Oleh : Dessy Fatmawati, S.T
Mediaoposisi.com- Tidak ada yang murah dalam kehidupan kapitalistik. Kondisi serba mahal memaksa manusia melakukan segalanya demi bisa bertahan hidup. Eksploitasi dan penjajahan menjadi agenda utama, bahkan hingga skala individu.
Seperti baru-baru ini, di Indonesia kembali mencuat kasus baru perdagangan manusia. Kali ini menggunakan modus yang lebih rapi, pernikahan. Saat ini 26 dari 29 perempuan asal Indonesia menunggu nasib dibebaskan dari eksploitasi ‘suami’ mereka.
Salah seorang korban, Monika (24), selama 10 bulan tinggal di China, dia dipaksa bekerja dan mengalami kekerasan seksual. Ia menuturkan, “Kamu nanti di sana dibelikan emas, kirim orangtua pasti ada. Kamu berkecukupan, mereka juga memperlakukan kamu dengan baik. Kamu mau pulang di sana nanti bisa telepon kami saja nanti kami urus pulang. Kenyataannya sampai sana nggak ada.”
Bobby Anwar Maarif, Sekjen Serikat Buruh Migran Indonesia menjelaskan eksploitasi yang dimaksud, “Sesampainya di tempat asal suami, mereka diharuskan untuk bekerja di pabrik dengan jam kerja panjang.
Sepulang kerja mereka juga diwajibkan untuk mengerjakan pekerjaan rumah dan membuat kerajinan tangan untuk dijual. Seluruh gaji dan hasil penjualan dikuasai oleh suami dan keluarga suami.” Irfan Arifin salah satu kuasa hukum atas perempuan-perempuan ini menjelaskan, penyelesaian kasus ini jauh lebih sulit lantaran pernikahan mereka tercatat secara resmi oleh hukum Tiongkok.
Modus pernikahan dalam ekspolitasi perempuan merupakan evolusi praktik-praktik sebelumnya yang telah mendapat sorotan publik atas pelanggaran HAM. Tentu kita masih mengingat kasus tahun 2014 di Hong Kong, Erwiana S, buruh migran asal Indonesia yang mengalami kekerasan hingga nyaris lumpuh.
Hong Kong’s Mission for Migrant Workers merilis studi setahun sebelumnya didasarkan pada wawancara pada 3.000 pekerja rumah tangga asing dan ditemukan bahwa hampir sepertiga dari mereka tidak mendapatkan akomodasi layak di dalam rumah. Migrant Care Indonesia tahun 2010 mencatat secara akumulatif ada 1.075 pekerja migran yang meninggal dunia.
Dibalik kata pekerja atau istri, fokus kapitalistik tidaklah berbeda. Fika Komara dalam buku Muslimah Timur Jauh bab Kubangan Eksploitasi Perempuan hal. 103 menjelaskan, nilai-nilai dasar kapitalisme memang berkontribusi besar membangun cara pandang yang eksploitatif pada kaum miskin dan lemah.
Kapitalisme dengan prinsip dasarnya – sekulerisme, pragmatisme, dan hedonisme – serta adanya prinsip ekonomi yakni kebebasan kepemilikan, sangat berperan membentuk masyarakat yang egois dan eksploitatif. Setiap anggota masyarakat akan selalu menghitung ‘harga’ dan ‘keuntungan’ dari setiap hubungan sosial dan praktik-praktik kehidupan yang mereka jalani, mengalahkan semua nilai yang lain, apakah itu nilai kemanusiaan, moral maupun spiritual.
Alih-alih menyelesaikan masalah, kapitalisme sesungguhnya biang kerok penderitaan perempuan modern. Penyucian materi dan kesetaraan gender membawa jutaan perempuan berkubang eksploitasi atas nama pemberdayaan.
Tahun 2015, tepat dua puluh tahun setelah ditandatanganinya Beijing Declarate and Platform for Action, yang dipuji PBB sebagai sebuah peta jalan visioner untuk hak-hak dan pemberdayaan perempuan berhasil mewujudkan 50% perempuan di dunia telah bergaji, naik dari tahun 1990 yang hanya berkisar 40%. Tentu saja klaim menggembirakan ini melupakan catatan UNODC tahun 2014, 70% diantaranya adalah perempuan korban jaringan perdagangan manusia.
Gender capitalism bahkan tega diperkenankan oleh sesama perempuan. Hillary Clinton pada APEC Women and the Economic Forum berpidato, “…Limiting women’s economic potential is for every country like leaving money on the table. It doesn’t make sense, especially when we are still struggling to grow our way out of the economic crisis” (29/6/2012).
Menilik eratnya hubungan antara kapitalisme dengan kesuburan perdagangan manusia, pesimisnya jalan keluar bagi 26 WNI yang belum bisa dipulangkan hingga kini tak hanya dirasakan oleh Irfan Arifin selaku kuasa hukum mereka, namun juga dirasakan oleh seluruh elemen.
[Meniti Jalan Penyelamatan Perempuan] – Desain kapitalisme yang memang tidak menyiapkan perlindungan bagi kaum lemah menjadikan kubangan penderitaan perempuan abadi. Hal ini berbeda dengan Islam, sedari awal Islam memberikan prioritas perlindungan pada kaum lemah.
“Kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf. Seorang tidak dibebani selain menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya dan ahli warisnya pun berkewajiban demikian..” (Al Baqarah : 2 : 233)
Kaum perempuan dalam Islam harus dipandang sebagai kehormatan yang wajib dijaga. Dalam Islam perempuan diberi kehormatan sebagai ummu wa robatul bait (Ibu dan pengatur rumah tangga). Islam memerintahkan perempuan harus diberlakukan layaknya manusia bermartabat bukan dipandang sebagai pekerja rendahan.
Islam juga melarang pembebanan mencari nafkah kepada perempuan, dan sebaliknya mewajibkan laki-laki kerabatnya menjamin nafkah mereka. Jika tida ada negara hadir sebagai safety net terakhir. Salah satu contoh safety net yang dilakukan negara adalah kebijakan pada masa Khalifah Umar bin Khattab.
Dalam kitab al-Amwaal karangan Abu Ubaidah, diceritakan bahwa Khalifah Umar bin Khattab pernah berkata kepada pegawainya yang bertugas membagikan shadaqah, “Jika kamu memberikan, maka cukupkanlah.” Selanjutnya berkata lagi, “Berilah mereka itu sedekah berulang kali sekalipun salah seorang diantaranya mereka memiliki seratus onta.”
Dalam bidang ketenagakerjaan, Islam melarang tegas adanya tindak kedzaliman (eksploitatif). Hal ini terwujud dalam berbagai kebijakan yang memprioritaskan pada terciptanya keamanan lingkungan kerja, menghapus strata tenaga kerja terhormat dan tenaga kerja kasar, serta penentuan upah tenaga kerja yang adil. Imam Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah r.a bahwa Nabi SAW bersabda, Allah SWT berfirman,
“Tiga orang yang aku musuhi pada hari kiamat adalah orang yang telah memberikan (baiat kepada khalifah) karena Aku, lalu berkhianat; orang yang menjual (sebagai budak) orang yang merdeka, lalu dia memakan harga (hasil) penjualannya; serta orang yang mengontrak pekerja, kemudian pekerja tersebut menunaikan pekerjaannya, sedangkan orang itu tidak memberikan upahnya” (HR. Ahmad, Bukhari, dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah) [MO/ra]