-->

Dari Santri untuk Negeri

Silahkan Bagikan Jika Bermanfaat
Advertisemen

Oleh : Arin RM, S.Si
(Member TSC)

Mediaoposisi.com-Sejak dua tahun terakhir, kata santri menjadi tenar setiap menjelang akhir Oktober. Meluasnya istilah santri ini tidak bisa dilepaskan dari di tetapkannya tanggal 22 Oktober sebagai hari santri.

Adalah keputusan Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo (Jokowi) yang pada tahun 2015 lalu melalui Keppres Nomor 22 tahun 2015, menetapkannya sebagai Hari Santri Nasional.

Dan terkait kata santri ini, Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinikannya sebagai: orang yang mendalami agama Islam;  orang yang beribadat dengan sungguh-sungguh; orang yang saleh.

Sedangkan  KH Mustofa Bisri (Gus Mus) memberikan defini tersendiri tentang makna seorang santri. Terdapat beberapa definisi yang disampaikan Gus Mus.

Pertama: santri adalah murid kiai yang dididik dengan kasih sayang untuk menjadi mukmin yang kuat (yang tidak goyah imannya oleh pergaulan, kepentingan, dan adanya perbedaan).

Kedua: santri  adalah kelompok yang mencintai negaranya, sekaligus menghormati guru dan orang tuanya kendati keduanya telah tiada.

Ketiga: santri adalah kelompok  yang mencintai tanah airnya (tempat dia dilahirkan, menghirup udaranya, dan bersujud di atasnya) dan menghargai tradisi-budaya-nya. 

Keempat: santri adalah mereka yang menghormati guru dan orang tua hingga tiada. Kelima: santri adalah kelompok orang yang memiliki kasih sayang pada sesama hamba Allah.

Keenam: santri adalah mereka yang mencintai ilmu dan tidak pernah berhenti belajar (minal mahdi ilãl lahdi); yang menganggap agama sebagai anugerah dan sebagai wasilah mendapat ridha tuhannya sehingga santri ialah hamba yang bersyukur .

Santri Dulu dan Kini
Dengan definisi yang kompleks di atas, dapatlah diambil kesimpulan bahwa sosok santri sejatinya adalah penerus para kyai mereka. Merekalah yang sejatinya bertanggung jawab melanjutkan estafet perjuangan para kyai, ulama-pewaris para nabi.

Maka sangat tidak heran jika keberadaan santri dan kyai sejak zaman dahulu selalu berada di barisan terdepan dalam amar makruf nahi mungkar. Sebab merekalah pewaris para nabi dan rasul yang memiliki dedikasi untuk umat.

Dan sekiranya semnagat itu pulalah yang menggelora dalam sanubari golongan santri untuk tidak mau tunduk dan patuh terhadap kemungkaran berupa kezaliman dari para penjajah.

Hingga pada tanggal 22 Oktober 1945 sejarah mencatat ada  deklarasi Resolusi Jihad yang dilakukan pendiri Nahdlatul Ulama (NU) KH Hasyim Asy’ari di Surabaya.

Pada hari itu, KH Hasyim Asy’ari menyerukan kepada para santrinya untuk ikut berjuang untuk mencegah tentara Belanda kembali menguasai Indonesia melalui Netherlands Indies Civil Administration (NICA).

Santri (atas arahan ulama) di masa lalu memiliki peran besar dalam penyelamatan umat dari cengkeraman penjajah. Mereka tak takut melawan kezaliman yang saat itu berkuasa dibawah komando penjajahan secara fisik.

Bahkan di antara banyaknya pahlawan Indonesia yang berkemauan kuat untuk menghilangkan penjajahan, sosok ulama dan santri jumlahnya sangat banyak.

Dari ujung barat hingga timur Indonesia, mereka sama-sama lantang bersuara dan berjihad melawan kekuasaan yang zalim. Itu semua adalah bukti bahwa ketakutan ulama dan penerusnya hanyalah kepada Allah, bukan kepada hamba kendati hamba itu tengah berkuasa.

Bercermin dari kisah sejarah ini, maka begitulah seharusnya posisi dan peran santri masa kini. Santri harusnya hadir mempersiapkan diri menjadi sosok penerus ulama yang berani menyudahi segala kezaliman penguasa.

Namun, fakta justru tidak mengarah pada kondisi ideal yang diharapkan. Saat ini santri justru turut menjadi sasaran empuk penjajahan gaya baru.

Tatkala keluar sejenak dari pesantren, gaya hidup mereka diincar oleh serbuan budaya hedonisme. Sikap mereka digoda oleh banyaknya tawaran individualisme di masyarakat yang tak bosannya menjajakan konsep cinta dunia nan materialistik.

Bahkan lingkungan di luar pesantren digempur habis oleh sekulerisme yang berupaya melahirkan kepribadian ganda dalam diri santri. Patuh dan manut saat dihadapan kyai, nurut dan ikut arus kekinian ketika sudah jauh dari pandangan pesantren.

Dan fenomena santri sekuler inilah yang sedang menggejala. Akhirnya terwujud santri yang casing luarnya tampak priyayi namun jasad dan pikirannya mengadopsi konsep sekulerisme tanpa disortasi.

Walhasil sering dijumpai ada sosok yang tampak islami tapi justru keras terhadap saudara muslim. Tampak gagah berwibawa namun jutru ramahnya terhadap acara gereja.

Bahkan ada yang melabeli dirinya islami tapi justru melakukan aksi pembakaran kalimat tauhid dengan bermodal anggapan bernafas kebencian. Sungguh memprihatinkan, sebab antara ilmu dan amal tidak lagi menyatu.

Ilmu mewajibkan iman menjaga dan memuliakan kalimat thayibah, namun amal yang melupakan dalamnya ilmu justru melakukan tindakan yang mendekati limit kekafiran.

Santri untuk Kebangkitan Negeri

Untuk kembali bertaring layaknya para pendahulunya, santri hendaknya meneladani kemurnian ulama terdahulu dalam menerapkan ilmunya.

Artinya posisi santri harus dibuat untuk bisa kembali membangkitkan umat. Jika kebangkitan hanya bisa ditempuh setelah diawali oleh kebangkitan pemikiran, maka langkah awal yang harus dilakukan pun haruslah dengan cara membangun kembali struktur pemikiran yang lurus di benak tiap santri.

Pemikiran yang jernih dan cemerlang dari keagungan khazanah Islam semata, bukan lagi pemikiran yang terkontaminasi ide barat.

Sehingga kontaminasi Islam moderat, Islam Liberal, dan Islam Nusantara harus dijauhkan dari khazanah tsaqofah santri.

Sebab jenis yang terakhir terbukti justru menjauhkan santri dari pemahaman Islam sebagai ideologi. Yang bisa dipakai untuk urusan ibadah sehari-hari, ataupun untuk urusan mengatur negara dan membangkitkan negeri.

Lurusnya pemikiran ini akan menghasilkan pemahaman yang benar. Dan benarnya pemahaman ini akan menjadikan segala sikap dan perilaku mencerminkan tingginya ilmu yang sudah dikaji.

Wujudnya santri akan memiliki sikap yang sadar bahwa kondisi saat ini tak ubahnya sebagaimana di masa jahiliyah sebelum Islam datang.

Akan sadar bahwa kondisi ini harus diubah dengan jalan dakwah sebagaimana yang dulu dilakukan oleh nabi Muhammad dan dilanjutkan para khalifah sesudahnya.

Dan kesadaran ini akan memunculkan sikap peka terhadap segala persoalah umat hingga akhirnya mereka rela mengambil peran amar makruf di tengah masyarakat.

Mereka tak akan mau lagi menjadi tumbal kapitalisme yang jelas-jelas berupaya-upaya membelokkan potensi santri untuk mengokohkan eksistensi rezim sekuler sebagai perpanjangan tanga hegemoni kapitalisme.

Mereka akan menolak segala bentuk deideologisasi ajaran Islam dalam kurikulum pesantren hingga pemanfaatan pesantren sebagai kantung suara ketika pemilu tiba.

Pun mereka juga akan menjaga jarak dari penguasa zalim, apalagi jika tampak indikasi bahwa rezim terlalu keras dan tidak adil terhadap Islam dan kaum muslimin.

Sebaliknya, para santri dengan pemahaman yang lurus ini justru akan menajdi garda terdepan dalam perjuangan Islam agar bisa diterapkan dalam kesehariam.

Sebab ilmu merekalah yang mengatakan itu. Bahwa Islam yang harus dijadikan pedoman dalam kehidupan. Dan untuk itulah mereka akan berjuang menegakkan Islam sebagai persembahan terbaik santri untuk negeri.

Agar negeri ini terbebas dari segala kezaliman. Terbebas dari penghambaan kepada manusia menuju penghambaan kepada Allah semata.

Dengan begitu ilmu para santri manfaat dan mereka terbebas dari peringatan Nabi yang dikutip Imam an Nawawi: “Orang yang paling keras azabnya pada hari kiamat adalah orang alim yang ilmunya tidak bermanfaat”. [MO/gr].



Silahkan Bagikan Jika Bermanfaat

Disclaimer: Gambar, artikel ataupun video yang ada di web ini terkadang berasal dari berbagai sumber media lain. Hak Cipta sepenuhnya dipegang oleh sumber tersebut. Jika ada masalah terkait hal ini, Anda dapat menghubungi kami disini.
Related Posts
Disqus Comments
close