dan sepenuhnya bersandar pada pertolongan Allah SWT.
Tetapi: Negara-negara transisi yang masih tak lepas dari sentuhan penjajahan.
Masih banyak intervensi asing di sana. Masih banyak pengkhianatan atas para guru bangsa di sana. Masih banyak ledakan-ledakan perasaan atau euphoria yang sebenarnya kurang didukung kesadaran akan kekuatan sendiri.
Sobat, saya tidak ingin menyalahkan siapa-siapa di sini. Sudahlah, itu masa lalu. Kita bicara masa depan.
Saya hanya ingin mengajak kita berpikir: Jika umat Islam dan bangsa China pada abad XIV, pasca meninggalnya Kubilai Khan (sekaligus tamatnya Kekaisaran Mongol Eurasia), kemudian melakukan penataan ulang, untuk membangun negara-negara baru yang merdeka penuh dan mencerminkan jati diri peradaban mereka yang sesunggguhnya, mengapa kita tidak mencoba melakukan hal yang sama?
Di sinilah sebenarnya kita bisa mencoba menoleh kepada sosok yang berjuang dalam diam tadi. Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani.
Beliau sebenarnya sosok unik. Dituduh sebagai penggemar Karl Marx. Saya tidak ingin mengatakan tuduhan itu pasti salah. Tapi lihat dulu konteksnya.
Jika Karl Marx membuat banyak buku, kemudian Syaikh Taqi juga membuat banyak buku, apa itu berarti sikap murid meneladani guru. Mengapa kita tidak mencoba memikirkan alternatif lain: menempatkan Karl Marx sebagai pesaing. Coba kita berpikir begini: Karl Marx mau berpikir serius sekali, sampai membuat serial buku yang sistematis, mengapa sih dari umat Islam tidak mencoba membuat yang setingkat demikian?
Saat itu ada buku-buku tentang fikih-fikih ekonomi, fikih-fikih politik,, fikih-fikih perdagangan. Tapi yang dibutuhkan ketika arus pemikiran kapitalis dan komunis masuk dengan ratusan buku-buku yang sangat sistematis, bagaimanapun adalah buku-buku yang sangat sistematis sebagai satu rangkaian pemikiran. Maka tidak wajarkah beliau kemudian membuat buku tentang : Sistem Ekonomi Islam, Sistem Politik Islam, Sistem Sosial Islam, dll.
Pak Tjokro dulu juga mencoba membuat buku-buku yang tampaknya juga terisnprirasi kreativitas orang-orang Barat maupun komunis. Toh kita justru mengagumi atas semangat beliau itu. Sekali lagi, itu pesaing, bukan guru!
*****
Pak Tjokro begitu berjasa! Tapi sayang, abad XX, abad transisi (dari penjajahan lama ke penjajahan baru), membuyarkan impian beliau. Penjajah masih begitu ganas. Di sinilah kita perlu menata ulang gerakan kita, mengumpulkan sisa-sisa optimisme yang masih ada, dan menggerakkannya dalam sketsa pemikiran yang lebih terdesain, terintegrasi, dan menginspirasi.
Menjadi hal yang sepatutnya jika kita menengok pada Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani. Semoga ini bisa membantu kita melakukan perbaikan dunia jilid berikutmya. Sebagaimana umat Islam pada abad XIV kembali bangkit di bawah pimpinan kaum Utsmani: visinya tak sekedar bebas dari Mongol, tetapi kembali pada fitrah Islam, yaitu mengemban dakwah ke seluruh dunia.
Bahwa Syaikh Taqiyuddin dulu “tak terlalu nampak”, dan berasal dari negara kecil, apa perlunya kita masalahkan. Bukankah Machiavelli berasal dari Venesia, yang saat itu negara kecil dan tak terlalu dianggap, itupun dia hanyalah penasehat seorang pangeran yang ikut bertikai, bukan penasehat penguasa. Tetapi bahkan dia lebih dikenal di masa kita sekarang dibanding penguasa dunia zaman itu, Khalifah Sulaiman Al-Qanuni (yang kita kenal justru secara salah, itupun lewat sinetron Abad Kejayaan). Kita sekarang juga kenal Bethoven. Siapa sih dia? Dia dari Jerman! Kata banyak orang. Padahal saat itu Jerman belum ada. Yang ada hanyalah ratusan kadipaten kecil yang berebut pengaruh di daerah yang sekarang dikenal sebagai Jerman.
Siapa Muhammad bin Abdillah, Umar bin Khaththab, Khalid bin Walid, dalam kacamata masyarakat dunia abad VII M, sebelum malaikat Jibril datang ke Gua Hira' ?
Fitrah Islam bukanlah sekedar sebagai pewarna. Tetapi untuk dijalankan dalam implementasi syariah, dakwah, dan jihad. Sebagaimana umat Islam penuh optimis setelah bebas dari Mongol dan terpimpin oleh Utsmani dalam nagara adikuasa, khilafah Islamiyah.