Oleh: Siti Subaidah
(Pemerhati Lingkungan dan Generasi)
Sontak hal ini menuai kecaman di semua lapisan masyarakat. Berbagai kecaman itu nyata dapat kita lihat di media televisi, media massa, dan yang paling gencar adalah dimedia sosial.
Tak hanya itu aksi pembakaran bendera tersebut akhirnya menimbulkan gelombang kemarahan ma-syarakat yang terwujud dalam aksi damai atau long march yang dilakukan di beberapa kota di Indonesia yang menuntut agar proses hukum dilakukan seadil-adilnya kepada para pelaku pembaka-ran bendera tersebut.
Menurut pelaku, pembakaran tersebut dilakukan karena bendera tersebut disinyalir sebagai bendera HTI (ormas yang telah di cabut BHP nya), sehingga menurut mereka tidak boleh lagi ada dan berkibar dimana pun.
Namun benarkah bendera tersebut milik HTI? Hal inipun perlu diselidiki dengan benar karena terdapat kerancuan yang mengakibatkan perbedaan persepsi di tengah-tengah kaum muslimin sendiri.
Ketika kita sebagai seorang muslim maka yang menjadi rujukan di awal adalah Al Quran dan As sunnah.
Begitu pun ketika mengkaitkannya dengan peristiwa ini. Dalam sebuah hadist dikatakan
“Panjinya (râyah) Rasulullah –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam– berwarna hitam, dan benderanya (liwâ’) berwarna putih, tertulis di dalamnya: “lâ ilâha illaLlâh Muhammad RasûluLlâh”.” (HR. Al-Thabrani)
Dalam hadist tersebut dijelaskan bahwa rasulullah memiliki dua bendera, yakni ar rayah (bendera hitam dengan kalimat tauhid berwarna putih) dan al liwa (bendera putih dengan kalimat tauhid berwarna hitam).
Dalam sebuah riwayat dikatakan bahwa rasulullah dan para khulafaur rasyidin selalu membawa ar rayah dan al liwa saat berperang dan juga ketika dalam keadaan damai seperti pada fathu mekkah (penaklukan kota mekkah), yang tidak ada satupun pertumpahan darah didalamnya.
Dari fakta tersebut jelas bahwa bendera tauhid bukanlah bendera ormas tertentu melainkan bendera seluruh kaum muslimin.
Bagi seorang muslim, makna kalimat tauhid ini bukanlah suatu kalimat yang hanya mudah untuk diucapkan tapi berbekas hingga pada tatanan amaliyahnya. Kalimat inilah yang menjadi pembeda antara keimanan dan kekufuran.
Makna “ La ilahaillallah Muhammad rasulullah” ini menggambarkan adanya pengakuan akan keesaan Allah dan peneladan terhadap rasulullah dalam perkara apapun. Ini berarti bahwa siapapun yang telah mengucapkan kalimat tersebut dengan sadar dan ikhlas.
Maka harus mewujudkannya dalam bentuk ketundukan dan kepatuhan terhadap seluruh aturan Allah. Allah SWT berfirman :
“Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu;
maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang.
Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu,” ( TQS. Al maidah ;48)
Pengamalan atau amaliyah dari kalimat tauhid ini sejatinya harus tercermin dalam setiap lini kehidupan baik itu oleh individu, masyarakat bahkan sampai level negara.
Di level individu, ketundukan tersebut dapat terlihat dalam pengamalan akan habluminallah dan habluminnafsih yakni terkait makanan, ibadah, pakaian yang kesemuanya harus berlandaskan pada syariat.
Misalnya menjalankan perintah menutup aurat, makan dan minum yang dihalalkan, melaksanakan ibadah sesuai dengan tuntunan dan lain sebagainya. Lalu pada level masyarakat, ada peraturan terkait bagaimana menjaga hubungan dengan sesama manusia atau habluminannas.
Dalam hal ini islam merangkumnya dalam akhlaq terhadap sesama dan dalam hal muammalah, misalnya menjauhi riba, memperhatikan akad jual beli, menjaga pergaulan dengan lawan jenis dan lain-lain.
Sementara di level negara ketundukan itu terealisasi dalam hal penerapan seluruh aturan Allah atau hukum syara baik itu dalam hal ekonomi, sosial, keamanan, bahkan hingga pada sistem sanksi (uqubat).
Islam merupakan agama yang sempurna dan paripurna. Seluruh problematika hidup yang dialami manusia termuara dan berujung pada islam sebagai solusinya.
Oleh karena itu maka sudah selayaknya kita sebagai seorang muslim mewujudkan kalimat tauhid sebagai dasar kita menjalani hidup yakni dengan menancapkan arti kata tersebut dalam bentuk perbuatan yang senantiasa bersumber dari yang paling haq ( Al qur'an dan As sunnah).
Jangan sampai perilaku kita menjadi abu-abu di mata Allah padahal jelas kalimat tauhid yang terlafazkan adalah penentu keimanan dan kekufuran dalam diri kita.[MO/gr]