Oleh: Fajar Kurniawan (Pusat Kajian dan Analisis Data)
Rentetan teror bom yang terjadi di Kota Surabaya Bom meledak menurutnya adalah di Tiga gereja yang dimaksud adalah Gereja Kristen Indonesia (GKI) Diponegoro, Gereja Pantekosta Pusat Surabaya (GPPS) Jalan Arjuna, dan Gereja Santa Maria di Jalan Ngagel saat ini sudah menewaskan 11 orang, untuk korban luka-luka yang saat ini dirawat masih berjumlah 41 orang. Kapolri Jenderal Tito Karnavian mengungkap pelaku teror di tiga gereja di Surabaya adalah satu keluarga, yang sudah melengkapi diri dengan bom disebar ke tiga lokasi yang sudah mereka tentukan.
Di tahun politik ini, tepatnya di bulan Mei presiden Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengeluarkan pernyataan terkait kasus terorisme, dalam keterangan persnya mengecam keras pengeboman ini dan menganggap tindakan terorisme tersebut sangat bidadab dan di luar batas kemanusiaan.
Adanya fakta-fakta rangkaian terorisme dalam seminggu terakhir, setelah insiden terror di Mako Brimob, ada banyak pihak berharap program kontra-terorisme menjadi proyek yang serius, walau disisi lain ada banyak pihak yang berargumen program ini berkelindan di dalamnya kepentingan asing dan dijadikan ajang menunjukkan “prestasi” dan mencari dana atau langkah pengalihan isu oleh para “komprador” asing dan kelompok opurtunis lokal.
Kita semua jelas mengutuk aksi-aksi teror tentu saja bertentatang dengan Islam. Dan kita tidak berharap sikap saling curiga antar elemen anak bangsa di tengah masyarakat menyebar luas. Sebagian pihak umat Islam memang ada yang merasa adanya fakta pengkambinghitaman Islam dan kaum muslimin dalam persoalan ini.
Seharusnya pemerintah sadar, betapa umat Islam di Indonesia nyaris tidak bisa memberikan pembelaan, bahkan menerima kekalahan (apologis) dengan istilah teroris itu yang identik dengan; orang berjenggot, celana cingkrang, gamis, cadar, jidat hitam, orang yang sering aktif kemasjid, pengajian-pengajian kecil (usroh/halqoh/liqo’), pesantren, atau aktifis yang mengusung penegakkan syariat dalam koridor negara, atau ketika menempatkan AS adalah musuh Islam.
Penulis mencermati ini peran media, jelas-jelas mengkaitkan agama dengan isu teroris. Lebih jauh, kalau mau jujur, bukankah ketika pihak penegak hukum dan lebih khusus Densus 88 atau satgas anti teror lainya ketika melakukan pemetaan (maping) tentang ancaman baik dalam kontek global atau lokal (Indonesia) maka kesimpulannya adalah aktivis Islam yang ‘militan’ sebagai ancaman? lebih spesifik Islam politis dan Ideologis, atau gerakan-gerakan dan kelompok-kelompok yang mengusung Islam sebagai ideologi?
Patut diduga bahwa program kontraterorisme memang menyasar Islam dan para aktivisnya. Hal itu makin diperkuat dengan fakta begitu mudahnya melabeli sebagai terorisme jika yang melakukan adalah muslim. Termasuk pernah muncul semacam “tuduhan”, Rohis menjadi sarang teroris. Pemicunya dalah dialog dalam Program Metro Hari Ini, Edisi 5 September 2012, di Metro TV dengan tag line yang provokatif “Awas, Generasi Baru Teroris”. Namun kenapa kasus-kasus penembakan yang menimbulkan korban jiwa anggota kepolisian di Papua pada fakta-fakta sebelumnya yang diduga dilakukan oleh OPM tidak dilabeli sebagai terorisme. Padahal jelas dilakukan oleh OPM secara terorganisir, sistematis dan dilatarbelakangi tujuan politik separatisme untuk memisahkan diri dari negara RI.
from Pojok Aktivis