-->

Empowering Women in the Workplace, Tumbal Kebangkrutan Ekonomi Kapitalis

Silahkan Bagikan Jika Bermanfaat
Advertisemen


Oleh : Sayyida Marfuah
Praktisi Pendidikan dan Anggota Akademi Menulis Kreatif (AMK)

Mediaoposisi.com-Pujian internasional, itulah antara lain yang diperoleh Indonesia atas suksesnya penyelenggaraan Annual Meetings (AM) International Monetary Fund (IMF) - World Bank Group (WBG) yang digelar di Nusa Dua Bali sejak tanggal 7-14 Oktober 2018.

Kegiatan ini merupakan pertemuan tahunan yang diselenggarakan oleh Dewan Gubernur IMF dan WBG.

Sidang tahunan ini juga merupakan forum pertemuan terbesar bidang ekonomi, keuangan, dan pembangunan di tingkat global,

yang mempertemukan pihak pemerintah (Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral) dari 189 negara, dan pihak non pemerintah yang menguasai sektor keuangan dan ekonomi dunia.

Tujuan dari pertemuan tersebut adalah untuk mendiskusikan perkembangan ekonomi dan keuangan global serta isu-isu terkini, antara lain:  pengurangan kemiskinan, pembangunan ekonomi internasional dan isu-isu global lainnya.

Dalam acara tersebut, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan perempuan sangat berperan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi di sebuah negara.

Karena itu peran perempuan dalam sebuah pekerjaan harus ditingkatkan. Dia mengatakan, bahwa yang pertama harus dipahami dari sebuah negara itu harus ditingkatkan partisipasi tenaga kerja perempuan, baik untuk perekonomian, untuk perempuan dan untuk keluarganya.

Pada sidang tahunan tahun ini, ternyata juga dimanfaatkan oleh anggota DPR RI untuk mengangkat salah satu ide yang nantinya akan diratifikasi oleh negara -negara anggota.

Termasuk Indonesia yaitu agar Bank dunia - IMF mampu mewujudkan peningkatan peran perempuan dalam aktifitas ekonomi dan memberinya akses layangan keuangan digital, juga memastikan perempuan mendapatkan hak-hak sosial maupun ekonomi,

melawan segala bentuk diskriminasi atas perempuan, serta menyediakan data yang terpisah antara perempuan dan laki-laki agar dapat tercipta kebijakan yang terarah.

Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh anggota Komisi I DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Evita Nursanty yang menjadi pembicara pada sesi bertema “Partisipasi Perempuan dalam Pertumbuhan Ekonomi”. (solussinews.com/09/10/2018).

Dilansir dari NU Online (10/10/2018), putri kedua Gus Dur, Yenny Wahid mengatakan bahwa kelompok perempuan pada dasarnya memiliki peran yang besar dalam rangka pengentasan kemiskinan dan ketimpangan sosial.

Kelompok ini, lanjut Direktur Wahid Foundation ini, dapat dilibatkan secara penuh dalam melakukan aktivitas perekonomian di level yang paling bawah.

Seperti yang telah dilakukan oleh lembaganya dalam membangun program Desa Damai yang banyak melibatkan kelompok perempuan di dalamnya.

Kedok di Balik Pemberdayaan Ekonomi Perempuan

Pemberdayaan Ekonomi Perempuan (PEP) dimana perempuan bekerja secara massif sejatinya merupakan tumbal bagi kebangkrutan ekonomi kapitalis.

Empowering women, tak lebih dari sekedar kedok bagi kapitalisme untuk mengokohkan hegemoni mereka, hal tersebut bisa kita fahami dari dua hal berikut :

Perempuan digiring untuk menjadi pemutar roda industri kapitalis sekaligus sebagai target pasar mereka.

Perempuan dijauhkan dari peran politik dan strategisnya sebagai ibu generasi pencetak peradaban islam.

Peran keibuan dan kehidupan keluarga merupakan hal pertama yang akan hilang akibat program PEP ini, sehingga bangsa-bangsa akan  kehilangan generasi masa depan yang tangguh.

Pandangan kapitalisme terhadap kembalinya perempuan pada fitrah diri yakni: bersuami, mengandung, melahirkan, mendidik anak dan berkeluarga, sebagai struktur yang menindas dan patriarki.

Kondisi ini dipandang lebih menguntungkan bagi laki-laki. Sebagai seorang istri, ia dianggap menjadi pelayan dan diperbudak oleh suaminya.

Dengan pandangan di atas, kapitalis Barat menyembunyikan tujuan sebenarnya dari empowering women ini,

yakni untuk mengamankan keuntungan ekonomi bagi negara kapitalis dengan berjuang untuk meningkatkan partisipasi tenaga kerja kaum perempuan demi kepentingan mereka sendiri, bukan diperuntukkan bagi perbaikan perempuan.

Bahkan, gagasan bahwa pekerjaan akan membawa perempuan kepada status yang lebih tinggi di masyarakat dan keamanan ekonomi hanyalah khayalan.

Fakta menunjukkan banyak perempuan bekerja dengan upah yang rendah, kualitas yang buruk, dan pekerjaan yang sering eksploitatif. 

Tak jarang, sebagian besar dari gaji seorang ibu yang bekerja saat ini habis untuk  biaya perawatan anak yang tinggi.

Alih-alih para perempuan menjadi lebih kaya, yang terjadi justru sebaliknya, mereka bekerja hanya demi mengupah orang lain untuk memelihara dan membesarkan anak-anak mereka.

Dampak buruk lainnya ketika perempuan lebih berkonsentrasi sebagai mesin perekonomian adalah kurangnya waktu ibu yang seharusnya ia habiskan bersama anaknya.

Kurangnya kebersamaan dan perhatian ini menyebabkan anak  berperilaku nakal dan kriminal. Lebih jauh lagi, mereka dengan programnya akan sedikit demi sedikit  menghapus kedudukan laki-laki sebagai kepala dan pelindung keluarga,

dan dorongannya untuk memaksa perempuan mengadopsi tanggung jawab alamiah laki-laki sebagai pencari nafkah untuk keluarga, mengikis pemahaman laki-laki tentang peran mereka dalam keluarga.

Arah Pemberdayaan Perempuan dalam Pandangan Syariat 

Islam, dengan syariatnya yang sempurna telah menempatkan wanita pada posisi yang sangat mulia. Dalam Islam, secara garis besar peran hakiki perempuan terdapat pada dua ranah, yaitu ranah domestik (keluarga/rumah tangga) dan ranah publik.

Pada ranah domestik, peran utama perempuan ialah sebagai ummu wa rabbatul bait (ibu dan manajer rumah tangga) dan ummu ajyal (ibu pencetak generasi).

Sesungguhnya, peran sebagai ibu rumah tangga tidak dapat dipandang sebelah mata, bahkan dijadikan stereotip bagi kaum hawa.

Sebab, pada hakikatnya yang menentukan kualitas generasi penerus bangsa tidak lain adalah seorang ibu yang menjalankan perannya sebagai madrasatul ‘ula (sekolah pertama dan utama).

Di ranah publik, seorang muslimah bukan berarti tidak dapat beraktivitas secara optimal dan produktif. Islam pun mewajibkan bagi kaum muslimin,

laki-laki dan perempuan untuk menjadi seseorang yang berpikir politis dan melakukan berbagai aktivitas politik.

Politik dalam arti ri’ayatun syu’unil ‘ummah (mengurusi urusan masyarakat), aktivitasnya tidak lain adalah senantiasa ber-amar ma’ruf nahyi munkar (mengajak pada kebaikan dan mencegnah kemungkaran) di tengah masyarakat.

Khatimah

Islam, sebagai satu-satunya ideologi yang shahih, memancarkan seperangkat aturan kehidupan (yang sesuai dengan fitrah) bagi seluruh umat manusia.

Dengan ketundukan terhadap seluruh aturan tersebut, manusia akan mendapati sebuah tatanan kehidupan yang luhur, jauh dari penindasan dan penjajahan.

Dengannya pula, perempuan akan ditempatkan pada posisinya yang mulia dalam peran politik dan strategisnya sebagai ibu generasi pencetak peradaban Islam. Hegemoni kapitalisme yang saat ini nampak kokohpun akan sirna karenanya.

Namun, kehadiran Islam sebagai sistem kehidupan tentu harus diperjuangkan dengan sungguh-sungguh dan terus-menerus.

Islam yang telah mengalami kejayaan selama 13 abad, terbukti mampu menerangi dunia dengan peradaban agung yang dibawanya.

Perjuangan ini tak boleh berhenti, sampai seluruh syariat Islam benar-benar terterap di muka bumi.[MO/gr]






Silahkan Bagikan Jika Bermanfaat

Disclaimer: Gambar, artikel ataupun video yang ada di web ini terkadang berasal dari berbagai sumber media lain. Hak Cipta sepenuhnya dipegang oleh sumber tersebut. Jika ada masalah terkait hal ini, Anda dapat menghubungi kami disini.
Related Posts
Disqus Comments
close