Mediaoposisi.com-Merayakan Rebo Wekasan atau disebut juga dengan Arba’ Musta’mir ada pula yang menyebutnya Rebo pungkasan, yakni hari Rabu terakhir pada bulan Shafar yang dirayakan atau diperingati oleh masyarakat jawa.
Bukannya di Daerah lain tidak mengadakannya hanya saja Jawa saat ini merupakan sentra peradaban Indonesia saat ini, sebut saja Jakarta adalah pusat perputaran uang, modal, narang dan jasa yang bisa disebut ruller play.
Kegiatan Rebo Wekasan ini kerapkali disimbolisasikan dengan perkumpulan dan jamuan.
Yang tentunya sudah disiapkan segala hal berkaitan dengan peringatan tersebut. Mereka yang mempercayai peringatan Rebo Wekasan ialah mereka yang menganggap bahwa akan muncul bala’ atau cobaan besar.
Tidak hanya sampai disebuah perkumpulan saja, kegiatan Rebo Wekasan juga memiliki kudapan khusus sesuai tradisi turun-temurun yang ada.
Bila Idul Fitri identik dengan ketupat serta opor ayam, maka Rebo Wekasan identik dengan kue apem, Ya kue apem sebagai perlambang maaf, silaturahim, perdamaian serta keamanan lahir dan bathin disetara-bahasakan sebagai simbol afwun (bahasa Arab “maaf”).
Pembagian kue apem, dimaksudkan sebagai sedekah sekaligus untuk menolak bala, sebab menurut hadits Nabi sedekah dapat menolak bala’. Dilanjutkan dengan kegiatan Rabu ba’dha maghrib, dengan adanya doa bersama.
Sedangkan pada hari Rabu pagi, shalat sunnah Li Daf’il Bala empat rakaat. Usai shalat sunah, dibaca surah Yasin satu kali, pada ayat “salaamun qaulam mirrabbir rahiim” dibaca 313 kali.
Selanjutnya dibaca doa Rebo Wekasan, yang ditiupkan pada air putih untuk diminum, mohon keselamatan pada Allah. Inilah yang banyak ditemui diberbagai daerah di Pulau Jawa.
Lain halnya dengan kegiatan Rebo Wekasan daerah Ulakan, Minangkabau, Sumatera Barat, ada pula tradisi yang dinamakan Basapa atau Bersafar. Tradisi ini dilakukan untuk menghormati ulama besar Ulakan,
yakni Syaikh Burhanuddin Ulakan, dengan berziarah ke makamnya pada hari Rabu sesudah tanggal 10 Shafar. Syaikh Burhanuddin Ulakan adalah khalifah Tarekat Syathariyah yang wafat pada hari Rabu, 10 Shafar 1111 H/1699 M.
Tradisi Basapa ke makam Syaikh Burhanuddin di Ulakan mirip pula dengan tradisi Bersafar ke makam Upu Daeng Menambon di daerah Sebukit Raya, yang dilakukan oleh masyarakat Menpawah, Kalimantan Barat.
Di Indonesia, peringatan Rebo Wekasan antara lain dilakukan masyarakat Jawa, Sunda, Kalimantan Selatan, Bangka Belitung, dengan ragam tradisi budaya masing-masing. (dikutip dari Majalah Al Kisah Edisi Februari-Maret 2012 dengan beberapa penyesuaian bahasa)
Bagaimana Syariat Memandang?
Hari Rabu adalah hari yang nahas memang benar disebutkan dalam beberapa riwayat. Akan tetapi semua riwayat tersebut dinilai sangat lemah, bahkan ada yang menghukuminya sebagai riwayat yang dibuat-buat alias Maudhu’. Redaksi riwayat hadits tersebut ialah
آخر أربعة في الشهر يوم نحس مستمر
Artinya: “Rabu terakhir dalam setiap bulan adalah hari nahas yang terus berlanjut”.
Hadits ini menyebutkan oleh Imam Ibnu Jauzy dalam Kitab Al-Maudhu’at, Bab Dzammu Yaumil Arbi’a, yang jalur riwayatnya berasal dari Ibnu Abbas, Ibnu Umar dan Jabir. Radhiyallahu Anhum.
Pada Akhir paparannya, Imam Ibnu Jauzy berkata: “Semua hadits ini tidak shahih dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam”.
Juga dikatakan oleh Imam As-Suyuthy dalam kitabnya Al-La’ali’ul Mashnu’ah Fil Ahaditsil Maudhu’ah. Dan disebutkan juga oleh Assakhawy dalam Al-Maqashidul Hasanah.
Nampaknya dari riwayat-riwayat sangat lemah inilah bersumbernya keyakinan yang telah menyebar disebagian masyarakat muslim, bahwa hari rabu terakhir pada bulan Safar adalah hari yang nahas dan terdapat bencana di dalamnya.
Namun yang unik adalah keyakinan ini dinamai dengan sebutan yang berbeda beda di masing-masing wilayah, seperti rabu wekasan, rabu bontong atau lainnya.
Namun yang perlu diingat bahwa riwayat riwayat tersebut selain sangat lemah sehingga dimasukkan oleh Ulama ke dalam kitab-kitab yang membahas hadits palsu namun juga tidak satu pun darinya.
Yang menyebutkan bahwa letak bulan yang dimaksudkan sebagai tempat hari rabu terakhir adalah bulan Shafar secara khusus, melainkan pada semua bulan.
Dengan demikian maka bisa dipastikan bahwa keyakinan rabu terakhir pada bulan Shafar secara khusus sebagai rabu yang nahas dan terdapat bala’ di dalamnya adalah keyakinan yang dibuat-buat dan tidak dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya, terlebih jika dianggap sebagai bagian Syariat Islam.
Lalu darimanakah muncul anggapan bahwa rabu terakhir yang diyakini sebagai rabu nahas adalah rabu terkahir yang ada di bulan Shafar? tidak jelas dan otentik asal muasal penentuan tersebut, hanya saja di dalam kitab Al-Mujarrabat yang ditulis oleh Syaikh Ahmad bin ‘Amr Addirby wafat pada tahun 1151 H.
Menyebutkan bahwa rabu terakhir pada bulan Shafar adalah hari yang paling sulit pada setiap tahun, sebab menurutnya pada hari tersebut diturunkan Tiga Ratus Ribu bencana.
Akan tetapi sayangnya hal ini tidak disandarkan kepada dalil yang jelas, penulis kitab Al-Mujarrabat hanya menyandarkan hal tersebut kepada tokoh-tokoh yang beliau beri gelar sendiri sebagai orang-orang yang ‘Arif dan memiliki Mukasyafat dan Tamkin tanpa menyebut inisial nama sama sekali.
dan metode seperti ini (berhujjah dengan Mukasyafat dan Ilhamat) tidak dapat dijadikan dalil untuk menetapkan suatu hal yang ghaib terlebih pada urusan bersifat kepercayaan.
Di lain hal, meyakini bulan Shafar sebagai bulan nahas atau kesialan adalah satu keyakinan yang pernah dianut oleh kaum Jahiliyyah di zaman Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam namun kemudian dibantah dan tiadakan setelahnya oleh Syara’,
Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dalam sabdanya membantah keyakinan buruk kaum Musyrikin terhadap beberapa perkara dan di antaranya adalah Shafar, beliau bersabda:
ولا صفر
Artinya: “Dan tidak ada Shafar” [HR: Bukhari dan Muslim]
Makna Shafar sendiri memang diperselisihkan maknanya oleh para Ulama, dan di antara pendapat itu menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan Shafar di sini adalah kepercayaan buruk kaum Jahil-liyyah terhadap bulan Shafar, dimana mereka menganggapnya sebagai bulan yang sial.
Pendapat ini dipandang oleh Ibnu Rajab Rahimahullah sebagai pendapat yang paling menyerupai (sesuai), beliau berkata:
“Dan semoga saja pendapat ini adalah pendapat yang paling menyerupai (sesuai) di antara pendapat pendapat yang ada, dan orang-orang yang jahil di antara mereka yang Tasya’um (menganggap sial) bulan Shafar,
serta terkadang ia melarang musafir (bepergian jauh) padanya, juga Tasya’um (menganggap sial) bulan Shafar adalah bagian dari jenis Thiyarah yang dilarang, demikian juga halnya dengan mensialkan hari-hari tertentu seperti (menganggap sial) hari rabu”. [dinukil dari Taisirul ‘Azizil Hamid]
Demikian juga halnya dengan fatwa para ulama Nusantara mengenai peringatan Rebo Wekasan, salah satunya sebagaimana yang disampaikan oleh KH. Abdul Kholik Mustaqim, Pengasuh Pesantren al-Wardiyah Tambakberas Jombang, para ulama yang menolak adanya bulan sial dan hari nahas Rebo Wekasan berpendapat (dikutip dengan penyesuaian):
Pertama, tidak ada nash hadits khusus untuk akhir Rabu bulan Shofar, yang ada hanya nash hadits dla’if yang menjelaskan bahwa setiap hari Rabu terakhir dari setiap bulan adalah hari naas atau sial yang terus menerus, dan hadits dla’if ini tidak bisa dibuat pijakan kepercayaan.
Kedua, tidak ada anjuran ibadah khusus dari syara’.Ada anjuran dari sebagian ulama’ tasawwuf namun landasannya belum bisa dikategorikan hujjah secara syar’i.
Ketiga, tidak boleh, kecuali hanya sebatas sholat hajat lidaf’ilbala’almakhuf (untuk menolak balak yang dihawatirkan) atau nafilah mutlaqoh (sholat sunah mutlak) sebagaimana diperbolehkan oleh Syara’, karena hikmahnya adalah agar kita bisa semakin mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala.
Meyakini hari rabu terakhir sebagai hari nahas dan meyakini bulan Shafar sebagai bulan sial adalah dua hal yang berbeda, namun kedua keyakinan tersebut kemudian dipadukan menjadi satu oleh pemeluknya, sehingga berkumpullah dua kesialan menjadi satu,
kesialan hari rabu dan kesialan bulan Shafar, maka tentu hal ini akan sangat menakutkan, dimana dua kesialan menyatu pada satu titik waktu yang sama. Akan tetapi – sebagaimana yang telah dipaparkan – kedua keyakinan ini adalah kegelapan sehingga jadilah kegelapan di atas kegelapan.
Dan menjadi jelas bagi siapa saja yang terbuka hatinya untuk menerima kebenaran agar meninggal-kan tradisi yang telah dipoles-poles sedemikian rupa sehingga dianggap legal dalam Syariat Islam, bahwa rabu terakhir di bulan Shafar adalah keyakinan,
yang tidak didasari oleh Al-Qur’an dan Sunnah, dan tidak juga difatwakan penganjuarannya oleh para Ulama besar Islam seperti Imam Syafi’i dan Syaikh Abdul Qadir Al-Jailany. Rahimahumallah.[MO/gr]