Oleh : Sofia Ariyani, SS
(Member Akademi Menulis Kreatif)
Mediaoposisi.com-"Wanita dijajah pria sejak dulu..." agaknya penggalan lirik lagu lawas ini benar adanya. Sedari dulu wanita menjadi objek.
Peradaban Yunani kuno membolehkan wanita diperjualbelikan layaknya budak, tidak memiliki hak sipil juga tidak memiliki hak waris. Bisa dikatakan wanita pada peradaban Yunani kuno tak ubah layaknya pemuas nafsu lelaki saja.
Setali tiga uang dengan Romawi. Wanita belum naik kelas di peradaban Romawi. Mereka pun hanya objek seksual bagi lelaki. Ini terlihat dari kisah selingkuhnya para dewa yang menghiasi mitologi Romawi.
Pun Tidak beda jauh dengan peradaban Cina kuno. Sama-sama wanitanya berada di kelas dua, lagi-lagi hanya dijadikan pelayan bagi lelaki. Bagi mereka hanya lelaki yang berhak untuk menjadi cendikiawan.
Jika agama diturunkan untuk kebaikan, tidak hanya untuk laki-laki saja namun juga bagi kaum wanita.
Tapi tidak halnya pada agama Yahudi dan Nasrani, justru tafsir dari teks-teks kitab suci dan pendapat-pendapat agamawan berujung pada diskriminasi wanita. Yang memang ditulis oleh manusia yang tentunya dipengaruhi kondisi sekitarnya.
Ketika Islam bersentuhan dengan peradaban Eropa timbullah gerakan emansipasi wanita. Jika peradaban Eropa menganggap wanita sebagai warga kelas dua tidak dengan halnya Islam.
Justru Islam memuliakan wanita. Di dalam Islam wanita fitrahnya berada di ranah domestik rumah tangga. Maka peradaban Eropa memandang muslimah itu terkekang di dalam rumahnya sendiri.
Karena itu muncul gerakan feminisme atau gerakan kesetaraan gender.Yang hingga saat ini massif bergerak di berbagai lini masyarakat.
Arus opini kesetaraan gender ini menggiring bahwa wanita itu memiliki sisi ekonomis, politis dan humanis. Jadi jangan pernah menganggap remeh wanita.
Oleh karenanya dalam lawatannya ke Amerika di sela pertemuan sidang Majelis Umum PBB di New York, Retno Marsudi mengatakan butuhnya wanita-wanita sebagai penjaga perdamaian dunia yang siap dikirim ke wilayah-wilayah konflik dan pascakonflik.
Dilansir dari Republika, "Secara tradisi mereka lebih nyaman jika mereka berhubungan dengan perempuan. Para menlu perempuan bersama menyerukan agar peran penjaga perdamaian perempuan ditingkatkan." Senin, (24/9)
Jika melihat fakta di lapangan, wanitalah korban terbanyak di wilayah konflik. "Sekitar 6.000 perempuan di Suriah diperkosa sejak pecah konflik di negara tersebut pada Maret 2011."
Data ini diungkap organisasi HAM, Euro Mediterranean Human Rights Network (EMHRN), yang mengatakan makin banyak perempuan Suriah yang menjadi sasaran serangan seksual dan penyiksaan, baik oleh tentara pemerintah maupun kelompok-kelompok bersenjata.
Sangat aneh dan tidak adil ketika wanita menjadi korban tapi di sisi lain wanita pulalah yang menyelesaikan masalah.
Kapitalismelah biang kerok dari segala permasalahan perempuan. Perempuan menjadi korban peperangan ulah dari Kapitalisme sendiri namun menekan pula agar wanita menjadi penjaga perdamaian.
Dengan begitu diharapkan wanita-wanita meninggalkan ranah domestiknya yaitu kewajiban utama wanita sebagai ibu. Yang akhirnya abai terhadap keluarga, dan tanggung jawabnya.
Memang inilah target dari penggiringan arus opini kesetaraan gender yang digawangi gerakan feminisme di dunia. Menginginkan wanita setara dengan laki-laki, ingin bebas, yang malah mengeksploitasi wanita.
Bukan tidak boleh wanita menjadi penjaga perdamaian namun yang berkewajiban menjaga perdamaian dunia adalah negara, bukan individu atau kelompok. Karena negara memiliki kekuatan secara struktural, dari segi teknis maupun kebijakannya.
Negara memiliki kekuatan militernya yang mampu membuat pertahanan di dalam negeri ataupun ke luar negeri.
Jika saat ini negara tidak mampu untuk menjaga perdamaian dunia wajar saja karena sistem yang dianut oleh dunia saat ini adalah Kapitalisme. Di mana asasnya adalah liberalisme (kebebasan), sekularisme (agama terpisah dari kehidupan),
dan yang menonjol dari Kapitalisme adalah ekonomi kapitalisnya yaitu mencari keuntungan sebesar-besarnya tanpa memandang lagi ada kemudharatan di dalamnya.
Seperti penjajahan secara ekonomi yang mereka lakukan di negeri-negeri muslim. Bagi mereka yang memberontak akan diperangi seperti halnya Suriah, Palestina, Afganistan, Irak, dan sebagainya.
Padahal wanita di dalam Islam sangat dimuliakan, dijaga kehormatannya. Islam mengatur wanita berada di ranah domestik itu karena dalam rangka menjaga kehormatannya, sebagai pembentuk generasi yang cemerlang, sebagai manajer rumah tangganya.
Namun, bukan berarti wanita terpenjara di dalam rumahnya. Wanita di dalam Islam mempunyai kewajiban lainnya yaitu sebagai pengemban dakwah sebagaimana termaktub di dalam kitab-Nya:
وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ ۚ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ ۚ أُولَٰئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللَّهُ ۗ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Artinya:
Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain.
Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. At Taubah: 71)
Ia akan berdaya di tengah-tengah masyarakat dalam mencegah kemungkaran dan menyuruh kepada kebaikan demi masyarakat yang baik. Ia pun menjadi partner bagi suaminya. Bukan ditindas bukan pula bebas, tapi proporsional. Inilah Islam yang sempurna mengatur manusia sesuai dengan fitrahnya.[MO/gr]