Lukman Noerochim, ST, MSc.Eng, Ph.D
Forum Kajian Kebijakan Energi - (FORKEI)
Utang pemerintah yang mendekati Rp 4000 triliun (T), atau sekitar 75% dari total aset yang dimiliki negara. Bila kita cermati berdasarkan data utang tahun 2016 dari Kementerian Keuangan, total kewajiban pemerintah pada 2016 sebesar Rp 713.8 T. Kewajiban tersebut dipenuhi dengan penarikan utang baru yang berasal dari: (1) penerbitan SBN baru Rp 611.4 T, (2) penarikan pinjaman luar negeri Rp 73 T, (3) penarikan utang dalam negeri Rp 3,7 T serta penarikan non utang Rp 25.7 T.
Terkait kewajiban pemerintah tersebut digunakan untuk: (1) pembiayaan defisit sebesar Rp 296.7 T (sudah termasuk untuk pembayaran bunga utang sebesar Rp 182.8 T), (2) pembayaran cicilan pokok utang sebesar Rp 316.5 T, (3) pembayaran non utang Rp 100.5 T. Dari Rp 713.8 T penarikan utang baru tersebut, yang digunakan untuk ekspansi ekonomi hanya sebesar Rp 113.9 T (Rp 296.7 T - Rp 182.8 T), sedangkan sisanya sebesar Rp 600 T digunakan untuk membayar cicilan pokok utang, cicilan bunga dan kewajiban non utang (Rp 316.5 T + Rp 182.8 T + Rp 100.5 T).
Walaupun APBN terus meningkat tiap tahun, PDB juga naik pesat, perekonomian tumbuh tiap tahun, pendapatan per kapita juga naik tiap tahun, tapi tidak diikuti dengan peningkatan kesejahteraan rakyat yang signifikan. Jumlah rakyat miskin juga nyaris tidak berkurang. Ini mengindikasikan ada kesalahan besar dalam APBN sehingga APBN yang sebagian besar penerimaannya berasal dari pajak yang dibayar oleh rakyat tapi tidak memberikan kontribusi nyata meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Kesalahan mendasar yang terus terjadi adalah penyusunan APBN dilakukan bersumber dari sistem ekonomi kapitalisme liberal. Dalam konteks APBN, kekeliruan Paradigma tercermin dalam 2 hal yaitu; Pertama, dianutnya Konsep Anggaran Berimbang atau Defisit; dan kedua, Liberalisasi Ekonomi.
Dalam konsep anggaran berimbang atau anggaran defisit, utang baik utang luar negeri maupun utang dalam negeri dalam bentuk SUN (Surat Utang Negara) katanya diperlukan untuk membangun perekonomian. Utang luar negeri dari negara dan lembaga donor selama ini terbukti dijadikan alat ampuh mendekte kebijakan dan ampuh dijadikan alat penjajahan.
Utang LN negeri ini lebih banyak menguntungkan negara-negara pemberi utang. Hal ini disebabkan oleh dua hal: (a) adanya net transfer dimana yang masuk lebih kecil dibandingkan dengan yang keluar; (b) kebijakan didekte oleh negara dan lembaga donor. Paradigma keliru kedua adalah liberalisasi ekonomi. Salah satu doktrin ekonomi liberal, negara tidak boleh campur tangan langsung dalam perekonomian. Maka terjadilah privatisasi semua sektor termasuk pelayanan keapda rakyat. Privatisasi pengelolaan SDA menyebabkan SDA negeri ini dikuasai oleh swasta asing. Banyak BUMN juga diprivatisasi. Akibatnya kekayaan negeri ini lebih banyak dinikmati oleh asing.
Utang menempati peran penting dalam Demokrasi dan Kapitalisme. Kalau kita telaah lebih mendalam, ideologi demokrasi dengan kapitalisme sebagai basis kekuatan yang dikembangkan dunia terutama amerika, eropa dan negara-negara maju, punya pengaruh yang kuat terhadap utang ini. Karena dalam alam demokasi, utang telah menempati peran penting melalui mekanisme ekonomi kapitalis. Padahal tanpa terasa didalamnya mengandung riba karena adanya perhitungan time value of money.
Abdurrahman al-Maliki (Politik Ekonomi Islam: 2000) mengungkap lima bahaya besar yang jelas-jelas tampak di depan mata yakni; sesungguhnya utang luar negeri untuk pendanaan proyek-proyek milik negara adalah hal yang berbahaya terutama terhadap eksistensi negara itu sendiri. Akibat lebih jauh adalah membuat masyarakat negara tersebut makin menderita karena ini adalah jalan untuk menjajah suatu negara. Seperti yang kita pahami bahwa Mesir dijajah Inggris melalui jalur utang, begitu pula Tunisia di cengkram Perancis melalui jalur yang sama yaitu utang.
Kedua, sebelum hutang diberikan, negara-negara donor harus mengetahui kapasitas dan kapabilitas sebuah negara yang berutang dengan cara mengirimkan pakar-pakar ekonominya untuk memata-matai rahasia kekuatan/kelemahan ekonomi negara tersebut dengan dalih bantuan konsultan teknis atau konsultan ekonomi. Saat ini di Indonesia, sejumlah pakar dan tim pengawas dari IMF telah ditempatkan pada hampir semua lembaga pemerintah yang terkait dengan isi perjanjian Letter of Intent (LoI).
Ini jelas berbahaya, karena berarti rahasia kekuatan dan kelemahan ekonomi Indonesia akan menjadi terkuak dan sekaligus dapat dijadikan sebagai dasar penyusunan berbagai persyaratan (conditionalities) pemberian pinjaman yang sangat mencekik leher rakyat melarat seperti pemotongan subsidi bahan pangan, pupuk, dan BBM yang akhirnya hanya menguntungkan pihak negara-negara donor sementara Indonesia hanya dapat gigit jari saja menelan kepahitan ekonomi.
Ketiga, pemberian utang adalah sebuah proses agar negara peminjam tetap miskin, tergantung dan terjerat utang yang makin bertumpuk-tumpuk dari waktu ke waktu. Keempat, utang luar negeri yang diberikan pada dasarnya merupakan senjata politik negara-negara kapitalis kafir Barat kepada negara-negara lain, yang kebanyakan negeri-negeri muslim, untuk memaksakan kebijakan politik, ekonomi, terhadap kaum muslimin.
Tujuan mereka memberi utang bukanlah untuk membantu negara lain, melainkan untuk kemaslahatan, keuntungan, dan eksistensi mereka sendiri.
Mereka menjadikan negara-negara pengutang sebagai alat sekaligus ajang untuk mencapai kepentingan mereka. Dokumen-dokumen resmi AS telah mengungkapkan bahwa tujuan bantuan luar negeri AS adalah untuk mengamankan kepentingan AS itu sendiri dan mengamankan kepentingan “Dunia Bebas” (negara-negara kapitalis).
Jadi, tujuan pemberian bantuan luar negeri tersebut sebenarnya bukan untuk membantu negara-negara yang terbelakang, melainkan untuk menjaga keamanan Amerika dan negara-negara kapitalis lainnya.
Kelima, utang luar negeri sebenarnya sangat melemahkan dan membahayakan sektor keuangan (moneter) negara pengutang. Utang jangka pendek, berbahaya karena akan dapat memukul mata uang domestik dan akhirnya akan dapat memicu kekacauan ekonomi dan keresahan sosial. Untuk utang jangka panjang, juga berbahaya karena makin lama jumlahnya semakin mencengkram, yang akhirnya akan dapat melemahkan anggaran belanja negara dan membuatnya makin kesulitan dan terpuruk atas utang-utangnya. Disitulah negara-negara donor makin memaksakan kehendak dan kebijakannya yang sangat merugikan kepada negara.
Walhasil, utang luar negeri dalam perengkap system kapitalistik jelas membahayakan Negara pengutang. Sudah saatnya Indonesia berdikari, mengelola semua sumber daya alam (SDA) yang dimiliki untuk kemakmuran rakyat bukan mengandalkan dari utang luar negeri yang notabene bisa menghancurkan negara ini, dan jika kita bisa memanfaatkan dengan maksimal segala potensi sumber daya, Indonesia mampu menjadi Negara yang kuat secara ekonomi tanpa utang dari luar negeri.[]
from Pojok Aktivis

