Oleh: Nurhasanah S.Pi, Pengamat Sosial
Mediaoposisi.com-Setelah pesta demokrasi selesai, rezim Jokowi kembali memimpin. Namun, nama dan jabatan yang muncul menunjukkan fokus rezim baru lima tahun ke depan masih melanjutkan agenda sebelumnya. Yakni menyukseskan liberalisasi ekonomi seraya mengencangkan proyek deradikalisasi sebagai penopangnya.Dalam dua bulan periode kedua pemerintahan Jokowi berjalan, semakin tampak program kerja yang dilakukan bersama kabinet Indonesia Majunya. Akankah membawa kebaikan atau justru menyebabkan keterpurukan? Pasalnya, Prof Suteki dengan lugas mengatakan lima tahun ke depan Indonesia akan lebih suram.
Agenda Lima Tahun Berikutnya
Sejumlah kebijakan Jokowi di periode kedua kepemimpinannya banyak menuai kritik keras dari publik. Pasalnya, kebijakan-kebijakan rezim dinilai semakin menyengsarakan kehidupan rakyat Indonesia.
Mantan Menteri Ekonomi, Rizal Ramli menegaskan, setidaknya publik sudah tidak percaya lagi dengan setiap kebijakan Jokowi tersebut. Rakyat selalu dibuat menangis dengan sederet kebijakan dan harga-harga kebutuhan yang melambung tinggi.
Lima fokus pembangunan yang akan dijalankan rezim Jokowi-Ma’ruf adalah (1) pembangunan infrastruktur, (2) pembangunan SDM, (3) mengundang investasi seluas-luasnya, (4) reformasi birokrasi untuk izin investasi korporasi, dan (5) penggunaan APBN yang fokus dan tepat sasaran.
Investasi, khususnya Foreign Direct Investment (FDI) menjadi fokus utama “pembangunan” ekonomi Jokowi. Investasi itu disinyalir akan menguntungkan jalinan bisnis ataupun rekanan asing para oligarki. Karena itu semua penghalang investasi harus diberangus. Untuk itulah bidang lugas Luhut diperluas menjadi Menko Bidang Kemaritiman dan Investasi.
Menteri BUMN Erick Thohir memang berencana membuka lebar-lebar keran investor asing. Erick akan membuka investasi bagi pengusaha Korea Selatan, Jepang, hingga Arab Saudi. Ekonomi liberal memang menjadi ruh kabinet Jokowi.
Ekspansi BUMN yang menjadi salah satu klausul Konsensus Washington akan terus dijalankan Erick Thohir. Bahkan demi meningkatkan performa BUMN agar mampu ekspansi ke global market, pengamat BUMN dari Universitas Indonesia Toto Pranoto menilai BUMN perlu merekrut tenaga asing berpengalaman, seperti yang dilakukan Temasek, BUMN holding asal Singapura.
Target Erick memang liberal dan berlebihan. Namun lebih tak masuk akal adalah target Menkominfo, Johnny G. Plate. Dia akan meneruskan “Gerakan Nasional 1.000 Startup Digital” yang diinisiasi sejak 2016 demi mewujudkan “world’s biggest digital power” dengan ambisi memiliki startup hectocorn yakni startup bervaluasi USD100 miliar. Bagaimana tidak berkhayal, karena di dunia saat ini tidak ada startup yang mampu menembus angka itu.
Reformasi birokrasi juga diterapkan Jokowi pada aspek legal. Untuk mempercepat masuknya investasi, pemerintah sudah menargetkan omnibus law melalui pemangkasan awal 72 regulasi dalam kurun waktu satu bulan. Jokowi akan merevisi puluhan aturan menjadi UU Cipta Lapangan Kerja dan UU Pemberdayaan UMKM.
Penciptaan lapangan kerja dan memberdayakan UMKM merupakan bagian proyek “end poverty (pengentasan kemiskinan) yang biasa diaruskan Barat pada negara-negara dunia ketiga. Proyek ini bukanlah bertujuan untuk menjamin kesejahteraan rakyat sebagaimana yang kerap digembar-gemborkan mereka, namun untuk menghindari penyakit sosial–seperti kriminalitas, keterbelakangan, ataupun kekumuhan–yang akan mengancam stabilitas ‘pembangunan’ kapitalistik.
Di bidang kesehatan, pemalakan pada rakyat atas nama iuran BPJS Kesehatan terus berlangsung. Iuran BPJS-K naik dua kali lipat yang akan berlaku pada awal tahun 2020, serta memaksa rakyat untuk membayar iuran jika menunggak. BPJS Kesehatan yang diperkirakan defisit hingga 32.84 triliun pada akhir 2019.
Sekalipun pejabat Kemenkes menyatakan penyebabnya karena kurang iuran, Wakil Ketua Komisi II DPR, Mardani Ali Sera menepis alasan itu. Menurutnya, akar masalah sesungguhnya ada pada pengelolaan BPJS Kesehatan yang amburadul. Tapi Perpres No.75/2019 terlanjur diteken untuk menaikkan iuran BPJS hingga 100 persen.
Pada bidang pendidikan, pendidikan Indonesia tidak lebih dari sekadar mesin pencetak tenaga kerja yang siap pakai untuk dunia industri, sebagai pelengkap agenda liberalisasi ekonomi semata. Pendidikan menjadi alat reproduksi ideologi yang hanya menguntungkan kelas sosial tertentu. Agenda-agenda bisnis lebih kental di sekolah dan kampus, mulai dari sponsor usaha yang masuk sekolah hingga pada korporatisasi kurikulum yang diderita sebuah negara akan lebih besar.
Jelaslah arah kebijakan Jokowi di periode kedua ini akan semakin liberal dan membela kepentingan korporasi bukan rakyat. Sehingga harapan memperbaiki kesejahteraan dan keadilan ekonomi bagi rakyat akan semakin sulit dicapai apalagi dunia saat ini sedang dilanda Resesi ekonomi, jangankan Negara boneka, Negara adidayapun tidak kuasa mengahadapinya.
Kita bisa rasakan, ideologi kapitalisme mengakibatkan ketidakadilan, kezaliman, kemiskinan, ketimpangan, kesenjangan tidak hanya di negeri-negeri Muslim, tapi juga di negeri utama pengemban kapitalisme. Dengan demikian, posisi AS sebagai pemegang ideologi kapitalisme, yang pernah menjadi trend setter dunia dan negara adidaya, kemungkinan akan tergantikan oleh pemain baru.
Dunia saat ini sedang mengarah pada kekuatan Islam. Kebangkitan intelektual dan politik di dunia Islam detik ini tak bisa kita tutup-tutupi. Bahkan para peneliti Barat pun berkesimpulan bahwa bangkitnya Islam kaffah adalah kenyataan yang tidak bisa dipungkiri.
Islam sebagai ideologi dianggap layak untuk menggantikan posisi AS karena memiliki kekuatan yang dapat memimpin dunia. Islam ideologis kaffah memiliki pondasi kuat berupa akidah Islam. Hanya Islam ideologislah yang mampu melahirkan pemimpin yang kuat dan sistem yang baik. Maka harapannya Indonesia maju dengan Islam kaffah.
Penerapan Islam kaffah dalam segala lini kehidupan akan menghasilkan kemajuan luar biasa dari ilmu pengetahuan sampai kesejahteraan. Dalam Islam hubungan pemerintah dan rakyat adalah hubungan pengurusan dan tanggung jawab. Pemerintah akan menetapkan kebijakan berbasis syariah untuk mengurusi urusan rakyatnya. [MO/dp]