Oleh : Erni Ummu Arjuna
Mediaoposisi.com-Generasi muda kita tengah hanyut dalam arus "zaman now", pergaulan muda-mudi yang sangat akrab dengan seks bebas (hubungan seks sebelum menikah dan atau gonta-ganti pasangan seksual). Hal yang berujung pada kehamilan di luar nikah dan berakhir dengan aborsi hingga pembunuhan pada pasangan zina memang sudah menjamur kasusnya, Inilah bahaya yang timbul dari pergaulan bebas.
Seperti yang terjadi pada kasus pembunuhan yang sedang viral saat ini.
Seorang mahasiswi UIN Alauddin Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel), Asmaul Husna (21) yang harus meregang nyawa ditangan sang kekasih Riyadatul Khaer akibat hamil diluar nikah.(detik.com, 14/12/2019).
Senada dengan hal itu, DNA, siswi SMK di Bogor, Jawa Barat, nekat membunuh anak yang baru dilahirkannya karena bayi tersebut merupakan hasil hubungan di luar nikah. Setelah mengarborsi anaknya, remaja 17 tahun itu lalu menyimpan bayinya di ember bekas cat. (Liputan6.com, 17/12/2017). Dan masih banyak lagi kasus-kasus yang serupa seperti ini.
Komnas Perlindungan Anak (KPAI) berkoordinasi dengan Kementerian Kesehatan melakukan survei di berbagai kota besar di Indonesia menyatakan sebuah data, "62,7% remaja di Indonesia melakukan hubungan seks di luar nikah." Ya, tepatlah bila dikatakan Indonesia memasuki masa darurat seks bebas. (Kompasiana.com,21/05/2018)
Mau disadari atau tidak, sesungguhnya suatu bahaya besar mengancam, bukan hanya bagi pribadi-pribadi pelaku itu,tapi secara lebih luas berdampak pada masyarakat dan bangsa. Kalau mau dirunut akar masalahnya, apakah yang sesungguhnya terjadi? Mengapa hal ini justru semakin marak?
Fakta yang seringkali terjadi sekarang ini, baik kasus tindak asusila, pacaran terlewat batas, ikhtilat yang dianggap biasa sampai pada khalwat membawa petaka. Adalah hal yang wajar terjadi ketika akar permasalahan masih belum ditangani, permasalahan klasik ini terus bermunculan.
Berbanding lurus dengan semakin liberal nya kehidupan negeri ini. Semua berakar bagaimana peraturan pergaulan saat ini terjadi. Ini adalah hasil invasi budaya Barat ke tengah-tengah masyarakat di tanah air. Prinsip persivisme, serba boleh, dalam masyarakat Barat, membiarkan warganya melakukan hubungan seks dengan cara apa saja, selama dijalani tanpa paksaan. Pola yang sama dan akan berulang, ketika kita tidak mau belajar dari kesalahan dan sejarah.
Pemahaman masyarakat, lebih-lebih kaum Muslim, terhadap sistem pergaulan pria wanita (an-nizhâm al-ijtimâ‘î) dalam Islam mengalami kegoncangan dahsyat. Pemahaman mereka amat jauh dari hakikat Islam, dikarenakan jauhnya mereka dari ide-ide dan hukum-hukum Islam. Kaum Muslim berada di antara dua golongan, pertama, orang-orang yang terlalu melampaui batas (tafrith), yang beranggapan bahwa termasuk hak wanita adalah berdua-duaan (berkhalwat) dengan laki-laki sesuai kehendaknya dan keluar rumah dengan membuka auratnya dengan baju yang dia sukai. Kedua, orang-orang yang terlalu ketat (ifrath), yang tidak memandang bahwa di antara hak wanita ialah melakukan usaha perdagangan atau pertanian. Mereka pun berpandangan bahwa wanita tidak boleh bertemu dengan pria sama sekali, dan bahwa seluruh badan wanita adalah aurat termasuk wajah dan telapak tangannya.
Karena adanya sikap dua golongan ini, yakni yang terlalu melampaui batas dan yang terlalu ketat, runtuhlah akhlak dan muncullah kejumudan berpikir.
Bagaimana seharusnya interaksi yang terjadi antara laki-laki dan perempuan? Islam sudah menjawabnya dengan sangat komprehensif. Dan semua aturan itu bukan berarti ‘mengekang’ atau terlalu ‘membebaskan’, tetapi aturan (Syariah-Nya) ada sesuai fitrah manusia. Karena yang Maha Mengetahui Yang Terbaik untuk makhluk hanyalah Sang Pencipta.
Islam sebagai agama yang sempurna dan menyeluruh telah mengatur bagaimana adab-adab serta batasan-batasan dalam pergaulan dengan norma-norma yang sangat indah.
Keadaan seperti ini memang sangat memerlukan perhatian, sebab para remaja dan produktif, seharusnya mendapatkan bimbingan khusus dan penjagaan dari beberapa kalangan, diantaranya:
Pertama: Pencegahan pergaulan bebas pada remaja harus dimulai dari keluarga. Orangtua harus menjalankan fungsinya sebagai pendidik dan pembina anak. Nilai-nilai keislaman harus menjadi pedoman dalam pendidikan keluarga. Nilai-nilai sekular-liberal harus dicampakkan. Orangtua patut mewaspadai tontonan, bacaan dan penggunaan gawai pada anak-anak. Ini sebagai salah satu bentuk pelaksanaan firman Allah SWT:
"Hai orang-orang yang beriman, peliharalah diri kalian dan keluarga kalian dari siksa api neraka…" (TQS at-Tahrim [66]: 6).
Orangtua wajib menanamkan pemahaman pada anak remaja mereka bahwa kedudukan mereka sudah menjadi mukallaf di hadapan Allah SWT. Artinya, amal perbuatan mereka kelak akan dipertangunggjawabkan di hadapan-Nya. Karena itu mereka wajib menjaga diri dari perkara yang telah Allah SWT haramkan.
Kedua: Masyarakat tak boleh membiarkan lingkungan tercemari seks bebas, khususnya oleh kawula muda. Sikap cuek terhadap kerusakan akhlak hanya akan menambah persoalan sosial dan mengundang murka Allah SWT. Nabi saw. bersabda:
"Jika zina dan riba telah tersebar luas di satu negeri, sungguh penduduk negeri itu telah menghalalkan bagi diri mereka sendiri azab Allah" (HR Hakim).
Karena itu masyarakat tidak sepantasnya membiarkan seks bebas apalagi menerima itu sebagai kewajaran perilaku anak muda. Padahal itu adalah kemungkaran yang seharusnya dihentikan.
Ketiga: Negara harus berperan dalam menjaga akhlak masyarakat, termasuk mencegah berbagai perbuatan yang mendekati zina. Sekolah-sekolah harus mendidik dan memperingatkan para pelajar agar tidak melakukan aktivitas pacaran baik di lingkungan sekolah maupun di luar. Sanksi pun harus diberikan kepada para remaja dan pelajar yang melanggar aturan tersebut.
Syariah Islam telah memperingatkan akan kerasnya sanksi untuk para pezina. Allah SWT berfirman:
"Pezina wanita dan pezina laki-laki, cambuklah masing-masing dari keduanya seratus kali cambukan…" (TQS an-Nur [24]: 2).
Keharaman zina dan kerasnya sanksi yang dijatuhkan adalah bentuk perlindungan terhadap umat manusia. Perbuatan zina nyata merusak kehormatan dan mengacaukan nasab bayi yang lahir. Bila nasab anak yang masih jelas diketahui ayah biologisnya saja sudah dirusak oleh perbuatan zina, bagaimana dengan nasib bayi-bayi yang dibuang oleh orangtuanya? Sungguh malang nasib mereka.
Telah jelas kerusakan yang ditimbulkan aturan hidup selain Islam. Liberalisme telah merusak keluarga-keluarga kaum Muslim dan menghancurkan masa depan kaum muda kita. Sadarilah kerusakan ini!
Karenanya, tidak ada lagi jalan keluar yang dapat menyelamatkan generasi muda dan masyarakat melainkan syariah Islam. Sudah saatnya kita kembali pada aturan-aturan Allah SWT yang telah menjamin kebaikan dan keberkahan hidup. Sungguh hanya dengan menerapkan syariah Islam secara kâffah, kehidupan dan kehormatan umat manusia akan terlindungi.
Allah SWT berfirman:
"Siapa saja yang berpaling dari peringatan-Ku, bagi dia penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpun dirinya pada Hari Kiamat dalam keadaan buta" (Thaha [20]: 124). [MO/dp]
Wallaahu a’lam bishshawab.