Oleh: Atika Marsalya
Mediaoposisi.com-Awal tahun 2019 pelaku usaha khususnya yang berbasis online dikagetkan dengan adanya rencana implementasi Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 210 tahun 2018 tentang Pajak untuk e-dagang. Sebagaimana yang dikutip dari laman kompasiana.com sebenarnya pemerintah ingin agar pedagang, pengusaha, dan penyedia jasa di platform e-dagang itu membayar pajak mulai April 2019 mendatang. Lebih lanjut dikatakan pada laman tersebut bahwa kebijakan ini diambil untuk memberikan keadilan baik untuk pengusaha offline maupun pengusaha online, pemerintah juga semakin sigap manakala mengetahui potensi penerimaan pajak Pph final bisa mencapai Rp 342 miliar dengan melihat transaksi di tiga platform e-dagang sebesar Rp 68,4 triliun di tahun 2017 (kompasiana.com, 19/01/2019).
Kesigapan pemerintah ini dipicu oleh adanya aturan penghasilan kena pajak yang terdapat pada pasal 21 atau disebut juga Pph 21, merupakan pajak yang dikenakan atas wajib pajak penerima penghasilan berbeda-beda. Tergantug dari status kepegawian (pegawai tetap, pegawai tidak tetap atau bukan pegawai). Bagi bukan pegawai seperti tercantum dalam Peraturan Direktorat Jenderal Pajak No. PER-32/PJ/2015 Pasal 3 huruf c, penghasilan kena pajak yang dikenakan sebesar 50% dari jumlah penghasilan bruto dikurangi penghasilan tidak kena pajak (PTKP) per bulan (online-pajak.com).
Bukan hanya pelaku usaha dagang/jasa online saja yang dibidik, para YouTuber dan selebgram juga disasar untuk dikenakan pajak, bukan rahasia lagi jika penghasilan Youtuber maupun selebgram saat ini sudah mencapai jutaan, puluhan juta, ratusan juta bahkan hingga miliaran rupiah. Melihat realita tersebut, Menteri Keuangan Sri Mulyani pun angkat bicara. Menurutnya, penghasilan besar yang diperoleh para YouTuber maupun selebgram akan dikenai pajak. Hal tersebut berdasarkan dengan peraturan Menkeu 210/PMK.010/2018 tentang perlakuan Perpajakan atas Transaksi Perdagangan melalui Sistem Elektronik (suara.com, 20/01/2019).
Sistem Kapitalisme Menjadikan Pajak Sebagai Penopang Negara
Pemerintah melalui Menteri Keuangan begitu bernafsu memungut pajak dari masyarakat Indonesia, ini terlihat dari kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan. Tidak ada satu golongan pun yang luput dari sasaran pajak, termasuk para pelaku usaha dagang online. Di tengah iklim ekonomi Indonesia yang kian memburuk, penumpukan utang negara yang semakin tak terkendali, elit politiknya gemar korupsi, sehingga rakyat dipaksa memenuhi kebutuhan vitalnya sendiri, tak cukup dengan itu semua pemerintah dengan tega memalak rakyat atas nama pajak yang beragam macamnya jenisnya.
Inilah buah dari penerapan sistem ekonomi kapitalisme liberalisme, yang mana sumber penghasilan negara bersandar pada utang luar negeri dan pajak. Pemerintah sebagai pelayan rakyat yang seharusnya memenuhi kebutuhan dasar umum rakyatnya kini beralih peran, tidak lebih hanya sebagai regulator antara rakyat dan para kapital, yakni individu atau kelompok yang memiliki modal besar sehingga dapat menguasai sebagian atau seluruh aset negeri ini. Intervensi Asing dan Aseng begitu terasa, mereka menjerat Indonesia dengan dana investasi dan utang luar negeri yang menjadi pintu masuk penjajahan di bumi pertiwi.
Kuatnya cengkraman penjajahan ini membuat Indonesia harus bekerja keras untuk melunasi semua hutangnya. Pajak adalah salah satu produk sistem ekonomi neoliberalisme yang berfungsi sebagai predator yang siap memangsa rakyat.
kebijakan-kebijakan yang lahir dalam upaya menyelamatkan perekonomian negara justru menjadikan rakyat sebagai sapi perah yang harus siap sedia membayar pajak. Nasib rakyat kini ibarat jatuh tertimpa tangga pula. Sungguh sebuah ironi di sebuah negeri yang kekayaan alamnya melimpah ruah. Alih-alih menuju kehidupan yang sejahtera, masyarakat justru dirugikan dan didzalimi oleh penguasa.
Sistem Ekonomi Islam Penyelamat Negeri
Islam sebagai aturan kehidupan memiliki konsep yang matang dalam mengelola aset negara karena sistem ekonomi Islam tegak di atas paradigma yang lurus. Semua potensi kekayaan alam yang menjadi sumber pendapatan penting negara akan ditujukan untuk kepentingan rakyat. Dalam Islam, barang-barang tambang yang melimpah seperti emas, perak, timah, batu bara, minyak dan gas adalah milik rakyat sehingga tidak boleh diprivatisasi oleh individu atau kelompok, swasta apalagi asing.
Kekayaan alam milik umum ini harus dikelola negara dengan baik, amanah, transparan, profesional dan penuh tanggung jawab. Seluruh hasilnya hanya untuk kepentingan rakyat. dengan demikian negara akan produktif dan mandiri secara ekonomi, tidak bergantung pada utang luar negeri dan pajak, pendapatan negara akan diperoleh dari pemanfaatan SDA dengan baik dan benar sesuai syariat Islam.
Adapun perpajakan dalam sistem Islam bersifat terbatas dan temporal. Ia hanya dikenakan atas orang kaya, diberlakukan secara temporal yakni pada saat pendapatan negara tidak cukup untuk membiayai pengeluaran yang bersifat mandatori seperti belanja pegawai, kegiatan jihad, pembangunan infrastruktur dasar, pemenuhan kebutuhan penduduk miskin, dan sebagainya. Dengan sistem ini, kegiatan investasi akan sangat bergairah, yang selanjutnya akan mendorong pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan rakyat akan tercapai.
Demikianlah Islam telah sempurna mengatur setiap lini kehidupan manusia, sistem ekonomi Islam telah terbukti mampu membawa umat manusia pada kesejahteraan, tentu saja hal ini akan terealisasi ketika negara mengambil dan menerapkan syariat Islam secara kaffah. Dengan sistem ini, rakyat Indonesia dengan alamnya yang kaya raya akan hidup sejahtera.[MO/sr]