-->

Kebijakan Liberal dan Utopia BBM Murah

Silahkan Bagikan Jika Bermanfaat
Advertisemen

Oleh: Yuli Sarwanto

Naiknya harga bahan bakar minyak  khusus (BBM) Pertalite dikeluhkan sejumlah pedagang BBM eceran di Solo. Pedagang pun harus menambah modalnya agar tetap bisa menjual BBM dengan cara eceran. Kisno (37 tahun), pedagang BBM eceran di Jalan Kolonel Sutarto mengaku harus menambah modal sejak harga harga Pertalite naik pada Jumat (23/4). Setiap hari, Kisno biasanya menyediakan 20 liter bensin eceran jenis Pertalite. Namun jumlah itu bisa bertambah jika stok habis dalam setengah hari. Ia pun kembali membeli bensin ke SPBU terdekat. Sejak harga pertalite naik dari Rp 7.600 per liter menjadi Rp 7.800 per liter, Kisno pun langsung memasang pengumuman perubahan harga di tempatnya berjualan. Ia menaikkan harga Pertalite eceran menjadi Rp 9.000 per liter. (http://republika.co.id/berita/ekonomi/korporasi/18/03/26/p66pzt382-pedagang-pertalite-eceran-mengeluh-harga-pertalite-naik)

Meskipun harga BBM sudah naik, subsidinya masih sangat besar. Pemerintah beralasan, subsidi itu lebih baik dialihkan untuk membiayai pembangunan. Sebab, subsidi BBM justru lebih banyak dinikmati oleh mereka yang sudah kaya, yakni mereka yang punya kendaraan, atau bisa lebih banyak memborong sembako yang murah karena BBM disubsidi. Tapi, ada yang menduga kenaikan harga BBM belakangan ini lebih terjadi karena paksaan IMF.

BBM dianggap merupakan komoditas hajat hidup orang banyak, sehingga harus dibuat murah. Harga BBM dari pangkalan Pertamina atau SPBU di seluruh Indonesia diharuskan sama, dan harga ini ditentukan dengan suatu Keputusan Menteri. Namun setiap orang boleh membeli BBM berapapun banyaknya. Sistem ini mau tidak mau harus didukung suatu sistem subsidi, setidaknya subsidi silang, karena biaya penyediaan BBM di tiap daerah sesungguhnya tidak sama. Hasil penjualan (termasuk ekspor) BBM minimal harus seimbang dengan biaya operasional pencarian, pengambilan, pengolahan, serta distribusi.

Jadi masalah adalah ketika keseimbangan itu terganggu. Konsumsi BBM dalam negeri yang disubsidi ini terus meningkat, yang antara lain disebabkan oleh kebijakan perencanaan wilayah yang tidak optimal sehingga memancing kebutuhan BBM untuk transportasi yang tinggi. Di sisi lain ketika tiba-tiba terjadi krisis moneter, biaya teknologi dalam rupiah jadi melonjak sementara harga BBM dalam negeri menjadi begitu murah dibanding harga di pasar dunia, sehingga penyelundupan BBM ke luar negeri menjadi bisnis yang amat menggiurkan.

Karena itu politik subsidi BBM memang belum bisa dibilang adil. Seorang petani yang merasakan subsidi BBM hanya secara tak langsung — yaitu saat dia bisa membeli pupuk dengan harga lebih murah daripada bila ongkos angkutan naik — sulit disamakan dengan seorang pedagang minyak yang memborong ribuan kiloliter BBM untuk diselundupkan ke luar negeri. Karena itu diperlukan sistem distribusi yang baru untuk ”komoditas hajat hidup orang banyak” ini. (http://www.fahmiamhar.com/2013/09/mengatasi-problem-bbm-secara-syariat.html)

Kisruh seputar BBM bersubsidi mungkin akan terus berlanjut sampai harga BBM mengikuti harga pasar/internasional. Jika itu terjadi yang untung adalah asing, sementara rakyat dipastikan buntung. Selain itu, liberalisasi membuat asing bisa menguasai baik di hulu maupun hilir migas. Padahal Migas dan SDA yang melimpah lainnya dalam pandangan Islam merupakan milik umum. Pengelolaannya harus diserahkan kepada negara untuk kesejahteraan rakyat. Tambang migas itu tidak boleh dikuasai swasta apalagi asing.Abyadh bin Hammal menceritakan bahwa ia pernah menghadap kepada Nabi saw dan minta diberi tambang garam yang menurut Ibnu Mutawakkil, berada di daerah Ma’rib lalu beliau memberikannya. Namun saat ia akan pergi, ada seseorang yang berada di majelis berkata kepada Rasul : 

“Tahukah Anda apa yang Anda berikan padanya, sungguh Anda memberinya sesuatu laksana air yang terus mengalir.” Maka beliau pun menariknya kembali darinya (HR. Baihaqy dan Tirmidzy).

Karena itu, kebijakan kapitalistik, yakni liberalisasi migas baik di sektor hilir termasuk kebijakan harganya, maupun di sektor hulu yang sangat menentukan jumlah produksi migas, dan kebijakan zalim dan khianat serupa harus segera dihentikan. Sebagai gantinya, migas dan SDA lainnya harus dikelola sesuai dengan syariah.

Berbeda dengan Islam, dengan mengadopsi UU Migas No. 22 th. 2001, liberalisasi migas menjadi amanatnya baik di sektor hulu maupun hilir. Di sektor hulu hal itu ditegaskan pada Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 dan lainnya. Hasilnya, asing makin menguasai sektor hulu migas, hingga 80%. Pertamina sebagai milik negara dengan UU tersebut dibiarkan berebut bahkan bergelut dengan asing untuk bisa mengelola migas di negerinya sendiri. Ibaratnya, negara sebagai bapak justru mengharuskan Pertamina sebagai anaknya untuk bergelut dengan anak orang asing yang lebih besar, untuk bisa mengelola kekayaan keluarga di pekarangan sendiri. Ironis. [IJM]

Silahkan Bagikan Jika Bermanfaat

Disclaimer: Gambar, artikel ataupun video yang ada di web ini terkadang berasal dari berbagai sumber media lain. Hak Cipta sepenuhnya dipegang oleh sumber tersebut. Jika ada masalah terkait hal ini, Anda dapat menghubungi kami disini.
Related Posts
Disqus Comments
close