Oleh: Al Azizy Revolusi
Mediaoposisi.com-Berbicara tentang Aceh, hampir di setiap benak kita yang paling dominan terlintas adalah daerah bergolak/perang.
Betapa tidak, daerah paling ujung pulau Sumatera ini, sejak keberadaan sejarahnya, mencatat tiada kurun tanpa gejolak dan perang/pertumpahan darah.
Perjuangan Melawan Kolonial
Masuknya penjajah asing ke Aceh diawali dengan keberadaan Tractat London 1871. Dalam pernjanjian tersebut, Inggris menyerahkan seluruh wilayah Sumatera kepada Belanda.
Setelah melihat Aceh tidak bisa ditundukkan lewat perundingan, Belanda, lewat F.N. Nieuwenhuyzen, mengeluarkan pernyataan perang melawan Aceh tepat pada 1 April 1873.
Baca Juga: Rakyat Aceh Layak Jadi Penopang Tegaknya Khilafah Di Bumi Serambi Mekkah
Belanda mengerahkan armada perangnya dalam jumlah besar. Namun, rakyat Aceh dengan semangat jihad melawan orang kafir, tidak gampang dikalahkan. Bahkan, tentara Islam berhasil membunuh Jenderal J.H.R. Kohler pada tanggal 14 April.
Dengan berbagai cara, termasuk menempuh cara-cara yang licik seperti pembakaran kampung, penculikan keluarga pejuang, sampai pura-pura berunding dilakukan oleh Belanda.
Korban di pihak Belanda dalam perang ini tidak sedikit. Perang Aceh melawan Belanda yang terjadi sejak 6 April 1873 s/d 1914, menurut data dari pihak belanda, telah menimbulkan korban pada pihak Belanda tewas 37.500 orang dan dari pihak aceh 70.000 orang.
Memang, kenyataan berbicara, ketangguhan para pejuang Aceh tidak dapat ditaklukkan Belanda dan pada akhirnya Aceh dapat melepaskan diri dari kolonialisme kaphe Belanda.
Kepergian Belanda di tahun 1942 juga menimbulkan kenangan yang pahit. Selama 69 tahun Belanda tiada henti-hentinya bertempur tanpa berhasil menaklukan Aceh.
Yang tertinggal adalah data statistik korban tentara Belanda maupun rakyat Aceh: puluhan jenderal dan perwira tingggi Belanda tewas; begitu pula rakyat Aceh baik laki-laki, wanita, anak-anak, maupun orang lanjut usia menjadi syuhada.
Dengan semboyan, “syahid atau menang”, lebih kurang 800.000 gugur. Sebab, perang Aceh melawan Belanda, pada hakikatnya adalah perang suci dalam rangka membela agama (baca: agama Islam).
Perjuangan Menegakkan Negara Islam
Rakyat Aceh memang tidak bisa dipisahkan dengan Islam. Pengalaman sejarah menunjukkan, bahwa berdirinya kesultanan Islam di Aceh yang menerapkan syariah Islam sangat membekas. Pada masa kesultanan Islam, penerapan syariat Islam terbukti memberikan kesejehteraan, ketenteraman, dan kebahagian rakyat Aceh.
Baca Juga: Aceh dan Problem Kewarganegaraan Bangsa
Apalagi, rakyat Aceh sangat memahami, syariat Islam adalah kewajiban dari Allah Swt. Oleh karena itu, rakyat Aceh sangat menginginkan tegaknya negara yang didasarkan pada Islam. Bagaimana mungkin syariat Islam secara kâffah (menyeluruh) bisa diterapkan kalau negaranya bukan negara Islam?
Dalam wawancara dengan Boyd R. Compton, Teungku Muhammad Daud Beureuh, tokoh perjuangan Darul Islam Aceh, pernah berkata:
Anda harus tahu, kami di Aceh ini punya sebuah impian. Kami mendambakan masa kekuasaan Sultan Iskandar Muda, pada masa Aceh menjadi negara Islam. Di zaman itu, pemerintahan memiliki dua cabang, sipil dan militer. Keduanya didirikan dan dijalankan menurut ajaran agama Islam.
Pemerintahan semacam itu mampu memenuhi semua kebutuhan zaman moderen. Sekarang ini kami ingin kembali ke sistem pemerintahan semacam itu. Boyd R. Compton, Surat-Surat Rahasia Boyd R. Compton, Jakarta: LP3ES, 1995).
M. Daud Beureueh berbicara tentang sebuah negara Islam untuk seluruh Indonesia dan bukan cuma untuk Aceh yang merdeka. Ia meyakinkan, kemerdekaan beragama akan dijamin di negara semacam itu, dengan menekankan contoh mengenai toleransi besar bagi penganut Kristen dalam negara-negara Islam di Timur Dekat.
Kaum Kristen akan diberi kebebasan dan dilindungi dalam negara Islam Indonesia, sedangkan umat Islam tidak dapat merasakan kemerdekaan sejati kalau mereka tidak hidup dalam sebuah negara yang didasarkan atas ajaran-ajaran Alquran.
Keinginan rakyat Aceh ini kemudian mendapat tantangan dari elit-elit politik pusat yang dikuasai orang-orang sekular seperti Soekarno. Meskipun telah berjanji kepada Teungku Muhammad Daud Beuruh untuk membiarkan Aceh menerapkan syariat Islam, tuntutan rakyat Aceh ini tidak kunjung terwujud.
Padahal, Presiden Sukarno, sambil menyeka airmatnya, berulang-ulang bersumpah. “Wallâhi, Billâhi, demi Allah, kepada daerah Aceh akan diberikan hak menyusun rumah tangganya sesuai dengan syariat Islam.
Wallâhi, saya akan pergunakan pengaruh saya agar rakyat Aceh benar-benar dapat melaksanakan syariat Islam di daerahnya.”
Namun, setelah 56 tahun kertas itu ditandatangani, keinginan rakyat Aceh masih terganjal berkat kelihaian politik Soekarno. Manipulasi politik inilah yang memicu kemarahan para pendukung Daud Beureuh sehingga memunculkan sejumlah perjuangan bersenjata.
Pada tahun 4 Desember 1975, di Gunung Halimun, Tengku Hasan Di Tiro memproklamasikan kemerdekaan Aceh dari kekuasaan RI sekaligus menandai babak baru perlawanan terhadap Jakarta. Sekitar 4.000 jiwa para syuhada melayang dalam peristiwa Darul Islam tahun 1953 sampai 1964.
Kongres Alim Ulama se-Indonesia di Medan pada bulan april 1953, yang dipimpin oleh TMD Beureueh, bertekad bulat dan sepakat mengambil keputusan, “Memperjuangkan dalam pemilihan umum yang akan datang supaya negara RI ini menjadi Negara Islam Indonesia.”
Perjalanan perjuangan politik Aceh berlanjut pada saat M. Natsir dan Syarifuddin Prawira Negara menyerah ke pangkuan RI.
Pada akhirnya, TMD Beureuh mencoba tetap bertahan dengan keyakinannya semula: melanjutkan revolusi Islam Aceh. Pada tanggal 15 Agustus 1961 dicetuskan berdirinya Republik Islam Aceh (RIA).
Pada tahun 1962, ada tawaran dari Nasution melalui Pangdam I Iskandar Muda, M Yassin, untuk mengadakan perundingan dengan TMD Beureueh dalam rangka menyelesaikan konflik berdarah di Aceh.
Dalam perundingan itu pemerintah memberikan hak penuh untuk melaksanakan hukum syariat Islam bagi rakyat Aceh.
Setelah rapat khusus dengan para tokoh ulama, diputuskan untuk menerima putusan tersebut. Selanjutnya, setelah Undang-undang Syariat Islam dirumuskan dengan baik, ternyata tawaran itu hanyalah alat politik untuk melumpuhkan kekuatan perjuangan mujahidin RIA.
Dampaknya terlihat ketika TMD Beureueh dan para mujahidin turun gunung. Terakhir TMD Beureueh oleh Bung Karno diajak ke Jakarta. Dengan demikian, berakhirlah perjuangan DI di Aceh, karena harimau tua telah masuk kandang.
Secara umum, berakhir pula perjuangan yang didukung oleh seluruh rakyat. Jadi, untuk ke sekian kalinya pemerintah RI menampakkan sikap anti terhadap Islam, dan rakyat Aceh merasa dibohongi.
Tawaran Syariat Islam
Di sisi lain tawaran Pemerintah untuk memberlakukan syariat Islam di Aceh terkesan merupakan “barang lama dengan bungkusan baru”.
Artinya, penerapan syariat Islam di Aceh hanya menyangkut masalah-masalah yang tidak krusial. Pencantuman bismillah di awal surat pemerintah, penanggalan hijriah, dan kantor pemerintah ditulis dengan bahasa Arab sudah dianggap menerapkan syariat Islam.
Padahal, hukum Islam di bidang pemerintahan, pidana, perdata, ekonomi, atau keuangan tidak dimasukkan.
Pada saat yang sama, masyarakat, aparat pemerintah, dan bahkan para ulama sekalipun belum memahami penerapan syariat Islam yang utuh dan menyeluruh. Jadi, dapat dipastikan, bahwa isu tersebut hanya menjadi “tips” Pemerintah untuk sekali lagi “menipu” rakyat Aceh.
Yang lebih ironis, isu penerapan syariat Islam yang parsial di Aceh ini akan menjadi preseden buruk bagi Islam.
Sebab, bagi orang awam dan orang yang membenci Islam, ini akan dijadikan sebagai senjata, bahwa begitulah realitasnya kalau Islam diterapkan; akan menimbulkan kekacauan dan ketidakpastian. Wajar kalau ada tokoh Aceh yang berpendapat bahwa syariat Islam bukan solusi.
Memang benar, syariat Islam parsial tidak akan menyelesaikan persoalan Aceh, apalagi kalau hanya diterapkan di Aceh. Berbagai persoalan di Aceh seperti kemiskinan, kezaliman politik, kebodohan, ketimpangan ekonomi, dll merupakan problem dari seluruh umat Islam di dunia. Penyebabnya adalah diterapkannya sistem kapitalisme-sekularisme atas umat Islam.
Oleh karena itu, penyelesaiannya haruslah menyeluruh, yakni mengganti sistem kapitalisme dengan sistem Islam yang kâffah dan menyeluruh; juga tidak boleh dibatasi hanya Aceh, tetapi bagi seluruh dunia di bawah naungan Daulah Khilafah Islam. Untuk itu, diperlukan solusi yang menyeluruh dan komperehensif untuk Aceh dan juga negeri-negeri Muslim lainnya.
Tidak ada pilihan lain kecuali dengan menegakkan Daulah Khilafah Islam. Inilah yang seharusnya diperjuangkan oleh rakyat Aceh bersama-sama kaum Muslim lainnya di Indonesia dan seluruh dunia.[MO/ad]