-->

Student Loan, Solusi atau Masalah?

Silahkan Bagikan Jika Bermanfaat
Advertisemen

Oleh: Fadiana, S.Si, M.Pd - Dosen Tetap di Universitas PGRI Ronggolawe Tuban

Baru-baru ini Presiden Indonesia, Joko Widodo (Jokowi) mengusulkan agar perbankan mengucurkan dana kredit pendidikan. Jokowi melontarkan ide ini dalam rapat terbatas yang membahas soal “Peningkatan Sumber Daya Manusia Indonesia” di Kantor Presiden, Kamis (15/3/2018). “Dalam pertemuan dengan perbankan nasional, saya juga sudah menantang perbankan kita untuk mengeluarkan produk kredit pendidikan atau kalau di Amerika biasa dinamakan 'student loan',” kata Jokowi. Presiden menuturkan, perbankan di Amerika mengeluarkan jumlah kredit pendidikan lebih besar dari total pinjaman bagi kartu kredit. 

Motif yang mendasari presiden mengeluarkan gagasan demikian adalah mencontoh perbankan di Amerika serikat. Di Amerika Serikat, per Januari 2018, total utang kredit pendidikan sekitar 44 juta mahasiswa AS mencapai $1,48 triliun. Nilainya lebih banyak $620 juta dari total pinjaman kartu kredit. Washington Post menyebut angkanya jadi dua kali lipat sejak resesi melanda Paman Sam satu dekade silam. 

Dengan dalih untuk menunjang peningkatan SDM Indonesia, presiden ‘menantang’ pihak perbankan untuk mengeluarkan ‘produk baru’, yaitu kredit pendidikan (student loan). Harapannya agar pinjaman yang dikeluarkan oleh bank tidak hanya membiayai hasrat konsumtif saja, namun bisa lebih dimanfaatkan untuk membiayai peningkatan kualitas SDM bangsa kita, agar semua rakyat bisa mengakses pendidikan tinggi meskipun dari biaya kredit bank.

Presiden juga berharap, rumusan kebijakan peningkatan kualitas SDM melalui pendidikan dapat rampung pada akhir Maret 2018. “Sehingga betul-betul ada sebuah perubahan besar dari infrastruktur, investasi di bidang infrastruktur, kemudian masuk ke pekerjaan besar yang berikutnya yaitu investasi di bidang sumber daya manusia,” kata Jokowi.

Meskipun baru tataran gagasan, namun tantangan presiden ini sudah mendapat tanggapan dari pihak perbankan. Seolah mendapat angin segar di tengah terik matahari yang menyengat, pihak perbankan mulai mengkaji gagasan tersebut. Mereka mulai mempelajari mekanisme, manajemen resiko dan sebagainya bila program student loan ini akan diluncurkan.

Hasil Berpikir Instan

Gagasan Bapak Presiden tentang kredit pendidikan dinilai banyak pengamat pendidikan maupun pengamat ekonomi sebagai gagasan yang serampangan, hasil berpikir instan, lahir dari asumsi yang salah dan tidak memperhatikan akar masalah yang sebenarnya. Ada kekhawatiran mahasiswa gagal membayar hutang. Karena tidak semua alumni mendapatkan pekerjaan dengan gaji besar, sehingga mampu membayar hutangnya pada Bank.

Besarnya nilai pinjaman ditambah dengan bunga pinjaman tentu nilai yang besar dan memberatkan alumni yang baru pertama kali memasuki dunia kerja. Tidak semua alumni yang baru saja lulus berpenghasilan yang besar. Memang ada beberapa alumni yang ketika lulus kuliah mempunyai gaji lebih dari 5 juta. Namun, ada banyak alumni yang gajinya tak cukup untuk membayar hutang. Boro-boro untuk membayar hutang, untuk makan sehari-hari saja tidak cukup. Sarjana pendidikan misalnya, GTT (Guru Tidak Tetap) ada yang gajinya 350 ribu/bulan. Bahkan guru TK gajinya 200 ribu/bulan dan tragisnya diterimakan ketika dana BOS cair. Bila seorang sarjana pendidikan bergaji 200 ribu/bulan, cukupkah untuk membayar hutangnya di Bank?  

Harus disadari oleh pemerintah, bahwa yang ingin masuk ke perguruan tinggi tidak semuanya berasal dari kelas menengah yang tersentuh akses perbankan, sehingga mampu meminjam uang dalam bentuk kredit pendidikan, serta punya kemampuan untuk melunasinya. Dalam perspektif kelas, kebijakan kredit pendidikan (student loan) yang awalnya ditujukan agar kuliah juga bisa dinikmati oleh kalangan ekonomi kelas bawah, dengan spirit pemerataan pendidikan, justru banyak analis yang memperkirakan bahwa student loan plus total utangnya yang terus membengkak dapat menciptakan kesenjangan kekayaan dan membuat jurang kelas semakin tajam.

Bila gagasan student loan muncul karena mencontoh Amerika, maka ketidakberhasilan program student loan juga bisa kita lihat di Amerika. Di Amerika Serikat, program student loan sukses membuat para sarjana harus menanggung utang dan tidak sedikit yang gagal melunasinya. Sebagaimana yang dikutip oleh The Wall Street Journal tentang studi yang dirilis Brookings Institute menemukan bahwa mereka yang telah lulus sejak 2010 sebagian besar gagal melunasi utang pinjaman mereka selama empat tahun. 

Persoalan ini pun menjadi sorotan bank sentral AS. Seperti dilansir CNBC, Gubernur Bank Sentral AS, Federal Reserve (The Fed), Jerome Powell mengatakan, pinjaman student loan di Amerika menyebabkan pada lambatnya pertumbuhan ekonomi. Hal ini bahkan menjadi pembahasan utama Kongres AS yang coba menemukan penyelesaiannya. Powell menyoroti kenyataan masih ada orang-orang yang belum melunasi tagihan mereka sehingga mempengaruhi stabilitas ekonomi yang bersangkutan dan stabilitas ekonomi negara.

Menteri Riset, Teknologi dan Perguruan Tinggi, M Nasir, juga mengakui soal risiko dari student loan. Beliau menceritakan program pemberian kredit yang sama pada 1985. Saat itu, rata-rata penerima Kredit Mahasiswa Indonesia (KMI) pada tidak bayar.  “Tapi apa yang terjadi pada kasus periode saya, itu rata-rata pada tidak membayar semua. Nanti ijazahnya ditahan, tapi ternyata mereka tidak butuh ijazahnya, tapi hanya butuh fotokopi ijazah yang dilegalisir,” kata Nasir usai rapat terbatas mengenai Peningkatan Sumber Daya Manusia Indonesia dengan Presiden Jokowi, seperti dikutip Antara.

Menambah Masalah Baru

Amerika telah membuktikan bahwa adanya student loan, tidak mampu memenuhi harapan untuk meningkatkan akses warna negara terhadap pendidikan tinggi. Student loan telah menciptakan masalah baru, yaitu menambah beban ekonomi negara yang disebabkan oleh ketidakmampuan para alumni untuk mengembalikan pinjaman plus bunganya. Juga menciptakan perbedaan kelas yang semakin menajam antara si kaya dan si miskin. 

Adanya program student loan juga dikhawatirkan menjadi sarana mendidik budaya berhutang pada bank bagi mahasiswa. Serendah apapun bunga yang ditetapkan oleh bank nantinya, pinjaman berbunga tetaplah merupakan aktivitas ribawi. Alqur’an telah menjelaskan secara jelas berkaitan dengan haramnya riba “Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. (Al-Baqarah: 275).

Rasululloh SAW dalam sabdanya yang artinya: “Allah melaknat orang yang memakan riba, yang memberi makan dengannya, kedua saksinya, dan penulisnya, lalu beliau bersabda, “mereka semua itu adalah sama“. (HR. Muslim). 

Lulus kuliah lalu mendapat pekerjaan tanpa menanggung hutang bank pastilah lebih berkah dan bahagia daripada lulus kuliah dengan terus dibayangi beban membayar hutang di bank, meskipun bergaji besar.

Selain kekhawatiran mendidik budaya berhutang bagi mahasiswa, student loan juga dikhawatirkan menjadi ‘alat’ bagi pemerintah untuk mengurangi tanggung jawabnya sebagai penyedia, pengurus, dan penjamin bagi semua rakyat agar bisa mengakses pendidikan. Pendidikan adalah hak dasar bagi semua rakyat. Pendidikan adalah hak kolektif rakyat yang wajib dipenuhi oleh negara. Negara adalah satu-satunya pihak yang berkewajiban untuk memenuhi hak atas pendidikan bagi warga negra, tidak bisa melimpahkan pada lembaga perbankan maupun swasta. Sebagaimana amanat UUD 1945, mencerdaskan kehidupan bangsa adalah salah satu tujuan negara. 

Biaya Pendidikan Tinggi yang terjangkau dan Beasiswa

Sebenarnya, untuk meningkatkan akses setiap warna negara terhadap pendidikan tinggi sekaligus untuk meningkatkan kualitas SDM bangsa bukan dengan jalan memberikan pinjaman berbunga yang disediakan oleh pihak perbankan. Karena bank senantiasa mengedepankan profit oriented. Lalu bagaimana solusinya agar akses warna negara terhadap pendidikan tinggi semakin luas?

Cara yang bisa dilakukan oleh negara adalah dengan membuat regulasi tentang biaya pendidikan di perguruan tinggi dan memberikan hibah pada perguruan tinggi. Mahalnya biaya pendidikan di perguruan tinggi menyebabkan hanya kalangan masyarakat tertentu saja yang dapat mengenyam bangku kuliah. Oleh karenanya, regulasi dari negara tentang hal ini harus ada. Memang bukan persoalan mudah bagi kampus untuk menarik biaya pendidikan dari mahasiswa dengan murah. Karena seperti diketahui bersama bahwa operasional untuk penyelenggaraan pendidikan tinggi besar dananya. Juga untuk perbaikan atau pengadaan  infrastruktur kampus membutuhkan dana yang tidak sedikit pula. Oleh karena itu, pemerintah perlu meningkatkan lagi pemberian dana hibah bagi perguruan tinggi, untuk meningkat mutu ‘hardware’ maupun ‘software’ kampus. 

Selain regulasi biaya pendidikan tinggi, pemerintah juga berkewajiban untuk memenuhi hak mahasiswa yang kurang mampu secara ekonomi. Bukan sebaliknya, pemerintah malah ‘seolah-olah’ melempar tanggungjawab pada lembaga perbankan. 

Pemerintah adalah satu-satunya pihak yang berwenang dalam hal ini. Di dalam UU Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi, Pasal 76 ayat (1) menyebutkan bahwa pemerintah pusat dan daerah, serta perguruan tinggi berkewajiban memenuhi hak mahasiswa yang kurang mampu secara ekonomi. Sementara pada ayat (2) pemenuhan hak mahasiswa dilakukan dengan cara memberikan beasiswa bagi mahasiswa berprestasi, membebaskan biaya pendidikan, serta pinjaman dana tanpa bunga yang wajib dilunasi setelah lulus atau telah memperoleh pekerjaan. 

Memang selama ini pemerintah telah memberikan sejumlah beasiswa kepada siswa/mahasiswa yang kurang mampu. Beasiswa bidik misi, BPPDN, BPPLN, Beasiswa unggulan, Beasiswa LPDP dan yang lainnya sudah diberikan oleh pemerintah dalam rangka untuk meningkatkan akses rakyat terhadap pendidikan tinggi. Namun karena kuota beasiswa-beasiswa tersebut yang terbatas, maka tidak semua mahasiswa yang kurang mampu secara ekonomi bisa mendapatkan. Oleh karena itu, memperbesar kuota beasiswa agar beasiswa yang diberikan bisa tepat tujuan, tepat sasaran dan tepat pengelolaan perlu diperhatikan lagi oleh pemerintah. 

Menyadari perannya sebagai penyedia, pengatur, dan penjamin hak rakyat atas akses pendidikan tinggi yang berkualitas, tentu tidak akan mudah bagi pemerintah untuk mengalihkan tanggung jawab tersebut pada pihak lain. Hubungan antara negara dan rakyat bukanlah hubungan dagang antara penjual dan pembeli, yang senantiasa menghitung untung rugi. Bila student loan jadi diterapkan nantinya, semoga benar-benar menjadi solusi untuk meningkatkan kualitas SDM bangsa, bukan bantuan yang memaksa mahasiswa ikut serta dalam menggenjot target pertumbuhan kredit perbankan yang selama ini dianggap lamban. [IJM]

Silahkan Bagikan Jika Bermanfaat

Disclaimer: Gambar, artikel ataupun video yang ada di web ini terkadang berasal dari berbagai sumber media lain. Hak Cipta sepenuhnya dipegang oleh sumber tersebut. Jika ada masalah terkait hal ini, Anda dapat menghubungi kami disini.
Related Posts
Disqus Comments
close