Oleh: Supiani
(Member Komunitas Remaja Islam Peduli Negeri)
Mediaoposisi.com-Orang bilang tanah kita tanah surga. Tongkat kayu dan batu jadi tanaman. Dua baris lirik lagu Koes Plus ini seolah membuat kita bersyukur atas karunia alam Indonesia yang sungguh luar biasa indah dan kayanya.
Kekayaan dan keindahan alam Indonesia bahkan sampai membuatnya dijuluki sebagai tanah surga. Tak salah memang, melihat betapa objek wisata terbentang sepanjang Nusantara. Tak ada wilayah Indonesia yang destinasi wisatanya patut untuk diabaikan.
Indonesia ada di peringkat pertama dalam daftar 15 negara paling santai di dunia untuk liburan. Peringkat ini berdasarkan sebuah laporan dari agen perjalanan di Inggris. Indonesia mendapat peringkat ini karena mempunyai banyak lokasi untuk melakukan relaksasi dan cocok dijadikan destinasi liburan. (26/01).
Negeri yang masyhur disebut sebagai negeri maritim yaitu negeri dengan wilayah perairan yang lebih luas dari daratan. Tak ayal membuat objek wisata yang berhubungan dengan laut pun menjadi menarik untuk diperhitungkan. Mulai dari pulau Dewata Bali yang menyajikan keelokan pantai dengan kebudayaan hindunya. Raja Ampat dengan keelokan air bak permata lazuardi. Dan banyak lagi yang lainnya.
Semua ini jelas tak lepas dari sorot mata dunia. Terlebih lagi bagi para wisatawan asing yang hoby pelesiran demi melepas penat. Indonesia menjadi pilihan destinasi yang apik untuk liburan. Sebab keramahan yang Indonesia tawarkan membuat para wisatawan asing betah.
Namun hal ini tak pelak menimbulkan tanda tanya. Sebenaranya ada apa dengan surga Indonesia yang seakan begitu masif untuk dipromosikan? Adakah ini sebuah upaya untuk memandulkan potensi Indonesia sebagai negeri Muslim terbesar di dunia?
Indonesia sebagai negeri Muslim terbesar di dunia menjadi negeri yang potensial bagi kebangkitan Islam. Semangat juang Islam jualah yang mendorong para pahlawan negeri ini berjuang demi meraih kemerdekaannya. Kebangkitan Islam di Indonesia ialah sebuah keniscayaan yang tak mustahil lagi. Sebagaimana geliat persatuan umat Muslim dalam aksi tolak pemimpin kafir.
Juga aksi damai reuni 212 yang telah diulang dua kali. Hal ini menunjukkan bahwa umat Muslim Indonesia telah siap atas perjuangan menuju kebangkitan. Namun dengan masifnya pergerakan pembangunan di sektor pariwisata, tak dapat ditampik bahwa ini adalah upaya untuk menghambat geliat kebangkitan Islam di Indonesia.
Sebagai negeri yang menerapkan sistem kapitalis, maka segala hal adalah bisnis. Upaya dalam meraih keuntungan semata. Tanpa melihat apakah dampak yang akan menimpa Indonesia. Pariwisata yang kian elok jelas menjadi penarik minat turis paling ampuh. Mereka akan datang berbondong-bondong untuk menikmati keindahan alam surga Indonesia. Namun mereka tak hanya datang untuk berwisata saja. Namun juga meninggalkan ide-ide liberal dan sekuler.
Pembangunan pariwisata bak gerbang yang terbuka seluas-luasnya bagi masuknya ide kafir barat. Maka tak jarang mereka pun “betah” untuk berlama-lama tinggal di Indonesia. Keramahan yang Indonesia tawarkan seolah lampu hijau untuk menanamkan simpati atas ide-ide yang mereka bawa.
Food, fashion dan fun ialah peluru paling mematikan yang mereka bidikkan ke generasi muda Indonesia. Muslim Indonesia yang kian tercekoki oleh gaya hidup mereka akan mengambil kesenangan yang mereka tawarkan. Menjadikan gaya hidup mereka sebagai trend yang layak untuk diikuti. Hingga akhirnya identitas sebagai Muslim terkaburkan bahkan tak lagi digunakan.
Lewat investasi asing berkedok penanaman modal, para kapital asing menjajah Indonesia melalui ekonomi dan pariwisata. Membuat Indonesia tak mampu berdikari dalam mewujudkan perekonomian yang stabil. Indonesia pun kian terpikat dengan perkembangan pariwisata yang tak lain ialah pintu gerbang bagi budaya asing kafir barat masuk ke Indonesia.
Padahal tempat pariwisata dengan tujuan menarik wisatawan asing adalah tempat maksiat terselubung. Bar dan club malam pasti menjadi tempat yang wajib ada di sana. Minuman keras bahkan narkoba menjadi barang yang awam untuk diperoleh. Bahkan layanan prostitusi pun menjadi lumrah. Sebab kesenangan berbasis liberalisme ialah dalil bagi terwujudnya destinasi wisata yang menarik.
Surga Indonesia memancing neraka. Bagaimana tidak? Pembangunan di bidang pariwisata nyatanya banyak mengundang bencana. Mulai dari keadaan alam yang menjadi tak stabil. Gunung-gunung yang terpaksa digunduli, membuat kontur tanah rawan longsor. Pantai yang kian ramai dikunjungin membuat laut kian ramai pula oleh sampah-sampah bekas makanan dan minuman. Dan sederet permasalahan alam lainnya. Dan ini jelas akan mengundang bencana bagi Indonesia.
Indonesia sebagai negeri dengan kependudukan muslim terbesar di dunia seharusnya mulai waspada dan berupaya membangun kesadaran ideologis. Bahwa pembangunan pariwisata ialah kedok kapitali yang bekerja sama dengan kafir penjajah dalam mengeruk kekayaan dari negeri Indonesia. Oknum pemerintahan yang berkeinginan memperkaya diri menjadi alat bagi mereka melanggengkan upaya mereka tersebut.
Kapitalisasi pariwisata hendaknya harus ditolak karena negara jelas hanya mengambil keuntungan semata tanpa memandang kerusakan demi kerusakan yang melanda. Bahkan praktik ini membuat jebakan asing kian menjerat Indonesia. Ini semua akibat penerapan sistem kapitalisme. Maka dari itu sistem kapitalis jelas tak patut untuk terus dipertahankan.
Kembali kepada sistem Islamlah solusi mutlak bagi terwujudnya sistem ekonomi yang stabil dan juga pariwisata yang mendatangkan maslahat. Objek wisata tidak lagi dijadikan alat bagi oknum untuk mencari keuntungan semata, namun akan dijadikan tempat bagi hamba Allah untuk semakin bertaqorub atas kebesaran-Nya.
Bukan malah menjadikan diri terjebak dalam kubangan kemaksiatan yang terfasilitasi. Islam menjamin kemaksiatan terkerangkeng oleh sistem Khilafah secara praktis. Sehingga pariwisata menjadi destinasi yang tak hanya duniawi namun juga ukhrowi.
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (TQS. Al A’raaf: 96).[MO|ge]