-->

Skandal Korupsi E-KTP Jangan Jadi Komoditas Politik: Tuntaskan!

Silahkan Bagikan Jika Bermanfaat
Advertisemen

Oleh: Muhammad Amin, dr., M. Ked. Klin., SpMK - ForPure (Forum Peduli Kesejahteraan Rakyat Indonesia)

Basaria Panjaitan yang menjabat sebagai Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pernah menyebut dugaan korupsi terkait proyek pengadaan Kartu Tanda Penduduk berbasis elektronik atau E-KTP sebagai kasus yang rumit. Hingga sekarang baru dua orang yang sudah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus ini. Penyidik pun terus memeriksa sejumlah saksi untuk mengurai benang kusut kasus suap E-KTP tersebut.

Kasus korupsi di Indonesia terkait pengadaan KTP elektronik untuk tahun 2011 dan 2012 yang terjadi sejak 2010-an. Mulanya proyek ini berjalan lancar dengan pengawasan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang diminta oleh Gamawan Fauzi yang saat itu menjabat sebagai menteri dalam negeri Namun kejanggalan demi kejanggalan yang terjadi sejak proses lelang tender proyek e-KTP membuat berbagai pihak mulai dari Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Government Watch, pihak kepolisian, Konsorsium Lintas Peruri bahkan Komisi Pemberantasan Korupsi menaruh kecurigaan akan terjadinya korupsi. Sejak itu KPK melakukan berbagai penyelidikan demi mengusut kronologi dan siapa saja dalang di balik kasus ini. Para pemangku kebijakan terkait proyek e-KTP pun dilibatkan sebagai saksi, mulai dari Gamawan Fauzi, Nazaruddin, Miryam S. Hani, Chairuman Harahap bahkan hingga Diah Anggraini. (https://id.wikipedia.org/wiki/Kasus_korupsi_e-KTP)

Skandal korupsi E-KTP menyeret banyak nama. Berikut daftarnya berdasarkan dakwaan yang disusun jaksa KPK: 1. Gamawan Fauzi (saat itu Menteri Dalam Negeri) sejumlah 4,5 juta dollar AS dan Rp 50 juta 2. Diah Anggraini (saat itu Sekretaris Jenderal Kemendagri) sejumlah 2,7 juta dollar AS dan Rp 22,5 juta 3. Drajat Wisnu Setyawan (Ketua Panitia Pengadaan e-KTP) sejumlah 615.000 dollar AS dan Rp 25 juta 4. Enam anggota panitia lelang, masing-masing sejumlah 50.000 dollar AS 5. Husni Fahmi sejumlah 150.000 dollar AS dan Rp 30 juta 6. Anas Urbaningrum sejumlah 5,5 juta dollar AS 7. Melcias Marchus Mekeng (saat itu Ketua Banggar DPR) sejumlah 1,4 juta dollar AS 8. Olly Dondokambey sejumlah 1,2 juta dollar AS 9. Tamsil Linrung sejumlah 700.000 dollar AS 10. Mirwan Amir sejumlah 1,2 juta dollar AS 11. Arif Wibowo sejumlah 108.000 dollar AS 12. Chaeruman Harahap sejumlah 584.000 dollar AS dan Rp 26 miliar 13. Ganjar Pranowo sejumlah 520.000 dollar AS 14. Agun Gunandjar Sudarsa selaku anggota Komisi II dan Badan Anggaran DPR RI sejumlah 1,047 juta dollar AS 15. Mustokoweni sejumlah 408.000 dollar AS 16. Ignatius Mulyono sejumlah 258.000 dolla AS 17. Taufiq Effendi sejumlah 103.000 dollar AS 18. Teguh Juwarno sejumlah 167.000 dollar AS 19. Miryam S Haryani sejumlah 23.000 dollar AS 20. Rindoko, Nu’man Abdul Hakim, Abdul Malik Haramain, Djamal Aziz, dan Jazuli Juwaini selaku Kapoksi pada Komisi II DPR RI masing-masing 37.000 dolla AS 21. Markus Nari sejumlah Rp 4 miliar dan 13.000 dollar AS 22. Yasonna Laoly sejumlah 84.000 dollar AS 23. Khatibul Umam Wiranu sejumlah 400.000 dollar AS 24. M Jafar Hafsah sejumlah 100.000 doar AS 25. Ade Komarudin sejumlah 100.000 doar AS 26. Abraham Mose, Agus Iswanto, Andra Yastriansyah Agussalam, dan Darman Mappangara selaku direksi PT LEN Industri masing-masing mendapatkan sejumlah Rp 1 miliar 27. Wahyuddin Bagenda selaku Direktur Utama PT LEN Industri sejumlah Rp 2 miliar 28. Marzuki Alie sejumlah Rp 20 miliar 29. Johannes Marliem sejumlah 14.880.000 dollar AS dan Rp 25.242.546.892 30. Sebanyak 37 anggota Komisi II yang seluruhnya berjumlah 556.000 dollar AS. Masing-masing mendapat uang berkisar antara 13.000 hingga 18.000 dollar AS 31. Beberapa anggota tim Fatmawati, yakni Jimmy Iskandar Tedjasusila alias Bobby, Eko Purwoko, Andi Noor, Wahyu Setyo, Benny Akhir, Dudi, dan Kurniawan masing-masing sejumlah Rp 60 juta 32. Manajemen bersama konsorsium PNRI sejumlah Rp 137.989.835.260 33. Perum PNRI sejumlah Rp 107.710.849.102 34. PT Sandipala Artha Putra sejumlah Rp 145.851.156.022 35. PT Mega Lestari Unggul yang merupakan holding company PT Sandipala Artha Putra sejumlah Rp148.863.947.122 36. PT LEN Industri sejumlah Rp 20.925.163.862 37. PT Sucofindo sejumlah Rp 8.231.289.362 38. PT Quadra Solution sejumlah Rp 127.320.213.798,36. (https://nasional.kompas.com/read/2017/03/09/16182831/ini.daftar.mereka.yang.disebut.terima.uang.proyek.e-ktp.)

Lebih heboh, muncul nama dua politisi PDI-P, Puan Maharani dan Pramono Anung dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta. Diketahui, kedua nama tersebut muncul dari keterangan mantan Ketua DPR sekaligus terdakwa korupsi e-KTP, Setya Novanto kemarin, Kamis (22/3/2018). Setya Novanto menyebut keduanya menerima aliran dana korupsi e-KTP.

Banyak pihak khawatir pemberantasan kejahatan, khususnya korupsi, akhirnya menjadi komoditas dan tergantung pada selera para politisi dan pejabat. Ini adalah satu contoh kasus ketika hukum diserahkan pada hawa nafsu manusia, pemberantasan kejahatan dan realisasi rasa keadilan di tengah masyarakat pun bergantung selera dan tentu saja kepentingan. Mengapa korupsi menggila di alam demokrasi? Jawabannya selain untuk memperkaya diri, korupsi juga dilakukan untuk mencari modal agar bisa masuk ke jalur politik termasuk berkompetisi di ajang pemilu dan pilkada. Sebab proses politik demokrasi, khususnya proses pemilu menjadi caleg daerah apalagi pusat, dan calon kepala daerah apalagi presiden-wapres, memang membutuhkan dana besar. 

Ledakan korupsi bukan saja terjadi di tanah air, tapi juga di Amerika, Eropa, Cina, India, Afrika, dan Brasil. Negara-negara Barat yang dianggap telah matang dalam berdemokrasi justru menjadi biang perilaku bejat ini. Para pengusaha dan penguasa saling bekerja sama dalam proses pemilu. Pengusaha membutuhkan kekuasaan untuk kepentingan bisnis, penguasa membutuhkan dana untuk memenangkan pemilu. Sesungguhnya kerusakan penguasa dan pemerintahan yang sekarang ada bukanlah sekadar disebabkan bejatnya moral para pemimpin, tapi karena kebusukan sistemnya. Sudah seharusnya umat mencampakkan sistem industri politik demokrasi dan menggantinya dengan sistem yang diridhai Allah dan Rasul-Nya, yang menjamin keberkahan hidup di dunia dan akhirat. [IJM]

Silahkan Bagikan Jika Bermanfaat

Disclaimer: Gambar, artikel ataupun video yang ada di web ini terkadang berasal dari berbagai sumber media lain. Hak Cipta sepenuhnya dipegang oleh sumber tersebut. Jika ada masalah terkait hal ini, Anda dapat menghubungi kami disini.
Related Posts
Disqus Comments
close