Oleh: Ika Rini Puspita
Mahasiswi UIN Alauddin Makassar
Mediaoposisi.com-Kejadian demi kejadian terus terjadi di negeri kita ini. Menyanyat hati untuk segera beraksi (bangkit) setidaknya tidak diam di singgasana aman dan nyaman.
Walaupun dalam mengekspresikan rasa kecewa yang berkecamuk, setiap orang punya cara tersendiri. Misal mengadakan aksi demo di jalan sambil bakar Ban, mengadakan aksi damai ke pemilik kekuasaan.
Ada juga yang memilih membeberkan fakta-fakta di ruang publik agar orang lain bisa mengindra fakta yang sesungguhnya. Serta memilih menuangkan idenya lewat lisan atau tulisan.
Namun kebebasan berpendapat dengan tulisan kini mulai dibelenggu dan dibungkam misal dengan adanya Undang-Undang (UU) Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang mengatur tentang informasi serta transaksi elektronik atau teknologi informasi secara umum yang tertuang dalam pasal 27 ayat 3.
Baru-baru ini kita dihebohkan kasus mengenai musisi Ahmad Dhani yang melanggar pasal 27 ayat 3 juncto pasal 45 ayat 3 ITE tentang pencemaran nama baik.
Saat itu terdakwah membuat konten vidio yang berisi kata yang kurang baik ‘idiot’ yang dianggap melecehkan nama baik peserta demo di luar hotel,” kata jaksa penuntut umum, Dedi Arissandi membaca dakwaan di PN Surabaya (7/2).
Dengan menuangkan kekecewaan lewat lisan, dan memilih mengadakan aksi damai pun sering kali dipersekusi, dihalang-halangi (dibubarkan).
Padahal mereka tidak merusak fasilitas umum, tidak membakar ban, juga tidak mengganggu pengguna jalan. Tapi keberadaan mereka sering kali menjadi ketakutan tersendiri berbagai kalangan.
Pertanyaannya mengapa mereka takut, ada apa?
Sebenarnya, jika kita lihat keseharian musisi yang akrab di sapa Dhani ini, ia sangat keras (telanjang) melawan rezim, tanpa ada rasa takut. Penulis pun mengakui keberanian beliau.
Tapi, tindakan kasarnya, penulis kurang sepakat dan tindakan rezim kepadanya, penulis lebih-lebih kurang sepakat lagi. (bukan karena penulis pengangum berat beliau karena artis, sampai membela seperti ini ndak ji). Tapi, yang penulis tidak sepakati adalah ketidak adilan negeri ini yang pandang bulu.
Kita mengingat penggiat media Jon Riah Ukur Ginting alias Jonru Ginting ditetapkan tersangka atas pelanggaran UU ITE. Dan baru-baru ini kasus Dhani yang begitu cepat diproses, tidak seperti kasus lain yang berbelit-belit.
Seperti kasus yang pernah kontroversi mengenai puisi Sukmawati seokarnoputri yang di dalamnya menyinggung tentang azan dan cadar dalam acara 29 tahun Anne Avantie berkarya di Indonesia Fashion Week 2018 (3/4/).
Kita juga mengingat kasus ketua Fraksi Partai Nasdem Viktor Laiskodat atas ujaran kebenciannya. Serta kasus-kasus lainnya. Ada apa, dengan kelanjutan kasus ini?
“baji’na paeng punna anjariki wakil rakyat, siagang a’agangki siagang rezimka (kekuasaanga) ka ka’balak hukum ki” dalam bahasa Makassar (Bagusnya pale kalo wakil rakyatki dan dekatki dengan rezim (kekuasaan) karena kebalki dari hukum.
Jika kita bandingkan sama-sama pelanggaran ITE tapi penangkapan Jonru dan Dhani sangat cepat sampai tericiduk. Sedangkan kasus Viktor, ibu Sukmawati kesannya berbelit-belit hingga beritanya hilang, kenapa?
Mungkin ada benarnya perkataan kebanyakan orang bahwa lembaga politik saat ini tidak mewakili aspirasi rakyat. Adapun mengenai ITE dikatakan “pasal karet” semoga tidak benar adanya. Karena dianggap sebagai alat pamungkas untuk menjerat suatu perkara hukum yang berkaitan dengan ITE.
Hal ini disampaikan oleh Southeast Asia Freedom of Expression Network (Safenet) tahun ini ada 77 kasus, tahun lalu 34 dan naik dua kali lipat. Ujar relawan Safenet Makassar Daeng Ipul. Disebutnya kelompok pelapor perkara mengenai ITE berasal dari kalangan penguasa seperti Bupati, Walikota, DPR, DPRD dan Gubernur (28/12).
Padahal keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dijamin dan tertuang dalam pancasila yang kini dianggap sakral. Yang artinya semua orang mempunyai hak yang sama tanpa membeda-bedakan dia siapa, dekat dengan siapa dan punya jabatan apa.
Slogan yang sering nyaring terdengar “dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat” di mana? fakta di lapangan walaupun mayoritas menolak nyatanya tidak membawa pengaruh apa-apa.
Ust. Ismail Yusanto pun angkat bicara, mengenai kasus Ahmad Dhani pungkasnya “ini suatu petanda yang kurang baik ketika hukum tidak lagi berjalan untuk menegakkan keadilan.
Tapi, dijadikan alat politik untuk kekuasaan. Kejadian ini, dikatakan diskriminasi luar biasa, jika benar Dhani melakukan ujaran kebencian. Di luar sana ada banyak orang-orang yang melakukan kejahatan bahkan jauh lebih keras (kasar).
Sebutlah orang-orangnya seperti Victor laiskodat, Armando, Guntur Ramli, Abu janda dan sebagainya. Tapi sampai sekarang belum tersentuh hukum. Kalau Persiden mengatakan laporkan saja, semuanya sudah dilaporkan.
Tapi sampai saat ini belum diproses oleh penegak hukum. Rakyat pasti tidak akan diam dan melakukan perlawanan, tidak akan membiarkan rezim yang otoriter dan diskriminatif”. Ujar ust. Ismail
Pertanyaan yang sering muncul dibenak penulis atau dibenak publik adalah kemana arah keadilan Negeri ini? sebab, teori dan praktek sangat jauh berbeda (dikatakan A tapi realisasinya B) kan tidak nyambung.
Sementara hukum dalam Islam, yang datangnya dari Allah swt. ditegakkan tanpa pandang bulu. Tanpa melihat dari golongan mana ia berasal dan siapa pelakunya. Tidak seperti hukum sekarang yang bisa dipermainkan. Seperti kasus pada masa Rasulullah Saw.
“Saat salah seorang sahabat muda yang sangat dicintai Rasulullah Saw, Usamah bin Zaid, menghadap beliau untuk melobi supaya memberikan ampunan kepada seorang wanita yang kedapatan mencuri, Rasulullah Saw marah.
Hingga beliau mengatakan seandainya putrinya sendiri (Fatimah binti Muhammad) yang mencuri, maka beliau sendiri yang akan memotong tanganya”. Inilah keadilan atas penegakan hukum Allah swt. bukan atas dasar mengikuti hawa nafsu.[MO/ad]