-->

Pertalite Naik, Keputusan Tidak Populer

Silahkan Bagikan Jika Bermanfaat
Advertisemen

Oleh: Firdaus Bayu - Pusat Kajian Multidimensi

Belum genap satu semester, pertalite sudah naik harga dua kali di tahun ini. Mengejutkannya, kebijakan itu muncul tanpa sosialisasi. Jika kemarin Anda cukup mengeluarkan Rp. 30.000 untuk membuat tangki penuh, hari ini tangki Anda tidak akan penuh dengan uang sejumlah itu. Apabila kemarin Anda bisa menghabiskan uang bensin Rp. 30.000 untuk satu pekan, maka kini kendaraan Anda akan terhenti karena kehabisan bensin sebelum genap satu pekan. Kalau dalam satu bulan Anda membutuhkan 30 liter, maka sekarang Anda perlu melebihkan Rp. 6000 tiap bulannya, karena kenaikannya sebesar Rp. 200 per liternya. Dan jika hal itu berjalan rutin selama satu tahun, maka Anda perlu Rp. 72.000 sebagai uang tambahannya. Itu baru satu orang. Bayangkan jika ada dua ratus juta orang yang berkebutuhan demikian, artinya akan ada 14,4 triliun uang rakyat setiap tahunnya yang tersedot lewat kebijakan ini.

Naiknya harga pertalite ini adalah kali keduanya di tahun ini, setelah sebelumnya juga sudah pernah mengalami kenaikan. Jadi, uang rakyat yang tersedot lewat kebijakan ini sebetulnya jika dicatat dalam mode akumulasi pertahun tentu lebih besar lagi nominalnya berdasarkan hitungan sederhana di atas.

Amat disayangkan, kebijakan sensitif ini terjadi begitu saja, tanpa ada pemberitaan sebelumnya. Padahal, sejak dahulu hingga kini negeri ini diklaim bersistem kerakyatan. Apa yang dimaksud dengan kerakyatan? Ya rakyat terlibat aktif dalam pengelolaan negara. Namun faktanya tidaklah demikian. Pada kenyataannya, seringkali rakyat hanya dilibatkan dalam urusan pemilihan umum. Baik di level daerah maupun pusat. Aspirasi rakyat nyatanya tak sepenuhnya bisa diwujudkan. Bahkan suara mayoritas bisa menjelma menjadi suara partai. Menjelang pemilu rakyat dielu-elu, setelah menjabat rakyat dibiarkan berkarat. Urusan kebijakan biarlah penguasa sekalian yang mewakili. Rakyat cukup duduk pasif dan jangan melawan, apalagi sampai menghina pejabat yang terhormat lewat media sosial, nanti bisa terkena sasaran tembak UU ITE.

Demokrasi memang tampak indah di telinga, seolah suara rakyat menjadi suara Tuhan yang harus terlaksana. Namun kenyataan memang tak pernah bisa diingkari, bahwa jargon demokrasi ternyata tak ada dalam realita. Apakah Anda, iya Anda, rakyat Indonesia, sudah dimintai pertimbangan sebelumnya atas kenaikan harga pertalite ini? Jika ternyata belum, kira-kira suara rakyat yang mana ya, yang menginginkan kebijakan ini? Ada yang bisa jawab? [IJM]

Silahkan Bagikan Jika Bermanfaat

Disclaimer: Gambar, artikel ataupun video yang ada di web ini terkadang berasal dari berbagai sumber media lain. Hak Cipta sepenuhnya dipegang oleh sumber tersebut. Jika ada masalah terkait hal ini, Anda dapat menghubungi kami disini.
Related Posts
Disqus Comments
close