Oleh: Nasrudin Joha
Mediaoposisi.com-Sampai tulisan ini terbit, kubu Jokowi kebingungan bagaimana melakukan kounter opini atas unggahan artikel-artikel ciamik karya Nasrudin Joha. Jokowi, belum sempat membuka mata akibat pukulan telak sebelumya, masih menahan perih akibat luka yang menganga, tiba-tiba telah terbit lagi artikel terbaru Nasrudin Joha yang juga bernada sama.
Syair-syair penindasan, akan dibalas dengan gubahan puisi pembalasan. Dan ingat, pembalasan lebih kejam dari perbuatan. Jika Jenderal Komang-Komang mengumbar ujaran 'Perang Total' maka Nasrudin Joha cukup mengeluarkan 1/5 energinya untuk membungkam ujaran kampanye dusta dan penuh pencitraan rezim Jokowi.
Logika pertarungan didunia sosmed lebih liar, siapa kuat dia akan menang. Siapapun yang tidak memiliki volume otak yang penuh, akan tersingkir dari ruang diskusi. Apalagi, jika nalar fikir hanya mampu menampung logika abu janda, atau hanya mampu mengeja anu, apa, anu, apa, anu, apa, dan BUKAN URUSAN SAYA.
Jokowi memiliki ribuan buzzer, tapi minim otak. Bahkan, mayoritas sumbu pendek yang mengais nasi bungkus dari Projek menjilat kekuasaan. Sumbu pendek, yang congkak mengunggah tagar #UninstallBukaLapak, lalu terbungkam dengan perlawanan #UninstallJokowi.
Tidak perlu juga baperan membaca artikel Nasjo, seperti nenek Lampir yang mengumbar agitasi kepada pemuda jangan menebar hoax, jangan meminta tidak pilih Jokowi. Sebab, bagi kami mujahid Islam, para pemuda Islam yang gigih berjuang di dunia sosmed, sedang berjihad sosmed, bukan sekedar tebar pesona.
Kalian tidak mungkin mampu, mengubah misi perjuangan mujahid sosmed baik dengan godaan sekerat tulang dunia yang tidak mengenyangkan, atau ancaman penindasan yang pasti lekang oleh waktu. Kami, tidak bisa disetir dan diarahkan, kecuali oleh Tuhan kami, dzat yang menciptakan kami, seluruh alam semesta dan kehidupan.
Jadi sudahlah, lebih baik jujur. Memang sulit untuk melepaskan kekuasaan, ditengah birahi dunia yang makin memuncak. Ini juga bukan soal diri, tapi soal geng besar yang saling menggantungkan nasib.
Hanya saja, pada waktunya ikatan itu akan putus. Kapal yang karam, tidak akan mungkin menyisakan nyawa. Semua berusaha menyelamatkan kapal, jika ombak terlalu besar lambat laun pilihan untuk mengerek sekoci dan menyelamatkan diri, adalah pilihan paling realistis.
Ah sudahlah, pesan ini sudah sampai ke Jokowi. Dia tidak punya pilihan, selain menyatakan menyerah sejak awal atau terpaksa menghadapi kekalahan. Bayangan kekalahan itu, sudah kian menghantui.
Semoga saja, proses itu lebih cepat dari yang diprediksi. Kejatuhan rezim represif dan anti Islam adalah takdir dan kehendak Tuhan. Kita manusia, tinggal menjalankan peran untuk mewujudkan apa yang telah dijanjikan. [MO|ge]