Revolusi| Mediaoposisi.com- Sekitar 20 tahun kita hidup di era reformasi. Dimulai pada pertengahan tahun 1998 pasca lengsernya Presiden Soeharto yang digantikan oleh wakilnya BJ. Habibie. Kehidupan reformasi tidak jauh berbeda dengan masa sebelumnya. Bahkan lebih parah.
Ketidakpuasan publik terhadap reformasi terlihat dari beberapa peristiwa yang menimpa bangsa ini. Salah satunya adalah gelombang aksi masa yang dilakukan oleh kaum buruh yang menuntut upah layak.
Tuntutan kaum muslimin dalam aksi bela Islam hingga berjilid-jilid untuk memenjarakan penista agama. Hingga aksi penolakan kenaikan BBM dan aksi-aksi lainnya yang jumlahnya sangat banyak. Semua menuntut keadilan dan kesejahteraan rakyat meski tema yang diusung berbeda-beda.
Bukti Kegagalan Reformasi
Setidaknya ada delapan hal mendasar penyebab menurunnya kepuasan publik terhadap reformasi, diantarnya:
Pertama, kehidupan ekonomi semakin sulit. Semakin meningkatnya jumlah penduduk miskin dan jumlah pengangguran menjadi tolok ukur kegagalan sistem ekonomi dalam membangun bangsa. Kenaikan harga kebutuhan pokok dan daya beli masyarakat yang rendah menunjukkan tingkat kesulitan ekonomi makin tinggi.
Kedua, maraknya kasus korupsi. Jumlah pejabat negara yang tersandung kasus korupsi semakin meningkat. Lingkaran korupsi seolah menjadi mata rantai yang sulit untuk diputuskan. Mulai dari tingkat desa hingga propinsi. Hal ini terbukti dari banyaknya para pejabat yang terjaring Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh KPK.
Ketiga, kerukunan antar umat beragama semakin menipis. Kasus teror, bom bunuh diri, penistaan agama, dan sejenisnya merupakan bukti bahwa kerukunan antar umat beragama mulai pudar. Toleransi yang selalu didengungkan hanya menjadi isapan jempol semata.
Keempat, diskriminasi oleh pemerintah. Islam dan para ulama dipersekusi. Diadu domba. Dan dituduh teroris. Sementara para penista agama dibiarkan bebas tanpa pengadilan. Pada saat para ulama dianiaya, respon pemerintah biasa saja. Bahkan para pelaku penganiayaan dibiarkan bebas karena diklaim sebagai orang gila. Sementara ketika gereja dibom yang belum jelas pelakunya, serta merta tudingan ditujukan kepada umat Islam.
Kelima, kegagalan dalam melahirkan pemimpin nasional yang kuat dan independent. Hal ini terbukti dari beberapa keputusan pemerintah yang tidak tegas dalam menyelesaikan banyak konflik. Misalnya pemerintah membiarkan bendera Israel berkibar dan digunakan untuk konvoi di Papua baru-baru ini. Padahal kita tahu bahwa Israel adalah negara yang telah meluluhlantakkan Palestina. Juga pada saat masjid di Papua dibakar, tanpa ada tindakan nyata untuk umat Islam yang notabene adalah warganya. Justru pemerintah menggelar karpet merah dan menyambut Pendeta Israel di Istana.
Keenam, lepasnya beberapa BUMN ke tangan swasta dan asing. Lepasnya Indosat, diperpanjangnya kontrak PT. Freeport, PT. Krakatau Steel, Newmont, PT. Pertamina, dan lainnya adalah bukti ketidakseriusan pemerintah dalam mengelola Sumber daya Alam untuk bangsa. Dibuatnya UU PMA dan Perpres TKA semakin memperkuat keberpihakan pemerintah terhadap asing.
Ketujuh, sistem Pendidikan yang melahirkan generasi brutal. Semakin maraknya kasus penganiayaan guru terhadap murid, murid terhadap guru, dan murid dengan murid adalah bukti kegagalan sistem Pendidikan. Belum lagi kasus putus sekolah karena hamil diluar nikah, aborsi, dan kriminal dikalangan remaja.
Kedelapan, hutang negara yang semakin meningkat. Hal ini berakibat melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS dan Euro. Penggelembungan hutang dalam dan luar negeri mencapai Rp 131,1 triliun rupiah. Bahkan untuk saat ini nilai tukar rupiah tembus di anggka Rp 14.000 lebih. Jauh lebih besar dibanding masa-masa krisis moneter. Menurut badan pusat statistik (BPS) negara mengalami defisit anggaran mencapai USD 1,63 milyar.
Tidak Cukup Hanya Reformasi
Reformasi ternyata belum cukup untuk mengubah kondisi masyarakat. Keadaan tetap sama dengan masa sebelumnya, bahkan cenderung lebih parah lagi. Keinginan masyarakat yang dimotori oleh para mahasiswa untuk merubah konsisi negara tidak terealisasi. Pasalnya perubahan yang dilakukan pada masa reformasi hanya sebatas perubahan kepemimpinan semata.
Perombakan kabinet saja tidak cukup untuk membuat kondisi bangsa yang terpuruk untuk bisa bangkit. Jika negara ini diibaratkan sebuah kendaraan, sudah mengalami kerusakan parah. Baik dari segi body maupun mesin. Sehingga ketika dijalankan oleh sopir yang berbeda sekalipun tidak mungkin bisa jalan. Kalaupun bisa, tidak berlangsung lama dan akan tetap mengalami kerusakan sana-sini.
Namun untuk menjalankannya hanya butuh kendaraan baru. Siapapun sopirnya jika mobilnya baru, maka kendaraan akan berjalan mulus. Begitupun dengan negara ini yang sudah rusak dari sistemnya. Berapa kalipun diganti pemimpin, akan tetap mengalami kerusakan. Selama sistemnya tidak ikut diganti.
Akar masalah dari kegagalan reformasi adalah tidak diterapkannya sistem pemerintahan yang benar. Yaitu sistem pemerintahan yang bersumber dari Sang Pencipta manusia dan alam semesta. Demokrasi yang merupakan derivate dari kapitalisme adalah sebuah sistem yang sudah cacat dari lahirya.
Sebuah sistem yang menjadikan keuntungan materi sebagai tujuan hidupnya. Yang mengabaikan dan meniadakan campur tangan Tuhan dalam pengaturannya. Masyarakat hanya dianggap sebagai objek dalam pemerintahan. Hukum yang diterapkan berasal dari produk pemikiran manusia yang bersifat lemah.
Jelas tidak mampu mengatur urusan manusia seluruhnya secara adil. Yang ada hanya meraih keuntingan pribadi dan golongan, tanpa melihat kesulitan masyarkat.
Perubahan terhadap suatu negara hanya akan berhasil diwujudkan jika mencapai tataran sistem. Artinya perubahan dilakukan secara mendasar dan menyeluruh. Dirubah dari asasnya yaitu dari asas pemisahan agama dari kehidupan (sekuler) menjadi asas yang menyeluruh yaitu aqidah Islam..[MO/as]